Kita serasa sebagai bangsa yang hidup di peradaban yang gelap pekat. Dalam kesadaran kerumitan dan kabut gelap kehidupan di negeri ini, kita butuh guru bangsa, yang mengajarkan kebenaran hakiki bagi kehidupan bangsa.
Oleh
SIDHARTA SUSILA
·4 menit baca
Pendidikan kita berkabut. Kabutnya terkadang terasa tebal dan pekat. Kita serasa sebagai bangsa yang hidup di peradaban yang gelap pekat. Kita butuh pelita kehidupan. Kabut-kabut pendidikan itu juga diungkapkan Darmaningtyas (Kompas, 25/6).
Disebutkan, Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tak layak disahkan menjadi UU. RUU ini berpotensi menjadikan praksis pendidikan menjadi segregatif, komersial, liberalistik, dan etatis. Rasanya, sampai hari ini, kita belum pernah melahirkan UU pendidikan yang memuaskan dan melegakan segenap rakyat. Terasa begitu rumit mengelola pendidikan di negeri ini.
Cacat, kerumitan, atau kemunduran yang selalu ditemukan pada setiap RUU pendidikan dari masa ke masa menyiratkan beban berat pengelolaan pendidikan kita.
Memang, dalam praksis pendidikan ada banyak kepentingan dan aktor kekuasaan yang membonceng pengelolaan pendidikan kita. Problem dan kerumitan pendidikan kita bukan hanya masalah metode pembelajaran atau kurikulum, melainkan juga tingkah raja-raja kecil politis yang sering kali tidak langsung terkait dalam pengelolaan pendidikan.
Dari penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi hari-hari ini juga ditemukan kabutnya. Bagong Suyanto, dalam artikel ”Radikalisme di Institusi Pendidikan” (Kompas, 9/6), mengamati tentang pengajaran agama yang rapuh. Institusi pendidikan tak lagi jadi taman bagi orang muda untuk membentuk dan mengembangkan diri menjadi manusia merdeka bermartabat dalam konteks keindonesiaan seperti dirancangkan Ki Hadjar Dewantara.
Dalam amatan Bagong, banyak institusi pendidikan kita telah berubah menjadi arena pergerakan ideologi radikalisme. Gerakan radikalisme yang menegasi keberagaman sebagai hikmat Tuhan dalam menyelenggarakan kehidupan telah melahirkan kaum muda yang intoleran terhadap suku, agama, atau keyakinan lain. Pengajaran yang intoleran dan radikal bahkan sudah dimulai sejak pendidikan dasar di taman kanak-kanak.
Supriyanto
Keprihatinan serupa terasa pada tulisan Syamsul Maarif, ”Membangun Religiositas Humanis Menuju Altruisme” (Kompas, 24/5). Pengajaran agama yang lemah dalam penalaran, obyektivitas, miskin, serta pemiskinan informasi dan cenderung mengeksplorasi emosi memang sering menghasilkan pribadi yang intoleran dan mengalami halusinasi penghayatan keagamaan.
Sebenarnya pendidikan memang menjadi jalan untuk menyelamatkan bangsa ini dari pekatnya kegelapan peradaban.
Kerumitan pengelolaan pendidikan yang ditingkahi dengan perilaku intoleran dan radikal kian menguat karena pendidikan kita hadir dalam atmosfer kehidupan sosial masyarakat yang sesak oleh pengabaran kebohongan dan provokatif yang mengusung semangat intoleransi dan radikalisme.
Atas nama demokrasi, jaminan hak asasi manusia untuk berpendapat atau kebebasan berekspresi, tiada hari di negeri ini untuk sekadar melonggar dari aneka pengabaran kebohongan dan provokatif itu. Gemasnya, termasuk para pelantang kabar provokatif intoleran radikal itu tak jarang bukan hanya para tokoh publik, keagamaan dan politik, melainkan juga para tokoh dunia pengajaran.
Pengabaran yang provokatif radikal dan intoleran itu semakin merumitkan pengelolaan pendidikan.
Pengabaran yang provokatif radikal dan intoleran itu semakin merumitkan pengelolaan pendidikan. Pengaruhnya tidak hanya pada materi yang diajarkan, tetapi sampai pada tata kelola pendidikan kita.
Radikalisme dan intoleransi di institusi pendidikan tidak hanya menghadirkan kerumitan dan mengaburkan fokus penyelenggaraan pendidikan, tetapi juga mengancam eksistensi negeri ini. Ketika ada negara lain menolak masuknya sejumlah warga negara Indonesia ke negeri mereka dengan alasan untuk melindungi negerinya dari ancaman provokasi radikalisme dan intoleransi, kita layak bertanya: apakah kita sedang atau sudah masuk dalam kemunduran peradaban dunia?
Alih-alih mengambil peran dalam dunia internasional, kita justru terkucilkan karena digolongkan sebagai negara yang tak memiliki keadaban universal.
Dalam kesadaran kerumitan dan kabut gelap kehidupan di negeri ini, kita butuh pencerah bangsa. Kita butuh guru bangsa. Negeri ini telah dianugerahi para guru bangsa pencerah kehidupan dari masa ke masa. Mereka antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur, dan terakhir Buya Syafii Maarif.
Guru bangsa-pencerah kehidupan itu watak dan karakternya berkebalikan dengan para pelantang kabar bohong yang sering memprovokasi atraktif penuh pesona dengan pesan intoleran dan radikal.
Hidup dan kehadiran guru bangsa laksana matahari. Peristiwa matahari terbit adalah ajaran alam semesta tentang pencerah kehidupan dan para penghancur kehidupan yang bekerja dengan muslihat dan siasat penuh kepalsuan.
Pelantang kabar bohong provokatif itu seperti cakrawala pagi. Kehadiran dan penampilan cakrawala dengan warna keemasan amat memesona. Kehadiran semacam itu sering membius kesadaran kita akan kepalsuan dan kesementaraan. Keindahan mereka hanya sebentar. Mereka cepat berubah.
Kita butuh ”matahari-matahari” untuk menyelamatkan bangsa ini. Semoga para guru kita kembali menjadi ”matahari”—menjadi guru yang mengajarkan kebenaran hakiki bagi kehidupan bangsa ini.
Sidharta Susila, Pengamat Pendidikan, Tinggal di Semarang.