Mencegah Konservatisme Agama
Penangkapan pemimpin dan beberapa anggota KM oleh aparat kepolisian ini ibaratnya masih menangani ”fenomena gunung” dari ”ekosistem” khilafah di Indonesia. Negara hanya bisa melakukan apa yang tampak di permukaan.

-
Awal bulan ini, polisi menangkap Abdul Qadir Baraja, pemimpin Khilafatul Muslimin, di Lampung (7/6/2022).
Penangkapan ini buntut dari konvoi anggota Khilafatul Muslimin (KM) dengan sepeda motor sambil membawa bendera berbahasa Arab berukuran besar di Cawang, Jakarta Timur, dan di beberapa daerah lain, Minggu (29/5/2022). Kejadian ini memantik banyak pertanyaan masyarakat: kenapa organisasi yang telah berdiri sejak 25 tahun lalu ini baru show off sekarang?
Di tengah masyarakat yang muak terhadap kelompok intoleran, radikal, dan ekstremis, kenapa mereka dibiarkan berkembang? Siapa sebenarnya mereka? Apa yang negara dan masyarakat bisa lakukan?
Untuk menghindari analisis yang bias politik praktis di atas, penulis menawarkan membedah fenomena KM dengan pisau analisis ”ekosistem”.
Negara vs ”ekosistem” khilafah
Menjawab pertanyaan di atas dengan jernih sangatlah penting mengingat menjelang tahun politik Pilpres 2024, peristiwa apa pun, apalagi terkait masalah ideologi dan potensi mobilisasi massa, akan dengan mudah dikaitkan dengan isu politik praktis nasional. Tampaknya, KM pun memanfaatkan momentum ini dengan mengajak umat, seperti tertera dalam spanduk yang mereka bawa saat konvoi, untuk menyambut ”kebangkitan Khilafah Islamiyah”.
Untuk menghindari analisis yang bias politik praktis di atas, penulis menawarkan membedah fenomena KM dengan pisau analisis ”ekosistem”. Istilah ini biasanya dipakai dalam kajian biologi untuk menunjukkan ”sebuah wilayah geografis tertentu di mana tanaman, hewan, dan organisme lain, demikian juga cuaca serta kontur tanah, yang bekerja sama membentuk sebuah kehidupan tersendiri”.
Relasi dinamis dalam ekosistem di atas, penulis modifikasi dengan melihat interaksi sosial yang terjadi antara komponen KM melalui 1) people atau individu yang terlibat dalam KM, 2) places atau tempat di mana mereka melakukan aktivitas, seperti sekolah, pengajian, dan terakhir 3) platform atau melalui media apakah KM ini menyebarluaskan pahamnya kepada anggota ataupun calon anggota baru, seperti media sosial, Whatsapp, Telegram, dan lain-lain (Ramakrishna 2022).

Polda Metro Jaya akan mengusut aktivitas konvoi puluhan kendaraan bermotor dengan membawa bendera bertuliskan Khilafatul Muslimin. Sebelumnya, rekaman video menunjukkan konvoi puluhan motor dengan membawa poster hingga bendera bertulisan Khilafatul Muslimin, di Jakarta Timur, Minggu (29/5/2022). Para pemotor melintasi jalan, bergerombol dengan memakai seragam.
Dengan melihat KM sebagai bagian dari ekosistem, penangkapan pemimpin dan beberapa anggota KM oleh aparat kepolisian ini ibaratnya masih menangani ”fenomena gunung” dari ekosistem khilafah di Indonesia. Artinya, negara hanya bisa melakukan apa yang tampak di permukaan dan belumlah menelisik akar masalah lahirnya kelompok seperti KM ini.
Langkah awal yang harus negara lakukan ialah memahami proses panjang munculnya KM itu tersendiri. Dalam konteks ini, pakar politik AS, Ted Gurr, dalam Why Men Rebel (1970) mengingatkan pentingnya melihat aspek relasi kuasa atau ”struktur” pada kelompok yang melakukan rebel atau perlawanan terhadap kelompok arus utama. Menurut Gurr, grievance atau ”kekecewaan” pada kondisi sosial politiklah yang sering kali jadi pemantik yang ampuh para individu itu untuk mbalelo.
Baca juga: Pengikut Khilafatul Muslimin di Lampung Mencapai 2.000 Orang
Individu dalam KM
Ibarat pasien Covid-19, individu mbalelo ini adalah patient zero atau ”kasus pertama” yang kemudian menularkan penyakitnya ke orang lain. Dalam konteks KM, patient zero ini adalah Abdul Qadir Baraja. Ia kecewa dengan sistem politik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar Pancasila.
Rasa kecewa itu tidak datang tiba-tiba. Baraja adalah mantan pengikut Negara Islam Indonesia (NII). Secara genealogi, KM merupakan salah satu ”sempalan” NII. Namun, KM punya imajinasi politik melewati negara-bangsa, yaitu sistem khilafah global. Konsep ini mirip konsep Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan juga Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Ironisnya, sebagai sebuah sistem politik bernegara, ”khilafah” yang diusung KM memang merupakan bagian yang tidak terelakkan dari sejarah Islam. Sebagai sebuah realitas sejarah, pemerintah dan masyarakat tidak perlu memberi stigma negatif narasi khilafah ini.
Namun, yang perlu ditekankan kepada umat Islam adalah sistem khilafah bukanlah satu-satunya sistem pemerintahan yang diakui dan dipraktikkan dalam dunia Islam. Ada sistem lain, seperti monarki, kesultanan, dan republik.

Polda Metro Jaya mengumumkan empat orang penting kelompok Khilafatul Muslimin sebagai tersangka penyebaran berita bohong dan perbuatan yang mengarah pada makar.
Meski kecewa dengan sistem NKRI, KM bukanlah organisasi teror seperti Jamaah Islamiyah (JI) atau Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Namun, bukan berarti tak ada orang KM yang tak terlibat dalam aksi terorisme. Misalnya, dua anggota KM, Jurnal Kurniawa dan Noval Agus Syahroni, ditangkap Densus 88 pada akhir 2019 terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto (jaringan Abu Zee dan Abu Rara). Sebelum mendirikan KM, Baraja terlibat dalam peledakan Candi Borobudur pada 1980-an.
Pada awal 2014, ditampilkan dalam laman KM, salah satu pentolan KM, Ustaz Zulkifli Rahman, berdiskusi dengan beberapa ”tokoh umat Islam”, seperti Ustaz Farid Okbah, anggota senior JI yang telah ditangkap Densus 88 terkait pendanaan JI dan Amir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Wilayah Jakarta Ustaz Harists Amir Falah.
Dinamika di atas dapat dibaca bahwa meskipun KM tidak secara sistematis (atau mungkin belum) menggunakan aksi terorisme, mereka hidup dalam ekosistem yang menolak NKRI.
Mereka biasanya mempunyai tiga ciri utama: 1) merasa ”superior” atau merasa lebih baik dan benar dibandingkan dengan kelompok lain, 2) loyalitas internal kelompok yang kuat, dan 3) haus akan kekuatan politik yang ironisnya dibungkus dalam bahasa agama. Individu dalam ekosistem ini bisa jadi berbeda dari sisi strategi, tapi mereka tetap dipersatukan dengan ide dan mimpi yang sama, yaitu hadirnya sistem politik Islam di Indonesia dan lalu di seluruh dunia.
KM berpusat di Lampung, sebuah ”ekosistem ” khilafah yang strategis bagi mereka.
Tempat aktivitas KM
KM berpusat di Lampung, sebuah ekosistem khilafah yang strategis bagi mereka. Selain karena Lampung menghubungkan antara Pulau Sumatera dan Jawa, secara sejarah, Lampung, terutama di Desa Talangsari, pernah menjadi ajang pembantaian ratusan aktivis Islam oleh aparat keamanan pada masa Orde Baru akhir 1980-an. Pada waktu itu, para aktivis Islam ini menolak Pancasila sebagai asas tunggal negara. Meskipun telah lebih dari 30 tahun peristiwa Talangsari ini terjadi, sekam grievance kepada penguasa, seperti yang diidentifikasi oleh Gurr di atas, tampaknya dirawat dengan baik oleh individu dalam ekosistem khilafah seperti Baraja.
Di Lampung, tercatat, KM mempunyai lembaga pendidikan agama, yaitu Pondok Pesantren Ukhuwah Islamiyah (PPUI) yang memiliki 182 santri dan setiap alumnusnya diwajibkan mengabdi satu tahun di KM. Barangkali, dengan sistem pengaderan seperti inilah KM juga mempunyai berbagai cabang di Indonesia, seperti di Bima, Bekasi, dan beberapa di kota Jawa Tengah, seperti Brebes dan Klaten, serta wilayah lain di Indonesia.

Pucuk pimpinan Khilafatul Muslimin Abdul Qodir Hasan Baraja memiliki rentetan jejak radikalisme di Indonesia. Dari catatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, ia pernah tercatat sebagai anggota Negara Islam Indonesia. Merespons keberadaan Khilafatul Muslimin, MUI Lampung mendukung langkah pemerintah menangkap pemimpin Khilafatul Muslimin, Abdul Qodir Hasan Baraja, Selasa (7/6/2022).
Media penyebaran ideologi
KM mengusung gerakan dakwah pemahaman khilafah seperti halnya HTI. Mereka memiliki fanpage bernama Al Khilafah dan buletin yang disebar setiap bulan dengan nama yang sama. Narasi yang berbahaya dalam laman ini adalah bagaimana manipulasi sejarah yang mereka lakukan dengan mengaitkan pengakuan dunia terhadap NII Indonesia sampai akhirnya diteruskan hari ini.
Dibandingkan HTI, KM cenderung lebih lembut dan melakukan pendekatan dakwah. Mereka juga bukan kelompok takfiri atau kelompok yang mudah mengafirkan orang di luar kelompok mereka. Pemahaman dakwah ala khilafah ini disebarkan oleh KM secara masif, tapi senyap, baik daring maupun luring. Adapun metode luring digunakan melalui metode door to door dan mendirikan sejumlah lembaga pendidikan di beberapa wilayah di Indonesia.
Dengan gencarnya penyebaran ideologi khilafah ini, tak heran jika beberapa anggota KM pun terpesona dengan proyek khilafah NIIS di Irak dan Suriah. Salah satu pentolan KM yang rajin mengembangkan materi kajian daring KM, Nanang Pambudianto, bergabung ke proyek khilafah abal-abal Al Baghdadi di Suriah pada 2014. Belakangan dia tewas di sana. Hari ini, adik perempuan Nanang yang menikah dengan pendukung NIIS asal Aljazair masih berada di kamp pengungsian Suriah bersama dengan anak lelakinya.
Baca juga: Densus 88 Turun Tangan Atasi Khilafatul Muslimin
Kepada penulis, adik perempuan Nanang ini menjelaskan dalam wawancara daring tentang visi KM: ”Tujuan KM itu memang mencari anggota sebanyak-banyaknya di dunia ini agar terlahir khilafah ala Minhaj An Nubuah”. Ini adalah konsep politik dalam bahasa Arab yang berarti ”sistem pemerintah yang mengikuti tuntutan kenabian”.
Penegakan hukum tak cukup
Hanya mengandalkan penegakan hukum untuk menghadapi ekosistem khilafah di Indonesia, seperti KM, jelas tidaklah cukup. Selain menguras energi negara, ekosistem khilafah akan semakin percaya diri karena mereka paham celah-celah hukum negara. Mereka paham nasib KM akan seperti HTI dan FPI. Negara akan membubarkan KM dan semua yayasan yang menaungi lembaga pendidikan mereka.
Ribuan santri akan kehilangan tempat belajar. Orangtua akan bingung mencarikan sekolah baru bagi anak-anak mereka ini. Jika terus mendapatkan stigmatisasi dari negara dan masyarakat, mereka akan jadi korban tak langsung dari keputusan negara terhadap KM ini. Pada titik ini, rasa kecewa kepada negara mudah dibangkitkan oleh para simpatisan KM yang merasa perlu ”membalas” negara dengan cara yang berbeda.

Spanduk bertuliskan penolakan atas kelompok yang menyebarkan paham khilafah terpasang di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, Senin (13/6/2022). Penyebaran paham khilafah kembali menjadi sorotan pasca-penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja, pemimpin kelompok Khilafatul Muslimin di Lampung oleh Polda Metro Jaya pada pekan lalu. Pemerintah terus memantau aktivitas kelompok yang menyebarkan paham khilafah yang bertentangan dengan Pancasila.
Dalam kajian terorisme, fenomena ini sering disebut dengan istilah reciprocal radicalism atau ”radikalisme yang berbalas”. Fenomena ini tak hanya pada kelompok Islam, tetapi juga kelompok Kristen. Misalnya pascaeksekusi tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso, yaitu Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, pada September 2003, ada 17 warga Kristen Poso yang sedang mabuk dan marah dengan tindakan eksekusi mati ini, membalas dengan membunuh dua Muslim pengemudi truk pemuat ikan dan sopirnya.
Oleh karena itu, perlu dipikirkan sebuah operasi ”inklusi politik” oleh pemerintah melalui kementerian dan lembaga negara terhadap para pengikut KM di seluruh Indonesia. Fakta di lapangan menunjukkan, pembubaran FPI dan HTI tidak mengubah arah potensi radikalisme yang tumbuh di dalam taman konservatisme beragama di Indonesia.
Untuk mencegah menjamurnya konservatisme beragama ini, almarhum Ahmad Syafii Maarif (2011) dalam konteks polemik negara vs ekosistem khilafah ini pernah menuliskan: ”Sebenarnya kedua kelompok di atas dapat duduk bersama dalam suasana yang lebih santai untuk memikirkan hari depan bangsa yang sedang tercabik-cabik ini. Kedua kelompok itu adalah kekuatan politik riil dalam masyarakat Indonesia. Nasib bangsa akan banyak tergantung kepada keberhasilan atau kegagalan mereka menyusun secara bersama agenda Indonesia masa depan”.
Noor Huda Ismail,Visiting Fellow RSIS, NTU Singapore