Pemerintah menjalankan strategi baru pengelolaan desa menghadapi krisis pangan. Kunci utama peran desa sebagai tameng ketahanan pangan adalah keterampilan pemerintah desa dan BUMDesa dalam menjalankan ekonomi sirkuler.
Oleh
A HALIM ISKANDAR
·4 menit baca
Era kehidupan baru pascapandemi Covid-19 ironisnya dimulai dengan krisis pangan karena tumbuhnya permintaan pangan belum diimbangi pasokan global. Yang perlu segera dicermati, melebarnya dampak serupa ke Indonesia. Kurangnya pasokan pangan dunia antara lain diindikasikan oleh kebijakan pemerintah sejumlah negara untuk membatalkan ekspor gandum, jagung, kentang, minyak goreng, sapi, dan ayam.
Negara yang melarang ekspor meliputi negara-negara di Amerika Latin, Asia, Afrika, hingga Eropa. Di dalam negeri, sumbangan inflasi tertinggi saat ini, sebesar 0,16 persen, bersumber dari mendadak rendahnya pasokan pangan dibandingkan meningkatnya kebutuhan masyarakat, terutama untuk komoditas telur, bawang merah, dan daging sapi.
Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index) mencatat turunnya ketahanan pangan negara-negara sepanjang pandemi Covid-19. Indonesia tidak lepas dari dampak ini, terutama untuk 4,1 persen warga negara yang semakin sulit mengakses pangan secara fisik, ekonomi, dan sosial.
Kurangnya pasokan pangan dunia antara lain diindikasikan oleh kebijakan pemerintah berbagai negara untuk membatalkan ekspor gandum, jagung, kentang, minyak goreng, sapi dan ayam.
Tameng untuk menangkal krisis pangan ini adalah pengelolaan desa berbasis SDGs (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) Desa. Sebanyak 91 persen pemerintahan terkecil, adalah berupa desa, selebihnya kelurahan. Produsen pangan, yaitu petani yang tinggal di desa, mencapai 35,94 juta pekerja dewasa. Termasuk di dalamnya warga miskin ekstrem. Proporsi penduduk desa mencapai 71 persen. Artinya, konsumen pangan pun tinggal di desa.
Kebijakan pangan di desa
Untuk menangkap krisis pangan tersebut, saat ini pemerintah menjalankan tujuh strategi baru pengelolaan desa.
Pertama, landasan kebijakan nasional yang merekognisi ketahanan pangan desa. Yaitu, Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 yang mewajibkan minimal 20 persen atau Rp 13,6 triliun Dana Desa 2022 untuk ketahanan pangan.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2021 memberikan beberapa contoh yang bisa dikembangkan desa, seperti infrastruktur di lokasi ketahanan pangan, bantuan sosial kepada kelompok tani, pemberdayaan kelompok tani, penambahan modal usaha badan usaha milik desa (BUMDesa) unit usaha ketahanan pangan. Sesuai asas subsidiaritas, desa tetap memiliki ruang untuk berinovasi lewat kegiatan lain.
Kedua, desa menetapkan peraturan desa tentang tata ruang, yang di dalamnya mencakup penetapan kawasan pertanian berkelanjutan. Ini sesuai arah kebijakan SDGs Desa tujuan kedua, yaitu Desa Tanpa Kelaparan. Di dalamnya tercakup sasaran menghilangkan kelaparan di desa, sekaligus menetapkan kawasan pertanian berkelanjutan.
Untuk mendukung desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) telah menggandeng Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan Yayasan Kehati guna mempercepat penyusunan pedoman serta melatih penyusunan tata ruang desa.
Pemerintah daerah juga digandeng Kemendesa PDTT untuk memastikan tata ruang desa, terutama kawasan pertanian berkelanjutan, dijaga bersama- sama antara pemda, pemerintah desa, dan masyarakat.
Ketiga, pemerintah desa bersama-sama BUMDesa atau lembaga kemasyarakatan desa yang bergerak di bidang ekonomi, menjalankan ekonomi sirkuler desa. Ini strategi penunjang SDGs Desa, karena input pertanian, proses produksi, hasil, serta sampah diolah kembali menjadi input pertanian, dan seterusnya tanpa henti.
Tidak hanya aspek material, sirkulasi juga mencakup dana yang beredar. Pada sisi ini berkembang nilai tambah materi, karena ada tenaga yang dibayar, juga bahan yang dibeli dan dijual. Melalui sirkulasi, nilai tambah inilah dana di dalam desa terakumulasi. Pemerintah desa perlu memastikan bahwa pasar konsumen pada setiap tahapan agrobisnis adalah warga desa sendiri (captive market) atau warga-warga antardesa.
BUMDesa bisa menjadi perantara antara produsen ke warung-warung di desa. Karena bersirkulasi di dalam desa, dari asupan, produksi, hingga pemasaran, maka warga bisa terbebas dari guncangan harga pangan luar, seperti telur, ayam, sayuran, dan daging.
Keempat, disediakan berbagai panduan teknis inovasi desa dalam menu manajemen pengetahuan di https://kemendesa.go.id. Secara khusus, Kemendesa PDTT menyediakan panduan Desa Peternakan Terpadu Berkelanjutan sebagai wujud ekonomi sirkuler pangan.
BUMDesa, petani, warga miskin ekstrem
Kelima, penguatan kapasitas BUMDesa maupun lembaga ekonomi lain, terutama yang memiliki unit usaha pangan. Saat ini terdapat 16.155 BUMDesa yang memiliki unit usaha pangan dengan omzet setahun terakhir Rp 990,5 miliar. Jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 100.911 pekerja.
Keenam, pendataan by name by address kepada seluruh warga desa, yang dilaksanakan secara berkelanjutan. Pendataan SDGs Desa 2021 mengompilasi 92.918.801 warga di 59.074 desa lengkap dengan identitas terbaru. Di antaranya ditemukan warga yang sedang mengusahakan komoditas pertanian hingga 61.325.077,52 hektar.
Kunci utama menjalankan peran desa sebagai tameng ketahanan pangan adalah keterampilan pemerintah desa dan BUMDesa dalam menjalankan ekonomi sirkuler.
Ketujuh, subsidi dan pemberdayaan petani termasuk warga miskin ekstrem. Data by name by address diperlukan untuk memastikan subsidi sarana produksi pertanian tepat sasaran, bahkan saat diteropong dari pusat. Dibutuhkan pula pemberdayaan bagi warga miskin ekstrem karena sebagian dari 7.702.939 warga miskin ekstrem desa masih butuh pelatihan agrobisnis padi, diikuti palawija dan hortikultura.
Kunci utama menjalankan peran desa sebagai tameng ketahanan pangan adalah keterampilan pemerintah desa dan BUMDesa dalam menjalankan ekonomi sirkuler. Adapun pemerintah daerah dan pemerintah pusat dibutuhkan untuk menyusun kebijakan penjaga kondusivitas ekonomi sirkuler pangan desa.
A Halim Iskandar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI