Perempuan Terkuat di Dunia
Megawati masih menjadi pemimpin politik berpengaruh di Indonesia sejak 1999. Meski tak lagi menjadi wakil presiden dan presiden di Indonesia, secara kontinu Megawati memiliki peranan politik besar karena memimpin PDI-P.
Dari floor Konferensi Internasional tentang Demokrasi di Istanbul, Turki, pada 2004, saya melihat Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid bersiap-siap menyampaikan makalahnya.
Karena Gerakan Reformasi 1998 dan pemilihan umum damai yang berlangsung pada 1999 dan 2004, Indonesia berkali-kali disebut sebagai contoh negeri demokrasi di dalam beberapa pidato sebelumnya. Inilah, tampaknya, mengapa Ketua MPR Hidayat Nur Wahid diundang untuk berbicara. Dan saya segera menggunakan earphone ketika moderator menyampaikan, ”Mr Hidayat will speak in Arabic.”
Hidayat Nur Wahid membicarakan bagaimana reformasi dan demokrasi tampil di Indonesia. Dan, untuk menunjukkan betapa berkualitasnya demokrasi di Indonesia, Hidayat Nur Wahid memberikan contoh bagaimana perempuan bisa menjadi presiden di Indonesia, negeri berpenduduk mayoritas Muslim itu. Yang dimaksudkan dengan presiden perempuan itu adalah Megawati Soekarnoputri (lahir: 1947).
Selama beberapa bulan belakangan, tokoh perempuan ini terus-menerus ada dalam ingatan saya. Mengapa? Karena keinginan mendengar apa pendapat Megawati atas gagasan pengunduran pemilu yang mengkhawatirkan ajuan para pemimpin politik laki-laki di negeri ini.
Setuju atau tidak dengan Megawati, harus kita akui tokoh perempuan ini telah menjadi ’penyelamat’ ritus demokrasi di Indonesia.
Di sini, sebagaimana diketahui, Megawati menolak gagasan itu. Dan, sebagai akibatnya, seluruh pemimpin politik laki-laki, yang sebelumnya ragu menyatakan penolakan, turut serta di belakang Megawati. Setuju atau tidak dengan Megawati, harus kita akui tokoh perempuan ini telah menjadi ”penyelamat” ritus demokrasi di Indonesia.
Perbandingan ringkas
Ingatan inilah yang mendorong ide membandingkan Megawati dengan para pemimpin dunia lainnya. Sepintas lalu, ide ini, karena frasa ”membandingkan Megawati dengan pemimpin dunia” digunakan di sini, akan dianggap usaha terlalu melebih-lebihkan.
Bagaimana mungkin, sebagai politisi biasa Indonesia, Megawati dapat keistimewaan disandingkan dengan para pemimpin besar dunia? Dan seseorang akan terpancing berkata kepada saya: ”Anda telah menderita mimpi yang salah.” Terhadap sindiran itu, saya akan mengalah. Bagaimanapun, usaha itu bukanlah perbandingan yang setimpal.
Secara umum, harus diakui fakta telanjang bahwa Indonesia, negara di mana Megawati mengartikulasikan kepemimpinan politiknya, belum menjadi contoh paripurna sistem demokrasi.
Baca juga: Megawati Dianugerahi Profesor Kehormatan dari Institut Seni Seoul
Di samping bahwa Indonesia masih berusia bayi dalam berdemokrasi, cara para elite memperlakukan demokrasi tak bisa dikatakan konstruktif. Maka, kita bisa menambah ”cacat” lainnya: bagaimana mungkin negeri ini membiarkan demokrasi, sesuatu paling berharga diperoleh rakyat setelah runtuhnya Orde Baru (1967-1998), secara tak langsung dibeli kaum oligarki?
Namun, jika kita pertimbangkan fakta telanjang bahwa dunia politik di tingkat global telah lama didominasi kaum laki-laki, masuk akal juga jika asumsi-asumsi lama ditengok kembali. Tidakkah kita sadari bahwa sejak Revolusi Industri abad ke-18, di mana industrialisasi dan prinsip-prinsip demokrasi mulai berjalan seiring, pada saat yang sama, dunia juga sedang menyaksikan ketimpangan besar dan tragis dalam komposisi kepemimpinan politik perempuan dan laki-laki?
Tentu saja, sejak 50 tahun lalu, dunia memang menyaksikan kemunculan para pemimpin politik perempuan. Dan, secara keseluruhan, mereka telah mendemonstrasikan kemampuan kepemimpinan di negaranya masing-masing. Dalam rentang waktu itu, Indira P Gandhi (1917-1984) dari India telah mengambil langkah pertama ke atas panggung kepemimpinan politik negerinya sejak 1960-an hingga pertengahan 1980-an.
Lalu, bersama dengan Khaleda Zia (lahir: 1945), Srimavo Bandaranaike (1916-2000), Benazir Bhutto (1953-2007), dan Aung San Suu Kyi (lahir: 1945), masing-masing dari Bangladesh, Sri Lanka, Pakistan, dan Myanmar, kita menyaksikan tampilnya Margaret Thatcher dari Inggris (1925-2013). Dan, baru beberapa saat lalu, rakyat Jerman mengucapkan selamat jalan kepada Angela Merkel (lahir: 1954) yang telah memimpin rakyatnya sejak 2005.
Setiap perempuan hebat ini telah memberikan sumbangan berharga kepada negara dan bangsa mereka. Tentu saja, karena berasal dari negeri Barat, Thatcher dan Merkel lebih banyak mendapat perhatian dunia. Kendatipun demikian, secara rata-rata, mereka telah menyumbangkan hal-hal konstruktif sesuai keunikan negara masing-masing.
Kendatipun demikian, segera harus diakui bahwa rentang waktu kepemimpinan politik perempuan sangat terbatas. Sebagaimana kita lihat, para pemimpin perempuan ini segera diganti dengan laki-laki hingga dewasa ini. Kemunculan kepemimpinan politik perempuan, dengan demikian, seakan-akan sebuah ”penyimpangan” atau sekadar ”selingan” dari garis kontinum dominasi laki-laki di dalam dunia politik global.
Puluhan juta rakyat Indonesia pengagum Soekarno akan dengan sukarela memberikan dukungan kepada Megawati.
"Puasa politik"
Untuk alasan-alasan di bawah, ini tak terjadi bagi Megawati di Indonesia, sejak ia mengambil kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI Perjuangan) di akhir masa Orde Baru. Tentu saja ada faktor yang tak bisa dikesampingkan bahwa Megawati adalah putri Soekarno.
Sebagaimana telah diketahui, Soekarno adalah salah satu pahlawan besar Indonesia. Ia bukan saja, bersama dengan Mohammad Hatta, menjadi salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, melainkan ia juga pendiri partai bertaraf nasional justru di masa pra-kemerdekaan dan, ini lebih penting, presiden pertama Republik Indonesia. Gabungan semua ini telah menjadikan Soekarno seorang tokoh karismatik dengan pengaruh politik sangat besar.
Menjadi putri biologis Soekarno, Megawati secara otomatis memperoleh sumber daya politik bernilai besar dalam turut serta bersaing memperebutkan kekuasaan di Indonesia. Puluhan juta rakyat Indonesia pengagum Soekarno akan dengan sukarela memberikan dukungan kepada Megawati. Ringkasnya, tanpa harus bekerja keras, Megawati telah menerima jumlah besar pendukung politik warisan Soekarno.
Baca juga: Jokowi Ibaratkan Relasinya dengan Megawati seperti Ibu dan Anak
Sementara fakta tersebut tak terbantahkan, kita, pada saat yang sama, harus juga melihat bahwa Megawati telah mengambil jalan penuh dengan onak-duri untuk mencapai posisinya sekarang. Ketika kekuasaan Soekarno jatuh pada 1967, posisi politiknya secara praktis terisolasi dari publik. Isolasi ini juga berlaku kepada seluruh pengikut Soekarno. Apalagi terhadap keluarganya.
Maka, berada dalam penindasan politik semacam ini, Megawati tentu tak punya ruang melakukan manuver politik. Sangat siaga terhadap pendukung Soekarno dengan kekuatan politik latennya, rezim Orde Baru tak memberikan kesempatan secuil pun bagi kembalinya kekuatan lama. Maka, kontrol ketat Orde Baru secara politik dan bahkan militer digelar. Semua ini telah memaksa Megawati melakukan, supaya terdengar sedikit dramatis, ”puasa politik”. Dan, karena kekuasaan Orde Baru bertahan hingga lebih dari 30 tahun, bisa dibayangkan rentang waktu lamanya Megawati melakukan ”puasa politik”.
Pemimpin perempuan dalam masyarakat Muslim
Maka, kecuali dibandingkan dengan nasib politik Aung San Suu Kyi, semua penjelasan di atas memberikan pembedaan antara Megawati dan para pemimpin politik perempuan yang disebut di atas. Kendatipun tetap harus diakui adanya kelemahan-kelemahan menonjol dalam kepemimpinan dan watak pribadi Megawati, satu hal yang jelas tak boleh dilupakan: daya tahannya yang luar biasa dalam menanggung tekanan politik selama lebih dari 30 tahun di masa Orde Baru.
Kini, berbeda dengan tokoh-tokoh perempuan di atas, Megawati masih tetap menjadi pemimpin politik kuat dan berpengaruh di negerinya sejak 1999. Kendatipun tak lagi menjadi wakil presiden (1999-2001) dan presiden (2001-2004) di Indonesia, secara kontinu Megawati tetap mengambil peranan politik besar di negerinya dengan menjadi pemimpin puncak tak tergantikan atas PDI Perjuangan (PDI-P), organisasi politik terbesar di Indonesia saat ini.
Kepemimpinan kuat dan tak tergantikan Megawati ini justru berlangsung di negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Atas fenomena ini, perlu ditambah sedikit catatan. Kepemimpinan kuat dan tak tergantikan Megawati ini justru berlangsung di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Fakta ini membuktikan baik kesejajaran Islam dengan demokrasi dan kepiawaian seorang pemimpin politik perempuan.
Kombinasi antara kesesuaian Islam-demokrasi dan kepiawaian kepemimpinan Megawati inilah yang mencegah terlaksananya gagasan pengunduran pemilihan umum yang dikampanyekan para pemimpin politik laki-laki.
Maka, sekadar membuat suasana lebih ”dramatis”, terutama dalam hal perbandingan global, kita bisa mengajukan pertanyaan, betapapun terasa ”aneh”: ”Bukankah semua ini mengungkapkan bahwa Megawati adalah perempuan terkuat dunia ketika semua rekanan pemimpin perempuan dunia lainnya kini tak lagi berkuasa?”
Fachry Ali,Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)