Perubahan Tren Koalisi Partai
Keterbukaan partai untuk bertemu dan menggagas koalisi dini menunjukkan adanya tren yang berubah dalam hubungan antarpartai ke depan, terutama dalam berkoalisi. Namun, daya tahan koalisi ditentukan oleh dinamika politik.
Di tengah kompetisi politik menjelang Pemilu 2024 yang diperkirakan akan ketat, partai-partai politik mulai terbuka untuk menjalin kerja sama.
Keterbukaan partai untuk bertemu dan menggagas koalisi dini menunjukkan adanya tren yang berubah dalam hubungan antarpartai ke depan, terutama dalam berkoalisi. Inovasi politik Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) untuk menggagas koalisi yang lebih awal menarik untuk dicermati dan diperkirakan akan memengaruhi formasi koalisi ke depan.
Tulisan ini mendiskusikan bagaimana perubahan tren koalisi ke depan serta faktor-faktor yang akan memengaruhi soliditas koalisi.
Menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 diprediksi akan terjadi beberapa perubahan perilaku dan kecenderungan hubungan antarpartai. Pertama, ke depan diprediksi partai-partai semakin terbuka mendiskusikan platform dan agenda strategis yang penting pada level domestik atau global.
Perubahan perilaku terjadi karena munculnya elite-elite baru di internal partai yang berasal dari kelompok profesional/ahli. Selain itu, partai juga semakin membuka diri untuk dapat masukan kelompok ahli saat mengambil kebijakan strategis partai.
Menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 diprediksi akan terjadi beberapa perubahan perilaku dan kecenderungan hubungan antarpartai.
Di tengah tantangan domestik dan global yang ke depan diperkirakan akan berat, keterlibatan kelompok ahli dalam pengambilan kebijakan partai dianggap penting. Tantangan yang berat, misalnya, tampak dalam beberapa situasi berikut: adanya ancaman kelangkaan dan kenaikan harga pangan dunia, bonus demografi dan membesarnya kelompok usia nonproduktif (aging society), serta pemanasan global.
Selain itu, di tingkat domestik, kita masih menghadapi tantangan pada isu pendidikan dan pembangunan manusia, seperti potensi terjadinya lost generation akibat pandemi dan penanganan tengkes yang belum tampak perbaikan yang signifikan.
Kedua, elite-elite partai mulai terbuka untuk bertemu dan mencari kesamaan politik dibandingkan perbedaan politik dan ini baik bagi pembangunan politik kita. Dalam beberapa waktu terakhir, kita melihat pemandangan menyejukkan dengan adanya pertemuan-pertemuan elite partai yang sebelumnya pernah pada blok politik yang berbeda. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bertemu dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh.
Teranyar, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menggelar pertemuan dengan Surya Paloh.
Pertemuan politik ini baik bagi pendidikan politik publik untuk mengikis polarisasi politik yang terjadi sejak 2014. Kita berharap pertemuan dan kesepakatan politik memberikan porsi yang besar pada pembicaraan agenda strategis nasional pasca-2024 dibandingkan utak-atik pasangan calon presiden/wakil presiden (capres/cawapres).
Ketiga, diprediksi pertemuan politik antarpartai akan mendorong partai membentuk koalisi pra-Pilpres 2024 lebih dini. Dalam kasus Indonesia, koalisi prapilpres sering terbentuk pada menit-menit akhir menjelang pendaftaran capres/cawapres.
Pembentukan koalisi terjadi karena faktor untuk memenuhi syarat dukungan dibandingkan kesamaan platform/agenda partai. Akibatnya, koalisi ini sering kali tak stabil dan tak memiliki pengikat yang kuat. Hal tersebut memengaruhi adanya kecenderungan presiden terpilih untuk mengakomodasi partai lain setelah pemerintahan baru terbentuk (Slater, 2018).
Baca juga Persaingan Ketat di Pilpres 2024 Ubah Tren Koalisi
Faktor lain yang memengaruhi terbentuknya koalisi dini adalah kecenderungan akan ketatnya pilpres sehingga mendorong partai untuk lebih awal membangun chemistry dengan para capres. Ketatnya pilpres nanti dapat dilihat dari masih dekatnya jarak elektabilitas di antara calon-calon populer serta tidak adanya petahana karena Presiden Joko Widodo sudah menjabat selama dua periode.
Agenda strategis
Pembentukan KIB menunjukkan adanya keinginan partai untuk mendorong agenda kebijakan strategis daripada faktor ideologi. Ke depan, partai-partai perlu didorong mencari kesamaan dari sisi kebijakan dibandingkan kesamaan ideologi, untuk membentuk koalisi lebih awal. Semakin lentur ideologi antarpartai koalisi, semakin mudah bagi partai mendorong koalisi berbasis kebijakan sebelum pilpres (Kellam, 2015).
Koalisi yang cair ini sebenarnya sudah terlihat di tingkat lokal. Dalam analisis terhadap model koalisi partai dalam pilkada, tak terdapat pola yang ajek ditemukan pada partai-partai yang berkoalisi. Di tengah tingginya fragmentasi parpol di tingkat lokal dan tingginya syarat pencalonan, koalisi pencalonan dalam pilkada menjadi sangat cair, baik dari sisi ideologi partai atau afiliasi politik partai di tingkat nasional (CSIS, 2018).
Di tingkat lokal, tingginya syarat pencalonan menyebabkan tak ada dorongan yang kuat bagi partai-partai untuk mencari kandidat alternatif karena beratnya membentuk koalisi. Hal ini mendorong partai-partai untuk mendukung calon petahana.
Dalam konteks nasional, tingginya syarat pencalonan di pilkada dan pilpres diperkirakan akan juga memengaruhi perilaku partai dalam berkoalisi. Dalam UU Pemilu No 7/2017 Pasal 222 disebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai atau gabungan partai yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen atau 25 persen perolehan suara sah secara nasional pada pemilu sebelumnya.
Mendorong partai melakukan koalisi dini dan permanen perlu disuarakan secara terus-menerus karena beberapa alasan strategis. Di antaranya, koalisi dini memberikan waktu yang banyak bagi partai dan anggota koalisi untuk mendiskusikan kebijakan strategis serta dapat melibatkan publik dalam proses kandidasi melalui pelaksanaan penjaringan yang terbuka. Dalam kasus di daerah, misalnya, koalisi mayoritas yang permanen dianggap mampu membuat kebijakan pelayanan publik yang baik terutama di tahun awal pemerintahan.
Dalam konteks nasional, tingginya syarat pencalonan pada pilkada dan pilpres diperkirakan akan juga memengaruhi perilaku partai dalam berkoalisi.
Dengan adanya koalisi dini, partai dapat membuat komitmen terkait prioritas pemerintahan pascapemilu. Studi Freudenreich (2016) di negara-negara Amerika Latin menunjukkan formasi kabinet umumnya ditentukan berdasarkan komitmen yang dibentuk sebelum pilpres. Dalam kasus Indonesia, adanya koalisi dini membuat partai dan capres dapat mendiskusikan prioritas dan formasi pemerintahan secara intensif sebelum pemungutan suara.
Alasan strategis lainnya, koalisi dini memberikan kepastian bagi kandidat untuk mendapatkan tiket serta punya waktu yang panjang untuk melakukan sosialisasi ke pemilih. Selain itu, dengan adanya koalisi dini, tersedia waktu yang banyak bagi pemilih untuk mempelajari visi dan rekam jejak kandidat.
Baca juga Situasi Masih Dinamis, Sejumlah Parpol Belum Ingin "Terkunci" Koalisi
Kerentanan
Partai koalisi juga harus memitigasi kerentanan-kerentanan yang diperkirakan akan memengaruhi soliditas koalisi politik pra-pemilihan. Mitigasi yang bisa dilakukan, antara lain, pertama, memastikan adanya power sharing yang lebih terbuka dan fair di antara partai-partai yang akan bergabung di koalisi.
Kedua, mempertimbangkan mencari kandidat yang memiliki visi politik jangka panjang serta berpotensi memenangi pemilu. Kandidat yang visioner dan berpeluang menang dapat menjadi pengikat koalisi. Pasalnya, koalisi akan rentan mengalami keretakan apabila muncul dorongan eksternal untuk menyeberang ke koalisi lain yang lebih menjanjikan secara politik dan elektoral.
Kerentanan ketiga bisa terjadi setelah pilpres. Hasil pilpres akan memengaruhi soliditas koalisi yang telah terbentuk sebelum pilpres. Potensi partai untuk membentuk koalisi baru pascapilpres sangat mungkin terjadi.
Adanya kecenderungan partai yang kalah dalam pemilu untuk bergabung dalam pemerintahan yang baru terpilih juga menjadi tantangan dalam koalisi permanen. Apalagi sebagian partai merasa tidak ada insentif politik dan finansial untuk menjadi partai oposisi sehingga dorongan untuk menjadi bagian dari pemerintahan terpilih menjadi kuat.
Faktor lain yang memengaruhi stabilitas dan daya tahan koalisi adalah pengaruh dari faksi-faksi politik di internal koalisi. Studi Fionna dan Tomsa (2020) menemukan bahwa faktor faksionalisme di kalangan internal partai memengaruhi pembentukan koalisi dan formasi kabinet. Untuk itu, partai politik perlu memastikan adanya soliditas di internal partai terkait kebijakan strategis partai dalam mendukung pasangan calon tertentu, atau membentuk koalisi.
Daya tahan koalisi juga bisa dipengaruhi oleh seberapa besar kecenderungan partai untuk merepresentasikan preferensi pemilih saat memutuskan untuk membangun koalisi. Kesalahan partai dalam memproyeksikan koalisi akan memengaruhi perolehan suara partai dalam pemilu. Dorongan bagi partai untuk melakukan koalisi dini dinilai strategis dilakukan agar tersedia mekanisme yang baru dalam proses kandidasi dan nominasi politik dan kepemimpinan nasional ke depan.
Arya Fernandes,Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS