”Big data” bisa didayagunakan dan dikelola sesuai keperluan para pihak untuk motif ekonomi ataupun politik. Masyarakat pun harus menyadari perlu dan pentingnya data profil pribadi baik aspek ekonomi maupun aspek politik.
Oleh
BENI SINDHUNATA
·5 menit baca
Big data yang menjadi polemik dua bulan lalu menunjukkan bahwa big data lebih banyak dibahas aspek politiknya, seperti dalam wacana penundaan jadwal pemilu, bukan aspek ekonominya. Padahal kedua aspek ini sama berguna bagi masyarakat yang menjadi konsumen atau juga merangkap produsen potensial, bukan hanya target untuk kepentingan politik.
Kolom ini lebih fokus pada manfaat positif big data bagi dunia ekonomi dan partai politik. Di mana partai politik dan perusahaan atau dunia usaha sama-sama sebagai produsen kepada rakyat, dan sebaliknya rakyat juga menjadi konsumen dari produk dan jasa sesuai kebutuhan para pihak.
Secara umum, big data ibarat gudang data atau juga metadata yang sangat besar, cepat, bermutu, multiaspek, terkoneksi, kontinuitas, serta terkini. Ini konsep lama, tetapi dengan kemampuan teknologi informasi saat ini tentu bisa lebih maju dan terus berkembang. Menjamurnya pengembangan data centre menunjukkan pentingnya data centre bagi kemajuan perusahaan.
Indonesia dengan 272 juta penduduk dengan 69 juta rumah tangga, maka jutaan penduduk ini adalah produsen sekaligus konsumen. Ini menjadi sumber data dan riil yang kemudian didayagunakan dan dikelola sesuai keperluan para pihak untuk motif ekonomi ataupun motif politik.
Rakyat dengan PDB per kapita tahun 2021 sebesar Rp 62,2 juta atau 4.349 dollar AS (BPS) merupakan konsumen yang potensial dan memiliki daya beli. Namun, angka ini sangat tergantung kepada banyak aspek, seperti perubahan geografis, karena perubahan geografis ikut menentukan perilaku konsumen dan sikap politik (Andrew Gelman, 2008).
Karena itu, jangan membayangkan big data sebagai sesuatu yang mahabesar atau rumit.
Karena itu, jangan membayangkan big data sebagai sesuatu yang mahabesar atau rumit. Diperlukan kemampuan, ketelitian secara rutin dan berkala untuk menguliti atau membuka apa, siapa, kapan, berapa, dan aspek relevan lainnya tentang profile konsumen satu produk atau industri tertentu. Dari rutinitas ini bisa dimasak lagi sesuai keperluannya.
Saat ini umumnya profile konsumen sudah banyak digunakan, seperti dunia retailer serta usaha terkait lainnya. Kemajuan telekomunikasi saat ini justru lebih membantu menganalisis bank data tentang ekspektasi harga, mutu, dan pelayanan konsumen.
Potensi ekonomi
Sejumlah contoh sukses dalam mendayagunakan dan memanfaatkan kekuatan sebuah big data bagi perusahaan antara lain diungkap oleh Bernard Marr (2016). Dia memberi contoh sukses empat lusin perusahaan besar global berbagai sektor yang telah memaksimalkan dan menganalisis big data perusahaan demi keuntungan bersama (produsen dan konsumen) yang masih bertahan hingga kini. Misalnya Wallmart, Yahoo, Netflix, Ralp Lauran, Roll Royce atau Shell, dan Facebook.
Dari dunia retail hingga hiburan serta media sosial, para produsen tersebut secara kontinu dan teratur memperbarui data profil konsumen sesuai keinginan dan kebutuhannya saat itu. Sehingga, konsumen tanpa menyadari bahwa produsen sudah tahu apa, siapa, dan kapan, atau bagaimana keinginan konsumen lokal ataupun global tentang satu produk atau jasa.
Konsumen ibarat robot yang bisa dikendalikan dari jarak jauh tanpa sadar dan dimanjakan. Perilaku dan keinginan konsumen seakan diketahui sang produsen. Namun, pelbagai perkembangan saat ini bisa mengubah kinerja perusahaan sehingga perlu diantisipasi karena bisa bangkrut dan hilang dari peredaran bisnis dan kalah dalam persaingan.
Konsumen ibarat robot yang bisa dikendalikan dari jarak jauh tanpa sadar dan dimanjakan.
Sementara pemanfaatan big data oleh lembaga pemerintah atau BUMN yang kaya akan bank data konsumen sangat besar. Misalnya dari konsumen atau pelanggan listrik, telepon, air PAM, pelanggan jalan tol. Atau pelanggan SPBU yang rutin mengisi bensin atau stasiun pengisian baterai untuk mobil listriknya atau anggota BPJS. Konsumen dengan PDB per kapita tahun 2021 sebesar Rp 62,2 juta atau 4.349 dollar AS (BPS) merupakan konsumen yang potensial dan memiliki daya beli.
Potensi politik
Tentu tidak bisa dimungkiri bahwa warga atau rakyat menjadi target yang sangat potensial sebagai calon konsumen dalam bidang politik. Pola ini juga terbuka diterapkan pada Pemilihan Presiden 2024 dan pilkada-pilkada mendatang, di mana partai politik akan mendayagunakan data profil 200 jutaan penduduk yang memenuhi syarat pemilih (data KPU).
Jadi bukan hanya profil 100 juta penduduk, melainkan bisa lebih besar dari jumlah itu. Sebaiknya rakyat jangan hanya menjadi target sebuah survei politik yang semakin ramai menjelang pilpres. Karena itu, jangan cepat bersikap jika hasil survei berbeda dengan sikap sang responden. Apalagi dengan media sosial (medsos) yang diperkaya dengan kemampuan infotech saat ini, maka dunia maya (dumay) seakan menjadi dunia nyata (duta).
Dengan demikian, semua warga dan konsumen harus menyadari perlu dan pentingnya data profil pribadi, baik aspek ekonomi maupun aspek politik. Sebab, tidak semua survei bisa dipercaya karena ada yang bisa dipercaya, tetapi juga ada yang menyalahgunakan data termaksud. Intinya rakyat harus mewaspadai dan jangan mudah percaya.
Oleh karena itu, karena kebocoran data sejak 2021 terus terjadi meski sudah ada UU ITE, RUU Perlindungan Data Pribadi harus dituntaskan tahun 2022 demi keamanan dan perlindungan data pribadi rakyat Indonesia; agar tidak semakin banyak kebocoran data.
Dalam konteks ini, maka keberadaan BPS sebagai data centre milik pemerintah justru harus diperkuat karena lembaga ini laksana big data yang juga sangat penting dan bermanfaat bagi jutaan rakyat, konsumen, dan produsen dengan berbagai tujuan dan fungsinya. Sebab, data tentang kondisi atau tren sosial masyarakat di daerah tertentu bisa dikelola lagi karena tidak mungkin memperoleh peta sosial per individu setidaknya tren atau pola makro.
Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency (INBRA).