Urbanisasi di Dalam Desa
Peningkatan jumlah penduduk desa, tetapi diiringi penurunan penduduk perdesaan, menunjukkan urbanisasi dominan disebabkan kemajuan pembangunan desa. Urbanisasi disebabkan kondisi dan status desa berubah menjadi kota.

Didie SW
Sejak awal kuliah, Said Rusli, ahli ilmu kependudukan, mewanti-wanti bakal meluasnya kekurangan pemahaman tentang urbanisasi. Efeknya, menumbuhkan kerancuan argumen, hingga tindakan percuma mengejar-ngejar orang desa di kota.
Jamak dipahami, urbanisasi menandai kemajuan negara karena bermakna peningkatan warga negara yang mampu mengakses fasilitas perkotaan. Akan tetapi, mengapa migrasi dari desa ke kota pasca-Lebaran kerap disambut dengan kekerasan untuk memulangkan mereka kembali?
Walaupun warga desa selalu dipulangkan, mengapa proporsi penduduk perdesaan tak pernah lagi dominan dibandingkan warga perkotaan, bahkan jumlahnya terus menurun? Padahal, pemegang KTP elektronik di desa 71 persen, sementara di kelurahan hanya 29 persen.
Silang sengkarut informasi, hingga tindakan tanpa guna di lapangan, menandai telah tiba saatnya urbanisasi dipahami secara holistik.
Silang sengkarut informasi, hingga tindakan tanpa guna di lapangan, menandai telah tiba saatnya urbanisasi dipahami secara holistik. Apalagi, Sensus Penduduk 2010 dan 2020 mengabarkan kecenderungan urbanisasi bakal kian meningkat justru di dalam desa. Sementara urbanisasi akibat migrasi warga desa ke kota kini telah bisa terbaca, terlalu sedikit.
Penduduk perkotaan
Said Rusli menjernihkan arti urbanisasi adalah peningkatan jumlah penduduk perkotaan. Ada komponen penting dalam definisi ini, yaitu jumlah penduduk, dan wilayah perkotaan. Tiap satu dasawarsa BPS melansir jumlah desa yang tergolong perdesaan (rural village) dan perkotaan (urban village). Peningkatan urbanisasi diindikasikan lonjakan penduduk di perkotaan, yang riilnya di lapangan berupa warga desa-kota dan kelurahan-kota.
Semakin padat penduduk, semakin kecil proporsi warga yang bekerja di pertanian, serta bertambahnya fasilitas perkotaan, menjadi bekal desa ataupun kelurahan menuju status wilayah perkotaan.
Fasilitas perkotaan meliputi sekolah taman kanak-kanak, sekolah menengah pertama, sekolah menengah umum. Fasilitas perkotaan lainnya berupa pasar, kelompok pertokoan, rumah sakit, juga hotel, biliar, diskotek, panti pijat, atau salon. Berikutnya dicatat persentase keluarga pengguna telepon kabel, dan listrik PLN.

Supriyanto
Jika nilai skor kondisi itu setidaknya sembilan, tergolong perkotaan. Karena wilayah terkecil di Indonesia adalah desa dan kelurahan, maka muncul empat kelompok wilayah, yaitu desa-perdesaan (rural village), desa-perkotaan (urban village), kota-perdesaan (rural town), dan kota-perkotaan (urban town).
Peningkatan jumlah penduduk perkotaan untuk memenuhi definisi urbanisasi ditempuh melalui dua jalan. Pertama, migrasi penduduk perdesaan ke perkotaan. Inilah pemahaman yang paling populer, sekaligus penyempitan makna urbanisasi. Syukurlah, sepanjang pandemi Covid-19, sensus penduduk diwujudkan dengan mendeteksi penduduk seraya mencocokkan dengan KTP-nya.
Terdapat 16.260.650 penduduk yang tinggal berbeda dari lokasi di KTP. Ini bisa dimaknai sebagai migran, yang jumlahnya lima persen dari 270 juta penduduk Indonesia. Artinya, peran migrasi desa-kota dalam urbanisasi tergolong kecil.
Baca Juga: Urbanisasi dari Perspektif Desa
Jalan urbanisasi kedua lebih berpengaruh, yaitu ketika suatu wilayah meningkat status dari perdesaan menjadi perkotaan sehingga semua penduduknya otomatis beralih menjadi penduduk warga perkotaan.
Sepanjang 2010-2020, sebanyak 15 persen desa mengalami peningkatan status menjadi perkotaan. Saat ini sebanyak 22.417 desa tergolong perkotaan, artinya 30 persen dari 74.960 desa memiliki fasilitas perkotaan yang memadai.
Dana Desa berperan melonjakkan bangunan fasilitas, sebagaimana ditunjukkan oleh Indeks Desa Membangun (IDM). Ukurannya ialah ketersediaan fasilitas sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sepanjang 2015-2021 desa mandiri, maju, dan berkembang bertambah masing-masing 3.095 desa, 11.713 desa dan 15.200 desa. Adapun desa tertinggal dan sangat tertinggal menurun 20.956 desa dan 7.804 desa.
Ini pula yang dicatat Bappenas sebagai pengurangan penduduk perdesaan, dari 49,8 persen pada 2010 menjadi 43,3 persen pada 2020, lalu kelak menjadi 36,6 persen pada 2030. Turunnya penduduk perdesaan ini jangan dibaca sebagai berkurangnya penduduk desa.

Spanduk dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berisi imbauan tidak mengajak untuk berurbanisasi terpasang di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang dipadati pemudik Lebaran, Kamis (31/7/2014). Arus balik setelah Lebaran menjadi salah satu celah besar arus urbanisasi menyerbu kota. Dinas Kependudukan DKI Jakarta akan menerapkan pengendalian administrasi kependudukan untuk mengatasi lonjakan jumlah penduduk setelah Lebaran.
Kementerian Dalam Negeri saja mencatat 138.938.939 jiwa menggenggam KTP desa. Jika penduduk desa umur 0-16 tahun turut dihitung, menurut IDM berjumlah 214 juta jiwa.
Kementerian Desa PDTT memproyeksikan penduduk yang tinggal di desa terus meningkat menjadi 306.097.659 jiwa kelak saat Sensus Penduduk 2030 digelar. Peningkatan jumlah penduduk desa, tetapi diiringi penurunan penduduk perdesaan, jelas menunjukkan urbanisasi di Indonesia dominan disebabkan kemajuan pembangunan desa. Urbanisasi disebabkan fasilitas semakin lengkap di desa, lalu status desa itu menjadi perkotaan (urban village) sehingga semua warganya berpindah status dari penduduk perdesaan menjadi penduduk perkotaan.
Desa bangun urbanisasi
Sampai di sini seharusnya urbanisasi tidak dimaknai peyoratif karena justru menunjukkan peran desa dalam membangun Indonesia. Sumber dana pembangunan utama dari Dana Desa, diikuti bantuan keuangan dan pemerintah kabupaten/kota. Keduanya mencapai 97 persen pendapatan pemerintah desa.
Peningkatan jumlah penduduk desa, tetapi diiringi penurunan penduduk perdesaan, jelas menunjukkan urbanisasi di Indonesia dominan disebabkan kemajuan pembangunan desa.
Sepanjang 2015-2021 desa telah diguyur Rp 400,1 triliun dana desa. Pemerintah daerah turut menyalurkan Rp 207 triliun ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Ini mendongkrak kapasitas fiskal desa hampir lima kali lipat, ditunjukkan oleh total APBDes yang hanya Rp 24 triliun pada 2014 menjadi Rp 121 triliun pada 2021. Karena fokus dibelanjakan untuk membangun dan memelihara fasilitas sosial, ekonomi, dan lingkungan; perannya sangat besar bagi urbanisasi dari dalam desa.
Apalagi, muncul fenomena mudik yang menarik. Proporsi warga bertanda penduduk desa, tetapi telah menetap di kota diprediksi 11.465.384 jiwa.
Sementara itu, Kementerian Perhubungan memperkirakan pemudik 2022 mencapai 85 juta jiwa. Artinya, ada 74 juta penduduk di kota yang masih memiliki ikatan sosial kuat ke desa kelahirannya. Ini dimanfaatkan pemerintah desa sebagai sumber dana pembangunan lainnya.
Jadi, siapa takut urbanisasi?
(Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi)