Antisipasi Krisis Pangan Global
Gangguan perubahan iklim berdampak serius pada kinerja stok pangan 2021 dan mulai memperumit prakiraan dan antisipasi banyak negara, termasuk negara berkembang. Strategi antisipasi krisis pangan perlu terus dilakukan.
Perbincangan krisis pangan global mengemuka sejak awal pandemi Covid-19 pada 2020. Banyak organisasi internasional meramalkan krisis pangan global ini dengan beberapa variasi dan penjelasannya. Harga pangan global merangkak naik, apalagi disrupsi sistem logistik telah mengganggu rantai nilai pangan.
Persoalan akses pangan karena perekonomian terganggu tampak lebih dominan, di samping persoalan kinerja produksi. Gangguan perubahan iklim berdampak serius pada kinerja stok pangan 2021 dan mulai memperumit prakiraan dan antisipasi banyak negara, termasuk negara berkembang.
Krisis pangan tak terlihat mencolok hingga akhir 2021 jika menggunakan benchmark substansi krisis pangan 2008. Setelah perang Rusia-Ukraina meledak Februari 2022, kekhawatiran krisis pangan global itu semakin nyata. Bank Dunia merilis laporan Global Economic Prospect lebih pesimistis pada Juni 2022 dengan kekhawatiran stagflasi, atau stagnasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi tinggi pada saat bersamaan.
Artikel ini menganalisis fenomena krisis pangan global terbaru, berikut strategi antisipasi yang perlu dilakukan.
Bank Dunia menyatakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina telah mengganggu pasar energi global dan bahkan merusak ekonomi global.
Inflasi global tinggi
Pertumbuhan perekonomian global diperkirakan turun drastis dari 5,7 persen tahun 2021 ke 2,9 persen tahun 2022, dan rata-rata 3 persen pada 2023- 2024. Pada 2022 ekonomi negara maju seperti Amerika Serikat (AS) tumbuh 2,5 persen, Eropa 2,5 persen, dan Jepang 1,7 persen. Ekonomi negara berkembang dan emerging markets umumnya tumbuh lebih tinggi.
Ekonomi China tumbuh 4,3 persen, Indonesia 5,1 persen, Thailand 2,9 persen, Turki 2,3 persen, Argentina 4,3 persen. Akan tetapi, inflasi tinggi juga melanda banyak negara.
Pada Mei 2022, laju inflasi AS 8,7 persen, Spanyol 8,7 persen, Jerman 7,9 persen, Italia 6,9 persen, dan Turki 73,5 persen. Laju inflasi Indonesia 3,55 persen, Swiss 2,9 persen, Perancis 5,2 persen, dan Korea Selatan 5,4 persen, dan lain-lain. Selain karena nilai tukar, kenaikan harga pangan di beberapa negara juga berkontribusi pada tingginya laju inflasi global.
Bank Dunia menyatakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina telah mengganggu pasar energi global dan bahkan merusak ekonomi global. Energy shock akibat persoalan geopolitik tersebut dianggap lebih parah dibandingkan dengan krisis energi pada 1970-an, karena dampak buruk pada komoditas pangan lebih besar sekarang. Iklim perdagangan dunia terganggu karena banyak negara mendahulukan kepentingan nasional daripada kepentingan global.
Indonesia sempat tergoda untuk melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya pada April 2022 karena harga eceran minyak goreng melonjak tinggi. India melarang ekspor gandum dan gula karena mendahulukan kebutuhan domestiknya.
Malaysia sempat melarang ekspor ayam ke Singapura karena memprioritaskan pemenuhan permintaan dalam negerinya. Belum banyak ekonom menghitung kerugian ekonomi (lebih tepatnya: revenue forgone) yang ditanggung negara yang telah melarang ekspor komoditas pada saat harga dunia sedang tinggi.
Petani di Indonesia dan negara-negara lain harus menanggung lonjakan biaya produksi pangan dan pertanian.
Perang Rusia-Ukraina juga menyebabkan harga pupuk global melonjak karena kedua negara itu merupakan produsen besar gas sebagai bahan baku produksi pupuk. Harga urea di pasar global meningkat mendekati 1.000 dollar AS per ton.
Harga pupuk urea nonsubsidi di Indonesia melampaui Rp 11.000 per kilogram, suatu kerumitan tersendiri karena harga pupuk urea bersubsidi hanya Rp 2.250 per kilogram.
Petani di Indonesia dan negara-negara lain harus menanggung lonjakan biaya produksi pangan dan pertanian. Inflasi di tingkat produsen, diukur dari indeks harga produsen (IHP), jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi di tingkat konsumen (IHK). Data Bloomberg April 2020 menunjukkan bahwa laju inflasi produsen di Eropa 30 persen, AS 10 persen, Jerman 25,9 persen, Italia 41,4 persen, China 8,8 persen, Indonesia 8,7 persen, dan lain-lain.
Arah kebijakan pangan
Indonesia berupaya mengantisipasi krisis pangan dengan strategi intensifikasi peningkatan produktivitas dan ekstensifikasi perluasan lahan pangan, terutama di luar Jawa.
Akan tetapi, respons penawaran (supply response) lebih lambat daripada tingkah laku permintaan (demand behavior). Harga pangan strategis melonjak tinggi, seperti minyak goreng, gula, cabai, bawang, dan daging sapi. Lonjakan konsumsi pada Ramadhan dan Idul Fitri dan ekspektasi pasar juga meningkatkan harga pangan. Untungnya harga beras stabil Rp 11.800 per kilogram sehingga dampak sosial-ekonomi-politik lebih buruk dapat dihindari.
Arah kebijakan intensifikasi mulai membawa hasil walau perlu terus dipantau. Produksi beras pada 2021 tercatat 54,42 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 31,4 juta ton beras yang masih lebih tinggi daripada konsumsi sebesar 30 juta ton. Produktivitas padi pada 2021 tercatat 5,23 ton per hektar atau meningkat 1,96 persen dari tahun 2020. Sampai akhir April 2022, produksi beras mencapai 13,5 juta ton atau hampir setengah dari angka tahunan.
Arah kebijakan strategi integrasi hulu-tengah-hilir perlu ditingkatkan efektivitasnya.
Persoalan utama yang perlu diselesaikan adalah berkurangnya luas panen padi 245.000 hektar atau 2,34 persen sepanjang 2021. Program perluasan lahan, seperti lumbung pangan di Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, dan Papua akan jadi sia-sia jika konversi lahan subur di Jawa tidak tertanggulangi.
Arah kebijakan strategi integrasi hulu-tengah-hilir perlu ditingkatkan efektivitasnya. Indonesia menggenjot pengembangan biofuels B-30, harga CPO dan harga minyak goreng naik dua kali lipat. Kebijakan berubah-ubah pada minyak goreng berbasis sawit tidak perlu diulangi lagi karena membingungkan.
Kebijakan itu adalah harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan, kewajiban alokasi domestik (DMO), kewajiban harga domestik (DPO), larangan ekspor CPO, subsidi minyak goreng curah, hingga bantuan langsung tunai (BLT) kepada penduduk miskin.
Indonesia masih perlu menggenjot strategi hilirisasi produk atau pendalaman industri (industrial deepening) untuk meningkatkan nilai tambah CPO jadi produk turunan.
Baca juga Dering Alarm Bencana Pangan
Rekomendasi kebijakan
Strategi antisipasi krisis pangan perlu terus dilakukan. Pertama, BLT, bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT), dan lain-lain perlu dilaksanakan secara efektif, dari perkotaan sampai ke pelosok perdesaan.
Kedua, intervensi langkah lebih detail pada setiap komoditas pangan, seperti (a) insentif petani untuk meningkatkan kualitas beras premium domestik; (b) peningkatan produktivitas jagung di hulu, dan integrasi dengan industri pakan ternak; (c) perbaikan produksi kedelai kualitas tinggi dan kemudahan prosedur impor kedelai.
Selain itu, (d) alokasi pangan-energi lebih berimbang pada industri sawit; (e) penyehatan industri basis tebu dan manajemen industri gula terintegrasi; (f) pemanfaatan sapi domestik dan sumber daging negara lain yang bebas penyakit mulut dan kuku (PMK).
Ketiga, pendampingan dan pemberdayaan petani pada pertanian presisi, digitalisasi rantai nilai pangan, kerja sama quadruple helix ABGC (academics, business, government, and civil society). Perubahan teknologi pertanian, ekosistem inovasi dan integrasi strategi riset dan pengembangan (R&D) yang lebih inklusif.
Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung, Ekonom Indef, Ketua Umum Perhepi