Ancaman Ekstremis-Radikalis di Era Disrupsi
Kemajuan teknologi menjadi ladang basah kelompok Islam ekstrem menebar doktrin seputar kajian keislaman yang kini merambah di media sosial sebagai konsumsi publik. Generasi Muslim milenial perlu mewaspadai hal ini.

Ilustrasi
Memasuki era serba modern saat ini, fenomena-fenomena kemasyarakatan dan keagamaan mengalami keanekaragaman perkembangan. Ini didasari adanya kesadaran penganut agama untuk beradaptasi dengan keniscayaan zaman yang semakin berkembang untuk mencapai sebuah visi-misi tertentu.
Terlebih hal yang bersifat keagamaan yang selalu mendapat berbagai respons dan menjadi konsumsi publik bagi orang beragama. Seperti halnya golongan Islam ekstrem yang kini beralih pada ranah baru dalam menggencarkan dakwahnya yang oleh pakar layaknya Khaled Abou El-Fadl dianggap keras, intoleran, eksklusif.
Sebelum melangkah jauh, penting kiranya memahami Istilah ekstrem terlebih dahulu sebagai pijakan pemahaman awal. Ekstrem memiliki arti paling keras, paling ujung, paling tinggi, sangat teguh, fanatik. Dengan begitu, ekstremitas merupakan suatu hal (perbuatan/tindakan) melebihi batas. Dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah ghuluw.
Baca juga: Melihat Islam secara Seimbang
Dari tindakan berlebihan terhadap suatu perkara (ghuluw) menjadi salah satu model beragama yang menjadi titik awal seseorang melenceng dari keberagamaannya. Jika dilihat dalam sejarahnya, sikap ekstrem acap kali terjadi dalam aspek pengamalan keagamaan. Secara garis besar, sikap tersebut dibagi menjadi dua bagian.
Selayang pandang makna ekstrem
Pertama, ekstrem dalam segi akidah. Dalam Islam sikap demikian juga dianut oleh kelompok Syiah Rafidhah yang menganggap kedudukan Ali bin Abi Thalib lebih tinggi dari para sahabat dan Rasulullah SAW. Bahkan, menganggap Ali sebagai manifestasi dari Allah.
Bahkan, sikap ghuluw lainnya dapat kita temui semacam menganggap dirinya yang paling benar dan dengan gampang mengafirkan orang yang tidak sependapat dengannya, bahkan ia berupaya untuk mendapat pengakuan masyarakat terhadap ideologinya.
Kedua, yaitu ghuluw dalam segi amalan agama/praktik-praktik ibadah. Dapat dicontohkan seperti halnya ibadah sepanjang hari tanpa henti, puasa terus-menerus, atau pandangan kaum-kaum tertentu yang hingga mewajibkan perkara yang sunah. Terkadang mereka melabeli dirinya sebagai pemegang ketaatan dan kebenaran, bahkan meremahkan siapa saja yang tidak sepaham sekalipun para ulama.
Terkadang mereka melabeli dirinya sebagai pemegang ketaatan dan kebenaran, bahkan meremahkan siapa saja yang tidak sepaham sekalipun para ulama.
Yusuf Qardhawi membagi tipologi golongan ekstrem sebagai berikut. Pertama, fanatik tentang suatu pandangan. Sikap demikian jika dipelihara, akan berimbas pada kehancuran dan perpecahan, bahkan dalam ranah internal umat Islam sendiri karena beranggapan pendapatnya paling benar, siapa pun yang berbeda dilabeli salah, sesat, dan patut ditinggalkan
Kedua, ada kecenderungan mempersulit. Dalam segi ibadah, secara pribadi boleh menggunakan jalan keringanan, tetapi beberapa sikap ghuluw cenderung mempertimbangkan harus sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Ketiga, adanya prasangka buruk terhadap sesama. Munculnya sikap demikian dipicu dari ada dan tumbuhnya anggapan bahwa seolah-olah dialah yang paling benar dan menempatkan keburukan pada orang lain. Terkadang merasa paling beriman.
Keempat, acap kali takfiri. Tindakan ataupun sikap ekstrem yang paling bahaya adalah ketika menyentuh pada ranah yang mudah mengafirkan orang lain yang tidak sepemahaman dengannya.

Bedah buku Islam dan Kemerdekaan Beragama karya KH Oesman Mansoer, tokoh Islam sekaligus salah satu pendiri Universitas Islam Malang (Unisma), Senin (26/10/2020), di Universitas Islam Malang. Dalam bedah buku itu ditegaskan bahwa Islam bersifat inklusif, yaitu menjaga ruang hidup bersama dengan mereka yang berbeda keyakinan.
Internet sebagai media doktrin baru
Dalam konteks di Indonesia dewasa ini, Islam ekstrem diwakili oleh HTI, Mujahidin Indonesia Timur, Salafi-Wahabi, Gema Pembebasan, dan beberapa sekte lainnya. Hingga memasuki era modern saat ini, ditandai dengan semakin majunya teknologi, menjadi ladang basah kelompok Islam ekstrem menebar doktrin seputar kajian keislaman yang kini merambah di media sosial sebagai konsumsi publik.
Nasrullah mengatakan bahwa media sosial (medsos) merupakan medium di internet yang dapat membentuk ikatan sosial, menjadikan penggunanya berinteraksi atau pun mempresentasikan diri, berkomunikasi, berbagi, dan bekerja sama. Meski demikian, sangat perlu ada kewaspadaan karena ranah agama merupakan hal yang sensitif dan sandaran utama manusia beragama.
Sebuah tantangan besar yang sangat perlu diwaspadai oleh generasi Muslim milenial adalah perlu ada kewaspadaan dalam memilah dan memilih sumber rujukan/materi seputar keislaman yang hendak dipelajari.
Baca juga: Gelombang Baru Terorisme
Mengapa demikian? Pasalnya, meleburnya seluruh informasi dalam ruang media baru kali ini memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter dan pemahaman seputar Islam, terlebih bagi mereka yang sama sekali belum pernah mengenyam pendidikan agama secara intens di pesantren. Doktrin-doktrin keagamaan yang disandarkan pada teks-teks dalil sebagai penguat visi-misi kekerasan/ujaran kebencian/perusakan yang mengatasnamakan agama pun acap kali mudah diterima oleh kalangan generasi muda dalam memahami agama secara praktis.
Dampak dan ancaman bagi pertahanan negara
Terbukti keberhasilan doktrin dari medsos terjadi seperti halnya di Makassar dan Surabaya, seperti yang dikatakan oleh Brigjen (Pol) Ibnu Suhendra (Intelijen Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri). Dalam sebuah wawancara terbuka pada 28 Mei 2021, ia mengatakan, fakta lapangan bahwa terdapat satu keluarga dengan sukarela menjadi aktor bom di dua tempat tersebut yang belajar dari internet tentang panduan perakitan bom dengan jaminan mati syahid.
Terbukti keberhasilan doktrin dari medsos terjadi seperti halnya di Makassar dan Surabaya.
Sinyal merah lainnya dari pengaruh dakwah medsos Islam ekstrem adalah tidak menutup kemungkinan jika generasi emas Muslim di era milenial secara lambat laun jika tidak cermat memilih sumber kajian akan terjerumus kepada pemahaman yang sempit dalam menafsirkan nilai-nilai Islam. Demikian menjadi sumbu tindakan serta pemahaman ekstrem yang nanti akan merugikan diri sendiri, masyarakat sekitar, dan negara.
Selain penyebaran interpretasi seputar kajian Islam yang sempit dengan belajar hanya sebatas leterlek, tidak diimbangi kontekstualis, menjadikan pemahaman hanya jalan di tempat, tidak berkembang, sempit, bahkan tidak bisa menyesuaikan dengan keadaan era yang menjadi tantangan bersama saat ini.

Oleh karena itu, sangat penting bagi generasi muda Muslim untuk mengetahui tipologi atau ciri-ciri sumber kajian yang mengarah kepada tindakan dan pemahaman ekstrem. Jika menjumpai tulisan, gambar, cuplikan video yang mengarah pada tindakan kekerasan atas nama agama, teror, penolakan terhadap sistem demokrasi dengan menyandarkan pada dalil-dalil Islam, doktrin mempersempit pemahaman agama, terlalu fanatik, dan minim sisi toleransi terhadap realitas sosial bahwa Indonesia memiliki kekayaan agama, suku, ras, budaya, maka hendaknya dihindari untuk dijadikan sumber rujukan pembelajaran.
Akun-akun yang patut dihindari untuk menjaga keutuhan Pancasila sebagai cerminan jati diri bangsa dan agama, di antaranya, website almanhaj.or.id, jihad-news.com, waislama.net (ISIS), daulahislamiyah.com, al-mutaqabbal.net, dan akun-akun Instagram yang bernuansa senada. Dapat pula kita temui alamat-alamat kajian Islam yang patut diwaspadai juga merambah ke Twitter, Youtube, Facebook.
Baca juga: Relasi Internet, Media Sosial, dan Narasi Terorisme
Sebuah pekerjaan rumah (PR) besar bagi bangsa dan generasi Muslim milenial dalam merawat ideologi bangsa serta masa depan Islam di Indonesia. Sebagai pemegang kebijakan, pemerintah dan pakar agama berpaham moderat bekerja sama melakukan sosialisasi terhadap generasi muda tentang pemahaman dakwah Islam ekstrem di era modern, dan penting sekali menanamkan buih-buih sikap dan pemahaman moderat dalam beragama, baik di lingkup masyarakat maupun bermedia sosial. Sebuah keniscayaan bahwa radikalisme/ekstremisme atas nama agama adalah musuh bersama.
Ali Mursyid Azisi, Peneliti Muda Studi Agama-Agama; Anggota Centre for Religious and Islamic Studies (CRIS) Foundation UIN Sunan Ampel