Inovasi yang Kolosal
Kemandirian dan peningkatan daya saing bangsa bertumpu pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini melibatkan promotor dan masyarakat menggunakan timbangan ilmiah yang tepat dan komunikasi seimbang.

-
Innovations that pull are inherently network-based. (Tim Kastelle, 2010)
Bisakah kita berdiri di atas kaki sendiri? Begitu pertanyaan retorika yang diajukan Megawati dalam Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB) pada Rabu, 1 Juni 2022. Jawaban optimistisnya adalah bisa. Optimistis maksudnya, jika diambil dari pendekatan benefits opportunities costs and risks-nya Thomas Saaty (1926–2017) adalah keadaan yang tidak melibatkan risiko sehingga terbuka manfaat, peluang dengan biaya tanpa risiko untuk mencapainya.
Tulisan ini mengupas bagaimana kemungkinan kemandirian dan peningkatan daya saing bangsa bertumpu pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pertanyaan ini tidak tanpa dasar. Pada Bincang Pembangunan dengan topik ”menghadapi krisis utang negara-negara berkembang di masa pandemi Covid-19 dan krisis Rusia-Ukraina pada 25 Mei 2022 disampaikan penting transformasi kegiatan potong, gali, panen, dan jual pada kegiatan ekonomi yang lebih inovatif.
Namun, itu bukan berarti para peneliti tidak pernah melakukan kajian dan mengusulkannya untuk diaplikasikan sebagai solusi permasalahan di mikro, messo, dan makro. Seperti untuk kemandirian energi, misalnya, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya yang tidak dimiliki oleh negara lain.
Aplikasi penelitian yang telah dilakukan antara lain mikrohidro, energi panel surya, koleksi supermikroba, lumut atau supersorgum untuk rafinasi hayati. Begitu juga dengan sektor pangan. Sebetulnya bisa saja kita mandiri gandum, garam, dan gula. Namun, apa permasalahannya?
Baca juga: Tantangan Pengembangan Iptek Menuju Indonesia Maju
Rumpun studi inovasi
Mendalami rumpun inovasi teknologi ternyata unik dan menarik. Calon mahasiswa memilih kurikulum inovasi mana yang akan didalami. Ada yang untuk bisnis dengan kurikulum; daftar literatur wajib; dan syarat mata kuliah yang harus sudah lulus ditempuh dengan nilai A, misalnya.
Ada juga program untuk mempelajari perkembangan ekonomi inovasi. Seperti di The University of Queensland Australia, ada dua kurikulum untuk rumpun inovasi. Yang pertama adalah Master Technology Innovation Management yang mempelajari cara pengelolaan riset dan pengembangan produk baru dan proses komersialisasi. Program kedua adalah Economics of Innovation and Entrepreneurship yang mempelajari ranah ekonomi evolusionari (Schumpeterian).
Program pertama disusun untuk kebutuhan pengelolaan inovasi di sektor pemerintah dan swasta. Jangan heran jika program ini banyak diisi oleh mahasiswa doktoral yang ingin mendalami mata kuliah seperti komersialisasi riset atau kewirausahaan teknologi. Latar belakang yang dipersyaratkan adalah mahasiswa dengan latar belakang ilmu pasti.
Baca juga: Riset dan Inovasi
Program kedua tidak dipersyaratkan latar belakang ilmu pasti. Ranah lain yang banyak dipelajari adalah kebijakan riset dan inovasi. Untuk yang ketiga ini bisa terdapat institusi besar yang memang mengkhususkan ini, seperti Science Policy Research Unit (SPRU) di University of Sussex, Inggris. Penekanan pada program ini adalah kebijakan sains dan inovasi pada berbagai sektor dan masyarakat. Jadi, setidaknya terdapat tiga teropong untuk memandang inovasi, yaitu inovasi teknologi, ekonomi inovasi, dan kebijakan inovasi.
Teori dan praktik inovasi juga bisa diacu dari banyak sumber. Misalnya dari social contract, business model innovation, global value chain, technology transfer, triple helix, intellectual property management, open innovation, innovation leadership, innovation strategy, technology foresight, technology forecasting, biosafety and recombinant; dan banyak lagi sesuai karakter ilmu ini yang dinamis.
Di sisi lain, buku-buku berisi resep-resep pengelolaan inovasi juga berlimpah, seperti innovation paradox, agenda setting, science technology and innovation achievement. Dengan demikian, banyak pilihan mazhab, teori, dan ramuan pengembangan inovasi yang bisa digunakan sebagai bahan baku perumusan kebijakan inovasi.

Menurut Kepala BPPT Hammam Riza, ekosistem kecerdasan buatan Indonesia membutuhkan sebuah lembaga orkrestrator riset dan inovasi. Dalam dokumen Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045, lembaga ini disebut sebagai Kolabrasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORI-KA).
Peran mediator, politik, dan masyarakat
Alih teknologi secara normatif melibatkan penyedia dan pemanfaat teknologi melalui saluran tertentu secara satu arah, dua arah, atau integratif. Dengan demikian, sumber daya yang dijalankan hanya melibatkan satu atau dua aktor dan komunikasi satu arah. Terlebih jika pengaruh yang ingin diharapkan berskala nasional. Mustahil jika teknologi terbaik pada bidang pangan, misalnya, digunakan secara nasional tanpa melibatkan politik, mediator dan masyarakat. Pelibatan menjadi lebih bersuara untuk inkubator teknologi dan kawasan sains dan teknologi yang sudah ada.
Dalam pemanfaatan hasil riset dengan pengaruh besar pada industri makanan, terdokumentasi di University of Wisconsin-Madison melalui pengelolaan paten Professor Harry Steenbock yang dilisensikan pada perusahaan makanan, Quaker Oats pada tahun 1925. Pemanfaatan hasil penelitian disampaikan oleh Vannevar Bush dalam suratnya kepada Presiden Roosevelt usai Perang Dunia II. Menurut dia, investasi riset besar (big scientific investment) seperti untuk nuklir, riset kanker, dan antariksa perlu untuk dikuasai serta dimanfaatkan pada aplikasi industri.
Namun, saat ini tidak bisa hanya pekerjaan sekelompok peneliti pada masa era lone-inventor. Petani bekerja di ladangnya. Di sisi lain, pengguna hasil pertanian berharap produk yang bermutu, terstandar dengan harga dan waktu pemenuhan yang tepat.
Baca juga: Teknologi Digital dan Ekosistem Inovasi
Di sinilah peran tengkulak yang mengumpulkan, berhubungan dengan perbankan, bermain dengan aturan rantai pasok, aturan pergudangan sampai produk bisa diterima oleh pabrik atau penggunanya seperti yang diharapkan. Untuk peran ini, sayangnya, yang diterima mediator akan lebih besar dibandingkan produsen.
Namunm ini terjadi hampir disetiap transaksi besar. Seperti komoditas dan produk untuk perdagangan internasional. Seperti pembangkit listrik yang membutuhkan batubara dan petambang batubara jika dipertemukan bisa jadi tidak terjadi transaksi. Ada standar daya bakar, kemampuan dalam memenuhi permintaan, infrastruktur pendukung, dan lainnya. Di sinilah peran pemasok yang dengan modal yang besar dan risiko yang tinggi akan menyediakannya yang tentu jasanya tidak murah.
Setidaknya terdapat tiga syarat diterimanya hasil teknologi oleh penggunanya. Pertama, mutu dan kapastias produk. Di sini sudah tidak digunakan lagi kata teknologi. Hasil penelitian ini sudah melalui perlindungan kekayaan intelektual, pengujian keamanan, kelayakan fisik dan pasar. Dia akan dibentuk untuk menjadi standar komersial, militer, atau standar industri kedirgantaraan.
Kedua, harga. Penghitungan tekno ekonomis dan taksiran nilai kekayaan intelektual adalah sebagian kecil dari penentuan harga produk. Jika di bahan pangan, keadaan musim akan memengaruhi biaya pergudangan dan distribusi. Atau dalam bisnis tambang, geopolitik dan krisis internasional bisa memengaruhinya.
Ketiga, waktu. Jika produk yang terstandar dilengkapi dengan harga yang sesuai dengan yang disepakati serta syarat administrasi yang layak sudah ada, masalah selanjutnya penentuan waktu. Ketepatan dalam memenuhi syarat waktu bisa mengurangi risiko yang mahal harganya.
Industri tidak menunggu mendapatkan bahan baku yang terstandar dengan harga yang pasti dan ketersediaan yang tidak stabil.
Industri tidak menunggu mendapatkan bahan baku yang terstandar dengan harga yang pasti dan ketersediaan yang tidak stabil. Dengan demikian, harga mahal dengan memanfaatkan pihak ketiga menjadi bagian tidak terhindarkan walaupun diadakan melalui ekspor. Gilanya lagi, bahan baku itu berasal dari Indonesia, dikumpulkan di negara tentangga dan dijual dengan mutu, harga, dan kapasitas yang sesuai.
Lalu di mana peran masyarakat?
Pemanfaatan teknologi pertanian tanpa merangkul masyarakat melalui budaya dan tradisinya, terbukti akan mengembalikan cara lama. Teknologi dianggap berasal dari luar sehingga tidak ada rasa memilikinya. Di sisi lain, masyarakat akan memelihara bahkan memodifikasi alat yang ditempatkan di desa saat tradisi, budaya, dan perannya dilibatkan dengan baik. Pendekatan sosio-teknologi bisa menjadi kerangka dalam mengkombinasi metode dan praktik yang terfragmentasi.
Proses inovasi seperti dikembangkan dari ”landasan yang datar” yang belum ada organisasi, sumber daya manusia, aturan. Pada landasan yang datar itu, aplikasi teknologi disusun dari dalam (localizer) yang terdiri dari budaya, tradisi, kebiasaan, agama, iklim, keunikan geografis spasial dengan kombinasi dari luar (global) teknologi, kebiasaan baru, produk baru, cara baru, struktur baru.
Baca juga: Inovasi dan Arah Bangsa
Kompetensi politik merupakan salah satu dari tiga komponen penting dalam kapasitas kebijakan seperti yang disampaikan oleh Wu, Howlett, dan Ramesh (2018). Dua komponen lain adalah kemampuan analitikal dan kemampuan operasional. Sementara pelakunya juga terdiri dari tiga tingkatan, yaitu individual, organisasional dan sistemik. Bauran ini yang membentuk kapasitas kebijakan yang perlu dipahami dalam pengembangan arsitektur inovasi yang kolosal.
Proses alih teknologi yang melibatkan banyak pihak dengan peran sentral intermediary yang bekerja sebagai hill climber and valley crosser. Mereka tidak hanya tekun menganalisa dan mengembangkan teknologi, tetapi di saat yang sama dia akan berada di lapangan golf berbicara dengan petinggi partai politik, direktur kredit bank, pemilik modal, mereka juga bisa menyatu dengan kegiatan produksi di pabrik bahkan mereka mampu memberikan pitch bisnis dan mempertahankan disertasinya (doctoral public defense).
Mereka ahli dalam membuat power point untuk webinar-webinarnya sekaligus urusan lobi dengan bank, investor, membaca letter of credit (LC) dan letter of inquiry (LI). Dengan demikian, terhindar proses alih teknologi yang ”dari kita, oleh kita, dan untuk kita”, yang menggambarkan lembaga penelitian yang mengembangkan teknologi, membuat pameran dan diseminasi sendiri dengan webinar, diramaikan oleh pekerja dan peneliti sendiri, bahkan melakukan penutupan pameran juga sendiri.

Pengelola riset dan inovasi di Indonesia
Terdapat lebih dari 10 peraturan terkait riset dan pemanfaatannya sejak tahun 2002 di Indonesia. Aturan terbaru berupa Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang merupakan bentuk baru aransemen kelembagaan riset di Indonesia.
Diharapkan tidak terlalu lama dalam penyusunan fondasi, struktur konstruksi dan bangunannya sehingga bisa diwujudkan peningkatan daya saing bangsa, peningkatan kualitas lingkungan hidup, dan ketahanan bencana, serta iklim berbasis hasil riset dan inovasi (Keputusan Kepala BRIN No 1/HK/2022).
BRIN menjawab pertanyaan atas alur pengembangan inovasi teknologi. Inovasi bisa bersumber dari tiap aktor dan alurnya tidak selalu dari riset dasar menuju riset pengembangan. Inovasi tidak bergerak dari pusat ke daerah. Pengelolaan riset dan inovasi saat ini ditempatkan pada alamnya. Sebelumnya, salah satu upaya dalam mengintegrasi kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan dilakukan melalui program Konsorsium Riset Nasional. Pengelolaan menjadi lebih ramping dan dinamis.
Baca juga: BRIN dan Pembangunan Berkelanjutan
Diperkuat dengan ditancapkan Dewan Pengarah BRIN yang merepresentasikan aktor-aktor penting dalam pengembangan inovasi teknologi yang terdiri dari posisi ketua, wakil ketua, dan enam anggota. Pada kursi Ketua Dewan Pengarah BRIN ditempati oleh Megawati Soekarnoputri, Wakil Ketua oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa. Badan ini diharapkan bisa berlari lebih elegan dengan peran pengusaha Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto yang merupakan President Commissioner Garuda Food dan enam anggota yang merupakan figur dengan rekam jejak pengembangan dan pemanfaatan teknologi dalam kemajuan ekonomi
Integrasi ini layaknya dokter pribadi yang dilengkapi akses dengan tim ahli dan laboratoriumnya. Jika sebelumnya permasalahan kesehatan pasien diselesaikan atas kepakaran, pengalaman, dan integritas ilmiahnya sendiri dan memerlukan tenaga, waktu, biaya untuk menghubungi tim ahli tertentu dan laboratorium, saat ini sudah berada pada satu struktur.
Pengembangan inovasi teknologi bisa digambarkan pergelaran tari pendet, bukan sekelompok manusia yang berbaris beraturan menuju satu arah. Sekelompok penari pendet dengan manuver yang teratur elegan terdistribusi dari entakan kaki, gerakan tangan, leher juga lirikan mata dan kestabilan bokor yang dibawanya. Jika struktur utama dan pendukung tarian ini tidak bekerja, performasi juga terhenti. Begitu juga dengan arsitektur inovasi teknologi yang kolosal yang melibatkan promotor dan masyarakat dengan menggunakan timbangan ilmiah yang tepat dan komunikasi yang seimbang.
Syafrizal Maludin, Peneliti, pada Direktorat Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi dan Inovasi (DPKRTI)–Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)