Revisi UU Praktik Kedokteran, antara Esensi dan Urgensi
Tak ada sama sekali hal-hal yang bisa menjadi alasan untuk merevisi atau mengamendemen UU No 29/2004 segera. Sangat bijaksana untuk menyelesaikan masalah revisi UU Pradok secara cermat dan realistis, tidak emosional.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menjadi pembicaraan publik dan kalangan kedokteran akhir-akhir ini, menyusul munculnya wacana untuk merevisi undang-undang ini.
Wacana revisi juga kencang digaungkan oleh kalangan anggota DPR. Sejatinya, usulan revisi atau amendemen suatu UU di negeri ini suatu hal yang biasa terjadi sepanjang ada esensi atau substansi yang sangat penting. UUD 1945 juga pernah diamendemen beberapa kali.
Tujuan dibuatnya Undang-Undang Praktik Kedokteran (UU Pradok) tentu untuk melindungi dan memberikan kepastian hukum pada masyarakat sebagai penerima layanan kedokteran atau kesehatan, dan juga untuk para dokter itu sendiri sebagai praktisi. Sejak UU ini diundangkan sekitar 18 tahun lalu, pengaturan dalam pradok telah memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang menerima layanan kesehatan, khususnya layanan yang diberikan dokter.
Baca juga Uji Materi UU Praktik Kedokteran Dimulai
Mengingat usia UU ini sudah cukup lama dan dalam kurun waktu yang panjang itu ilmu dan teknologi kedokteran serta sistem pelayanan kesehatan juga sudah berkembang dengan pesat, revisi atau amendemen beberapa pasal di UU ini sangat penting dan perlu dikaji secara cermat dan mendalam.
Pertanyaannya, apakah perubahan atau revisi itu harus dilakukan segera, seakan-akan ada hal sangat urgen dan darurat? Jawabannya dapat dipastikan tidak. Bahkan, penulis dapat mengatakan, revisi ini tak perlu dilakukan terburu-buru karena tak ada hal-hal yang mendesak dalam regulasi pelaksanaan pradok saat ini.
Usulan merevisi UU Pradok pernah diajukan oleh IDI beberapa tahun lalu, terutama karena ada pasal-pasal yang menyebabkan kriminalisasi dokter dan dokter dapat dipidana. Pasal itu sudah disetujui Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dibatalkan.
Usulan merevisi UU Pradok pernah diajukan oleh IDI beberapa tahun lalu, terutama karena ada pasal-pasal yang menyebabkan kriminalisasi dokter dan dokter dapat dipidana.
Alasan usulan revisi
Ada beberapa hal yang memicu munculnya usulan revisi UU Pradok. Pertama, Pasal 1, Ayat 12 UU ini berbunyi: organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk dokter gigi. Karena itu, bisa dimaknai bahwa IDI memang satu-satunya organisasi profesi kedokteran yang ditetapkan oleh UU. Tak ada tempat bagi organisasi profesi kedokteran lain.
Karena itu, timbul anggapan bahwa UU Pradok menempatkan eksistensi IDI sebagai suatu organisasi superbody yang dengan mudah memecat anggotanya dan karena itu perlu segera direvisi. Sulit membantah, wacana revisi UU Pradok ini mencuat setelah terjadinya pemberhentian tetap seorang dokter anggota IDI, Terawan Agus Putranto, baru-baru ini, karena pelanggaran etik berat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2F7225122b-c2cf-4ac8-a311-dd298bf7ca77_jpg.jpg)
Suasana sidang uji materi Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (26/4/2018). (Ilustrasi)
Peristiwa ini menimbulkan berbagai pro dan kontra di masyarakat dan juga di kalangan dokter sendiri. Padahal, anggapan itu sangat keliru dan tak tepat. Pemberhentian anggota organisasi profesi karena pelanggaran etik tak jarang terjadi di berbagai organisasi profesi sesuai regulasi dari organisasi profesi itu. Apalagi terkait pelanggaran etik berat.
Pasal tentang ”organisasi profesi adalah IDI” yang tercantum dalam UU Pradok telah dikuatkan oleh keputusan MK No.10/PUU-XV/2017. Tentu ada pertimbangan bijak dan beralasan kuat yang melatarbelakangi mengapa para ahli memasukkan pasal ini, dan kemudian juga dikuatkan oleh putusan MK.
Organisasi profesi kedokteran mempunyai ciri penting, yaitu berdasarkan etik (ethical foundation), selain keahlian dan tanggung jawab anggotanya. Organisasi profesi kedokteran juga harus membuat standar kompetensi dan pendidikan yang berlaku secara nasional dan bersifat universal. Ketika ada lebih dari satu, dua, atau tiga organisasi profesi kedokteran, bukan tak mungkin akan ada beberapa standar yang berbeda-beda dengan pemahaman yang berbeda pula, yang pada akhirnya tentu akan merugikan dan membingungkan masyarakat.

Anggotanya dengan mudah dapat berpindah dari satu organisasi profesi ke organisasi profesi kedokteran lain jika ada masalah etik, misalnya. Namun, tak berarti dokter tak boleh membentuk organisasi dokter (bukan organisasi profesi kedokteran) karena kebebasan berserikat dilindungi UUD.
Beberapa tahun lalu sudah terbentuk organisasi Dokter Indonesia Bersatu (DIB) yang anggotanya tetap anggota IDI. Beberapa hari lalu seorang sekjen Organisasi Profesi Kedokteran Dunia (World Medical Association/WMA) menyatakan, di WMA hanya boleh ada satu organisasi profesi kedokteran dari tiap negara anggota.
Organisasi profesi kedokteran (professional medical society) oleh Pellegrino, seorang ahli bioetik, disebut sebagai moral enterprise, sehingga organisasi profesi kedokteran dibentuk terutama untuk kepentingan masyarakat, di samping anggotanya (Kompas, 23/5/2022).
Baca juga PDSI Lahir, DPR Buka Peluang Revisi Undang-undang
Kedua, tentang seorang dokter yang diharuskan memiliki rekomendasi organisasi profesi (IDI) untuk memperoleh surat izin praktik (SIP) dari dinas kesehatan setempat (Pasal 38, Ayat 1.c). Di sini jelas bahwa IDI tidak mengeluarkan SIP karena penerbitan SIP sepenuhnya kewenangan pemerintah, dalam hal ini dinas kesehatan setempat. Rekomendasi IDI hanya salah satu persyaratan, di samping syarat lain, seperti surat tanda registrasi (STR) yang dikeluarkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Dilihat dari esensinya, rekomendasi yang diberikan IDI pada seorang dokter sejatinya akan membantu pemerintah dalam menjamin bahwa dokter yang sudah mendapat rekomendasi benar-benar akan berpraktik secara profesional dan kompeten, dan tak terlibat masalah etik atau pelanggaran disiplin kedokteran.
Dalam praktik sehari-hari, tentu saja organisasi profesi (IDI) di tingkat cabang yang berada di kabupaten/kota sangat membantu dalam pemantauan anggotanya. Organisasi profesi akan memantau seandainya terjadi pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin yang harus dilaporkan ke institusi yang lebih tinggi, seperti KKI/Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Ketiga, perihal izin praktik hanya diberikan paling banyak tiga tempat praktik (Pasal 37). Pasal ini mungkin perlu ditinjau atau direvisi karena di kota-kota besar pada umumnya dokter spesialis atau subspesialis sudah cukup jumlahnya sehingga satu atau dua tempat praktik sudah memadai untuk melayani masyarakat yang membutuhkan.

Heryunanto
Namun, di daerah periferi dan terpencil serta kepulauan—yang dokter spesialisnya masih langka, misalnya, hanya ada satu spesialis anak, spesialis penyakit dalam, spesialis bedah, atau spesialis obstetri-ginekologi di suatu kabupaten/kota—untuk pemerataan pelayanan dokter itu harus memberikan pelayanan di beberapa tempat. Selain di rumah sakit, mungkin saja lebih dari satu atau lebih dari tiga tempat yang jauh.
Dengan demikian, aturan tempat praktik sebaiknya disesuaikan dengan situasi daerah dan ketersediaan tenaga dan fasilitas kesehatan, tidak disamaratakan di seluruh negeri. Daerah terpencil atau kota-kota kecil memang memerlukan ketentuan tersendiri tentang banyaknya tempat praktik bagi dokter.
Ada masalah lain yang memang belum tercantum dalam UU Pradok. Masalah distribusi dokter dan telemedicine yang memang belum pernah diatur dalam pasal-pasal UU No 29/2004. Masalah tidak meratanya distribusi dokter, tak terkecuali dokter spesialis, memang memerlukan pengaturan dan regulasi yang lebih baik untuk melayani masyarakat secara merata di seluruh Tanah Air.
Masalah distribusi dokter dan telemedicine yang memang belum pernah diatur dalam pasal-pasal UU No 29/2004.
Pengaturan masalah ini sebenarnya cukup melalui peraturan menteri atau peraturan pemerintah, suatu regulasi di bawah UU. Demikian juga mengenai telemedicine yang merupakan pelayanan kedokteran jarak jauh.
Dewasa ini telemedicine semakin terasa penting, terutama di masa pandemi ini dan situasi geografis di Indonesia menyebabkan masyarakat sulit menjangkau langsung fasilitas pelayanan kesehatan. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran yang demikian pesat dan cepat berubah membuat regulasi mengenai pelayanan kedokteran jarak jauh dapat diatur dengan peraturan menteri terkait, sehingga akan lebih mudah direvisi atau dikembangkan, ketimbang UU.
Jaminan keselamatan pasien dan standardisasi mutu pelayanan kedokteran jarak jauh adalah hal yang perlu segera mendapat perhatian dari berbagai pihak terkait, termasuk sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Urgensi revisi
Lantas apakah revisi UU Pradok sangat urgen saat ini? Dengan melihat uraian di atas, jawabannya dapat dipastikan bahwa dilihat dari esensi dan urgensinya, revisi tidak urgen saat ini, tetapi masih tetap diperlukan dengan menyesuaikan perkembangan kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran.

Tak ada sama sekali hal-hal yang bisa menjadi alasan untuk merevisi atau mengamendemen UU No 29/2004 segera. Namun, harus diakui memang ada pasal-pasal yang perlu disempurnakan atau ditambah sehingga pelayanan kedokteran pada masyarakat akan menjadi lebih baik. Penulis sependapat dengan anggota DPR, Saleh Daulay, yang menyatakan, dalam menyelesaikan masalah ini kita harus berpikiran jernih dan mengedepankan rasionalitas.
Sangat bijaksana untuk menyelesaikan masalah terkait revisi UU Pradok yang muncul akhir-akhir ini secara cermat dan realistis, tidak emosional. Pembicaraan dan diskusi di antara pihak-pihak terkait—pemerintah, DPR, organisasi profesi kedokteran, dan masyarakat—sangat diperlukan agar menghasilkan suatu regulasi praktik kedokteran yang lebih baik. Ini semua tidak lain untuk kepentingan masyarakat dan generasi mendatang. Semoga.
Sukman Tulus Putra,Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia, Ketua Divisi Pembinaan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Anggota Dewan Pertimbangan Pengurus Besar IDI.