Renminbi Calon Mata Uang Dunia
Penggunaan RMB sebagai mata uang dunia diharapkan akan mengurangi hegemoni USD yang dinilai kurang memperhatikan dampak kebijakannya terhadap stabilitas ekonomi dunia.
Sejak konferensi Bretton Woods tahun 1944, dollar AS (USD) telah berperan sebagai mata uang dunia. Hal ini wajar karena usai Perang Dunia Kedua, AS menjadi produsen barang dan jasa terbesar di dunia. USD juga digunakan dalam penyelesaian transaksi ekspor-impor, perjanjian pinjam-meminjam antar negara, dan disimpan bank sentral semua negara sebagai cadangan devisa.
Namun, peran USD kini dipertanyakan karena ekonomi AS terus merosot hanya menyumbang sekitar 20 persen dari gabungan produk negara-negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. AS juga dianggap kurang berhati-hati dalam mengelola kebijakan moneter sehingga memicu krisis keuangan global tahun 2008. Selain itu, apabila terlibat konflik dengan AS, sering kali cadangan devisa suatu negara disita.
Beberapa mata uang lain mencoba menggeser USD karena keistimewaan yang diperoleh dari penggunaannya sebagai mata uang internasional. Euro pernah mencoba tetapi gagal akibat krisis di beberapa negara tahun 2008 sehingga euro melemah. Uni Eropa juga tidak memiliki otoritas fiskal sehingga tidak dapat menetapkan kebijakan fiskal tunggal bagi negara anggotanya. Perekonomian Jepang yang di era 1970-1980-an berkembang pesat, sejak 1991 – 2003 mengalami stagnasi dengan pertumbuhan hanya 1,14 persen per tahun.
Perekonomian Republik Rakyat China (RRC) maju pesat, tumbuh hampir 10 persen per tahun sejak reformasi tahun 1978 dan perdagangan melonjak setelah menjadi anggota WTO tahun 2001. Pada Oktober 2016, IMF memasukkan renminbi (RMB) dalam keranjang SDR. Selanjutnya, RRC berambisi agar RMB digunakan sebagai mata uang dunia.
Perkembangan ini penting dicermati karena berimplikasi luas bagi sistem moneter dan keuangan internasional (Eichengreen, 2014). Apalagi, RRC merupakan rekan dagang utama Indonesia.
Syarat menjadi mata uang internasional, selain berfungsi sebagai mata uang nasional juga harus memenuhi fungsi lain sebagai satuan hitung nilai mata uang domestik terhadap mata uang lain (unit of account), sarana pembayaran transaksi internasional (medium of exchange), dan cadangan devisa (store of value).
Agar diterima sebagai mata uang dunia, perlu dukungan faktor kunci, yaitu ekonomi yang besar sehingga digunakan sebagai alat pembayaran secara luas, nilainya stabil didukung fundamental ekonomi yang kuat, keberadaan pasar keuangan yang likuid dan dalam sehingga menjamin likuiditas dan konvertabilitas, dan sistem perundang-undangan yang transparan serta keberadaan bank sentral yang independen (Cohen 2007).
Berdasarkan persyaratan tersebut, USD ditetapkan sebagai mata uang dunia. Ini karena menjelang berakhirnya Perang Dunia Kedua, perekonomian dan pasar keuangan AS paling berkembang serta memiliki cadangan emas terbesar.
Surat berharga AS juga merupakan instrumen teraman karena dunia memercayai kemampuan AS membayar utangnya. USD juga paling diterima untuk setelmen perdagangan dunia. USD tetap dipercaya sekalipun pada 1971 Presiden Nixon tidak lagi mendukung penerbitan mata uangnya dengan emas.
Dengan status sebagai mata uang dunia, AS satu-satunya negara yang memperoleh hak istimewa yang disebut exorbitant privilege (Giscard d’Estaing, 1965). AS dapat membiayai defisit transaksi berjalan dengan menerbitkan aset dalam denominasi USD dengan bunga rendah. Ini dikarenakan bank sentral lain menyimpan aset berdenomiasi USD sebagai cadangan devisa dan sebagian besar penyelesaian transaksi perdagangan internasional dibayar dalam USD sehingga importir dan eksportir juga perlu menyimpan USD (Bernanke, 2016).
Baca juga: Tentang Renminbi Digital
Karena investor menganggap USD sebagai safe haven, yaitu instrumen yang dinilai aman saat terjadi ketidakpastian ekonomi, politik, atau geopolitik, nilainya menguat akibat meningkatnya permintaan investor.
Pada akhir 2021 sekalipun, transaksi berjalan defisit 3,6 persen dari PDB dan pada Maret 2022 inflasi mencapai puncak tertinggi (8,1 persen) dalam dua dasawarsa terakhir. Sementara indeks nilai tukar USD mencapai 103,5 (tertinggi dalam dua dasawarsa terakhir) di tengah ketidakpastian ekonomi Eropa, China, dan konflik Rusia-Ukraina.
Keuntungan lain adalah seigniorage, yaitu pendapatan dari mencetak uang. Penggunaan USD di luar negeri memungkinkan AS memperoleh aset riil dari luar negeri (melalui impor) yang dibayar hanya dengan mencetak USD. Ini berarti non-residen yang menyimpan uang kertas USD memberi pinjaman tanpa bunga kepada residen AS.
Penggunaan sebagai mata uang internasional juga meningkatkan prestis dan status negara karena anggapan bahwa “great powers have great currencies” (Robert Mundell, pemenang Nobel 1993).
Di lain pihak, penggunaan mata uang internasional dapat menimbulkan Triffin Dilemma (1959), yaitu konflik kepentingan ekonomi akibat perbedaan tujuan domestik jangka pendek dan tujuan internasional jangka panjang. Karena itu, negara penerbit di satu sisi perlu memperhatikan sasaran kebijakan dalam negeri (pertumbuhan yang tinggi dan inflasi rendah) dan di sisi lain berkewajiban mencegah timbulnya gejolak bagi negara lain. Masalah lain ialah nilai tukar yang terus menguat berdampak melemahkan daya saing produk AS di pasar internasional (Bernanke, 2016).
Ketergantungan pada mata uang internasional tunggal dianggap sebagai kelemahan dan kerentanan sistem moneter internasional (IMF, 2011). AS telah memperoleh banyak privilege tetapi kurang perhatikan dampak kebijakannya terhadap ekonomi dunia. Contohnya krisis keuangan global tahun 2008 yang disebabkan pemberian kredit hipotek kepada debitur kurang layak (subprime mortgage) di AS.
Potensi kerugian lain apabila terus tergantung pada USD berkaitan dengan faktor politik dan demografi. Defisit kronis anggaran AS tidak terlepas dari janji kampanye pemilu serta generasi baby boomers yang memasuki usia pensiun sehingga rasio utang pemerintah federal terhadap PDB mendekati 75 persen, sementara penerimaan pajak hanya 19 persen dari PDB (Eichengreen, 2010).
Dominasi USD di pasar global pun semakin merosot. Laporan IMF (2022) menyebutkan pangsa cadangan devisa dalam denominasi USD yang dipegang bank-bank sentral merosot dari 71 persen tahun 1999 menjadi 59 persen tahun 2021. Di tengah kondisi seperti ini disertai perkembangan ekonomi dan perdagangan yang sangat pesat, RRC berambisi menjadikan RMB mata uang dunia untuk mengamankan kepentingan serta meraih manfaatnya (Lai, 2015).
Sejak 2009, RMB telah memenuhi beberapa fungsi mata uang internasional terutama melalui penyelesaian transaksi perdagangan dan keuangan seperti penerbitan obligasi, penanaman modal asing dan deposito perbankan. RMB juga disimpan sebagai cadangan devisa di beberapa negara berkembang, termasuk pemanfaatannya dalam perjanjian swap bilateral (BSA) lebih dari 20 bank sentral (Zang dan Tao, 2014).
Dimasukkannya RMB sebagai bagian dari keranjang SDR bersama USD, euro, dan poundsterling tahun 2016 menandakan kemajuan penting integrasi ekonomi PRC dalam sistem keuangan global dan proses internasionalisasi RMB. Kemajuan RMB selanjutnya akan mendukung stabilitas sistem moneter dan keuangan internasional serta pertumbuhan ekonomi global.
Namun, RRC masih menghadapi sejumlah tantangan seperti mengembangkan pasar keuangan yang dalam dan likuid agar dapat diakses investor asing. Bank Sentral China (PBC) juga belum memenuhi kriteria independen karena belum memiliki otonomi penuh untuk memutuskan kebijakan moneter dan regulasi perbankan (Eichengreen dan Kawai, 2015).
Penggunaan RMB sebagai mata uang dunia diharapkan akan mengurangi hegemoni USD yang dinilai kurang memperhatikan dampak kebijakannya terhadap stabilitas ekonomi dunia. Berkurangnya ketergantungan pada USD diharapkan akan mengurangi tekanan terhadap rupiah terutama saat meningkatnya ketidakpastian atau sentimen investor memburuk.
Biaya penyelesaian transaksi perdagangan dalam mata uang lokal (tanpa USD) juga berkurang, apalagi RRC rekan dagang utama Indonesia. Bantuan likuiditas dalam bentuk BSA dari RRC merupakan fasilitas yang dapat dimanfaatkan sebagai langkah berjaga-jaga apabila mengalami kesulitan neraca pembayaran.
Implikasi dari meningkatnya peran RMB adalah perekonomian RRC perlu lebih dicermati karena setiap perubahan kebijakannya akan berpengaruh lebih besar terhadap ekonomi dunia termasuk Indonesia.
Sjamsul Arifin adalah anggota ISMSdan mantan Direktur Eksekutif Direktorat Internasional Bank Indonesia