Revolusi Mental
Mental apa yang diutamakan oleh Joko Widodo ketika menggunakan kata-kata revolusi mental? Banyak yang tidak mengetahuinya dengan pasti. Yang terpenting direvolusikan adalah mental korup, mental munafik, mental kuli.
Dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019, dua buah kata yang sangat mengemuka ialah revolusi mental.
Mental manusia memang merupakan sumber dari tingkat peradaban dalam arti yang luas. Maka, perubahan mental yang positif dalam semua aspeknya teramat penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Revolusi mental berarti mengubah mental manusia secara revolusioner.
Apa yang diartikan dengan kata revolusi? Menurut Bung Karno dalam pidatonya, revolusi berarti menjebol yang jelek dan membangun yang baik sebagai gantinya.
Menurut Guntur Soekarno (buku Catatan Merah jilid 2), revolusi adalah penjungkirbalikan seluruh tata nilai lama digantikan dengan tata nilai baru, penjungkirbalikan tata nilai lama dari akar-akarnya, dan perubahan yang cepat dari struktur masyarakat lama menjadi struktur masyarakat baru.
Mental apa yang diutamakan oleh Joko Widodo (Jokowi) ketika menggunakan kata-kata revolusi mental? Saya kira banyak yang tidak mengetahuinya dengan pasti. Bagi saya, yang terpenting direvolusikan adalah mental yang korup, mental munafik, mental kuli.
Bagi saya, yang terpenting direvolusikan adalah mental yang korup, mental munafik, mental kuli.
Mental korup tidak terbatas pada mencuri uang, tetapi juga pikiran yang korup (corrupted mind). Salah satu perwujudan corrupted mind adalah kenyataan tentang pensiun pejabat tinggi RI dewasa ini.
Seorang yang pernah menjabat sebagai anggota DPR, anggota Badan Pekerja MPR, Wakil Ketua MPR, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin), Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, serta penyandang bintang jasa Mahaputra Adhi Pradana, pensiunnya sebesar Rp 4,2 juta per bulan.
Apa artinya ini? Sangat banyak. Satu contoh ialah percakapan saya dengan mantan pejabat sangat tinggi. Beliau mengeluh kepada atasannya yang masih berkuasa bahwa setelah pensiun dirinya sangat kekurangan uang untuk menyambung hidupnya.
Atasannya menjawab, ”Lho, Anda, kan, sudah diberi kesempatan menjabat dengan kekuasaan besar yang cukup lama. Mengapa tidak mengumpulkan uang selama itu?” Dapatkah kita mengatakan bahwa atasannya bermental korup?
Mental kuli
Negara kita dianugerahi kekayaan alam yang melimpah. Namun, selama ini tidak ada pikiran untuk melakukan hilirisasi dengan nilai tambah yang besar.
Yang terjadi adalah bahwa dalam konferensi di Geneva pada November 1967 antara Pemerintah Indonesia dan perusahaan-perusahaan raksasa dari negara-negara maju yang didampingi oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, kekayaan alam tersebut—terutama mineral yang sangat mahal harganya—dibagi-bagi kepada perusahaan-perusahaan raksasa asing.
Baca buku-buku yang ditulis John Pilger, Jeffrey Winters, dan Bradley Simpson. Saya merangkumnya dalam buku yang berjudul Nasib Rakyat Indonesia dalam Era Kemerdekaan.
Sumber dari kekonyolan ini adalah mental kuli yang sudah sangat lama dikhawatirkan oleh Bung Karno, yang ”mengemis” beasiswa dari negara mana pun di dunia. Permintaannya berhasil. Dalam zamannya terdapat mahasiswa Indonesia di seluruh dunia. Namun, para sarjana yang dihasilkan dijadikan pegawai oleh perusahaan-perusahaan raksasa asing dengan gaji yang rendah.
Mereka dijadikan bermental kuli di negerinya sendiri yang sudah lama merdeka.
Contoh yang paling menonjol adalah yang melakukan eksploitasi di demikian banyak sumur minyak di berbagai wilayah di Indonesia; tambang-tambang batubara di Kalimantan; tambang emas dan tembaga di Grassberg, Timika, Papua; dan masih banyak lagi.
Pokoknya demokrasi Indonesia harus semirip mungkin dengan demokrasi yang berlaku di Amerika Serikat.
Mental pesuruh komprador
Diamendemennya UUD 1945 sampai empat kali—yang prosesnya diawasi oleh wakil dari National Democratic Institute (NDI) Amerika Serikat (AS)—menghasilkan demokrasi 50 persen + 1.
Legitimasi presiden sama dengan gubernur, wali kota, bupati, karena sama-sama memperoleh hak dan kekuasaannya langsung dari rakyat. Bagi mereka semuanya, berlaku vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Yang lebih rendah dan bisa dipecat setiap saat adalah para menteri karena mereka hanya petugas partai dan pesuruh presiden yang berkolaborasi, bukan berkoalisi atas dasar kesepakatan dalam kebijakan.
Walaupun kita sudah lama memiliki Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), dan kabinet, toh dirasa perlu Presiden didampingi Tim Penasihat Ekonomi dan Tim Penasihat Keamanan seperti Gedung Putih di AS yang mempunyai East Wing dan West Wing.
Kita harus mempunyai Senat yang dinamakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tanpa ada kejelasan apa kerjanya kecuali kalau ada sidang MPR.
Pokoknya demokrasi Indonesia harus semirip mungkin dengan demokrasi yang berlaku di Amerika Serikat. Bukankah kenyataan ketatanegaraan kita yang berlaku sekarang ini didasarkan atas mental yang masih terjajah?
Mengakar dan menyebar
Terutama dalam bidang tata nilai, mental, moralitas dan akhlak, apakah setelah 77 tahun merdeka dari penjajahan, kita lebih maju atau lebih mundur? Benarkah Bung Hatta yang sejak puluhan tahun lalu mengatakan bahwa korupsi mulai menjadi kebudayaan kita?
Benarkah kalau sekarang dikatakan bahwa KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sudah ”mendarah daging” dan merupakan gaya hidup banyak elite bangsa kita?
Setelah adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak terbantahkan lagi betapa KKN sudah mengakar dalam sekali dan sudah menyebar sangat luas. Hampir setiap hari kita saksikan koruptor yang ditangkap KPK. Banyak koruptor ditangkap dan ditahan karena sudah cukup bukti untuk dijadikan tersangka tertawa lebar, mengacungkan jempol.
KKN yang awalnya pencurian uang negara dan suap-menyuap punya dampak merusak yang sangat luas di banyak aspek kehidupan, antara lain yang dahsyat Indonesia menjadi salah satu pusat perdagangan narkoba utama di dunia.
Baca juga Mentereng di Luar, Remuk di Dalam
Penguasaan teknologi
Kemampuan kita menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakan bangsa-bangsa lain memang boleh dikatakan cukup up to date. Namun, apakah ilmu pengetahuan itu temuan kita sendiri, dan apakah teknologinya ciptaan bangsa sendiri?
Ataukah kita harus membelinya dengan harga sangat mahal dari bangsa-bangsa lain? Para pemilik pabrik besar yang bekerja dengan mesin-mesin otomatis dan bahkan robotik yang sangat dibanggakan oleh pemiliknya kepada para pengunjung pabriknya.
Bukankah ini mental yang berslogan ”Biar bodoh asal sombong”? Slogan yang banyak diterapkan mayoritas universitas yang jumlahnya ribuan di negara ini.
Mental semacam ini harus dijungkirbalikkan sampai ke akar-akarnya, yang harus dimusnahkan secara revolusioner.
Pandangan dunia
Apakah dalam pergaulan antarbangsa dan kedudukan kita dalam organisasi-organisasi internasional, bangsa kita mempunyai tempat dan kedudukan yang lebih terhormat atau lebih terpuruk?
Pemberitaan di dalam negeri yang tentu sangat berpengaruh pada kedudukan Indonesia di dunia internasional. Seperti pencurian, perampokan, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, korupsi, pembunuhan, dan sejenisnya. Sayang, karena yang bermental kriminal sebenarnya sangat sedikit jumlahnya, tetapi diberitakan secara sangat luas. Nila setitik merusak susu sebelanga.
Apakah kita harus bangga atau harus sedih bercampur malu bahwa presiden kita yang mewakili 270 juta manusia melakukan kunjungan kepada Mark Zuckerberg dan Elon Musk yang mewakili otak yang brilian dan inovator? Mental semacam ini harus dijungkirbalikkan sampai ke akar-akarnya, yang harus dimusnahkan secara revolusioner.
Kesejahteraan berkeadilan
Tidak dapat disangkal, pendapatan nasional per kapita meningkat sejak kemerdekaan hingga sekarang. Namun, pendapatan nasional per kapita tidak mencerminkan keadilan dalam menikmatinya.
Pendapatan nasional per kapita adalah pendapatan seluruh bangsa dibagi dengan jumlah penduduk. Ini tak berarti angka yang dihasilkannya sama dengan pendapatan riil dari setiap warga negara. Angka-angka dari berbagai sumber menggambarkan betapa timpangnya antara kaya dan miskin, antara kota dan desa, antara perusahaan besar dan kecil.
Beberapa gelintir orang menguasai lebih dari 80 persen kekayaan seluruh bangsa. Mental yang mendasarinya adalah feodalisme yang dicerminkan oleh ucapan L’etat c’est Moi, yang berarti ”Negara adalah Aku”. Indonesia bukan monarki. Maka gantinya ”Aku adalah Peng-Peng” yang berarti Aku Pengusaha dan Penguasa.
Bukankah kenyataan tersebut yang membuat kita sekarang bermental utang?
Keuangan negara
Selama 32 tahun sejak 1967, pemerintah menyatakan bahwa APBN kita tidak pernah defisit, yang sangat bertolak belakang dengan kenyataannya. Tahun 1967 dibentuk Inter Governmental Group of Indonesia (IGGI) antara negara-negara kaya dengan Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.
Pekerjaan IGGI tiada lain adalah mengguyur utang dalam valuta asing setiap tahun untuk mendanai anggaran pembangunan. Seluruh pendapatan negara dipakai habis untuk biaya-biaya rutin. Pembangunan dibiayai seluruhnya oleh utang dari IGGI, Bank Dunia, IMF, dan negara-negara lain. Dalam APBN, utang tersebut tidak dicantumkan dengan istilah ”Utang”, tetapi ”Pemasukan Pembangunan”.
Dengan demikian, APBN yang defisit disebut APBN yang berimbang. Tidak bisa dipahami betapa lamanya pembohongan seperti ini berlangsung. Dengan demikian, di dalam benak para pemimpin kita ketika itu, utang luar negeri kita tidak dianggap sebagai utang yang perlu dibayar dengan beban bunga. Bukankah kenyataan tersebut yang membuat kita sekarang bermental utang?
Dalam pantunnya, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) merangkum kesemuanya ini dengan kata-kata ”Negara Amplop dan Negara Haha Hihi”.
Yang manakah yang sudah berhasil diubah secara revolusioner melalui revolusi mental?
Kwik Kian Gie,Menteri Koordinator Ekonomi 1999-2000 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 2001-2004