Membangun “Jembatan” Akademisi dan Praktisi
Tugas perguruan tinggi bukan sekadar mengajarkan keterampilan saat ini, melainkan juga membangun kajian akademik untuk mempersiapkan mahasiswa mampu menganalisis dan mempersiapkan solusi masalah pada masa mendatang.
”Ah itu kan terorinya, praktiknya bisa berbeda”. Kalimat tersebut terlalu amat sering kita dengar. Tampaknya sederhana, tetapi sejatinya sindiran tajam bagi para akademisi yang gagal menjelaskan fenomena empiris.
Publik menilai bahwa diskusi akademik di perguruan tinggi seperti menara gading yang terputus dari persoalan empiris di dunia kerja. Akibatnya, mahasiswa yang belajar di kampus-kampus juga dinilai belum siap kerja. Masalah klasik ini menginspirasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk merevitalisasi keterhubungan antara akademik dan praktik melalui program ”Praktisi Mengajar” (Kompas, 4/6/2022).
Baca Juga: Lulusan Perguruan Tinggi Belum Memuaskan, Praktisi Diundang Ikut Mengajar
Tentu, program seperti ini sangat dibutuhkan untuk membangun jembatan antara akademisi dan praktisi. Namun, penting untuk disadari bahwa tugas perguruan tinggi bukan sekadar untuk mengajarkan keterampilan saat ini (baca: lembaga pelatihan), melainkan juga membangun kajian akademik untuk mempersiapkan mahasiswa mampu menganalisis dan mempersiapkan solusi masalah pada masa mendatang.
Ibarat strategi pertahanan, peran perguruan tinggi menyerupai badan inteligen yang harus mampu mengendus masalah dan menyelesaikannya sebelum masalah itu muncul secara masif di permukaan. Pertanyaannya, bagaimana strategi membangun hubungan akademisi dan praktisi yang ”bernilai” dan tidak terjebak pada ikatan kontraktual jangka pendek?
Kolaborasi antara akademisi dan praktisi dapat dilakukan secara sistematis melalui pengembangan kurikulum (co-design) dan penyampaian kurikulum (co-delivery). Kolaborasi ini sangat memungkinkan untuk semua perguruan tinggi karena tidak membutuhkan investasi yang besar. Yang dibutuhkan adalah kemauan dan komitmen perguruan tinggi untuk membuka diri melalui aksi kolaborasi.
Kurikulum yang dikembangkan dengan prinsip kolaborasi (co-design) antara akademisi dan praktisi akan membawa perubahan signifikan terhadap substansi pembelajaran di perguruan tinggi. Ibarat restoran, kurikulum adalah menu makanan yang ditawarkan kepada publik tentang apa yang akan dipelajari selama perkuliahan. Menu yang diracik secara kolaboratif tentu akan lebih kontekstual dengan dunia kerja saat ini. Namun, tetap mempertahankan citra rasa akademik yang mengajarkan pembelajaran berorientasi masa depan (future agenda).
Kolaborasi antara akademisi dan praktisi dapat dilakukan secara sistematis melalui pengembangan kurikulum ( co-design) dan penyampaian kurikulum ( co-delivery).
Aspek kolaboratif selanjutnya yang dapat dilakukan dalam konteks kurikulum adalah penyampaian materi pembelajaran. Program Praktisi Mengajar merupakan wujud nyata co-delivery dalam kurikulum pendidikan tinggi. Hadirnya para praktisi di mimbar akademik perguruan tinggi akan banyak membawa perubahan suasana akademik.
Para praktisi dapat menyampaikan pengalaman mereka sebagai sajian studi kasus yang perlu diperbincangkan secara akademis. Pengayaan studi kasus yang disampaikan para pelaku (praktisi) dapat membangun imajinasi mahasiswa tentang realitas kerja yang akan dihadapi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berkarier pada masa mendatang.
Agenda, kelompok, dan ruang penelitian kolaboratif
Selain kurikulum, wajah pendidikan tinggi di mata publik dapat dilihat dari agenda penelitian yang dilakukan. Memublikasikan agenda penelitian kepada publik (misalnya di website) merupakan sarana komunikasi perguruan tinggi untuk membangun kolaborasi dengan praktisi, baik pemerintah maupun industri.
Di beberapa universitas papan atas dunia, mereka membangun standar komunikasi agenda penelitian ke publik, misalnya masing-masing fakultas mencantumkan sembilan riset utama yang sedang dilakukan dalam website-nya. Sayangnya, tidak semua website pendidikan tinggi di Indonesia mencantumkan dengan jelas apa agenda penelitian yang sedang dilakukan. Sehingga pemerintah, industri maupun masyarakat yang berminat membangun kerja sama harus mencari informasi secara informal untuk mengetahui agenda penelitian di perguruan tinggi.
Pada umumnya, agenda penelitian di perguruan tinggi diwujudkan dalam bentuk kelompok-kelompok riset (research group). Kelompok ini bersifat cair dan lincah berdasarkan minat kajian. Kelompok riset dikoordinir oleh staf akademik senior (Profesor) yang memiliki keahlian yang spesifik.
Baca Juga: Pendidikan Tinggi dan Ketimpangan
Kelompok riset ini diperkaya dengan semangat anak-anak muda, baik dosen muda dan mahasiswa yang memiliki minat riset yang sama. Partisipasi mahasiswa dalam kelompok penelitian penting untuk memberi pengalaman praksis bagaimana melakukan kegiatan akademik secara kolaboratif. Mahasiswa tidak cukup hanya memiliki pengetahuan. Mereka juga perlu memiliki pengalaman selama proses pembelajaran.
Kelompok–kelompok penelitian bersifat soft structure yang keberadaannya sangat ditentukan oleh aktivitas bersama. Oleh sebab itu, pendirian dan penutupan kelompok penelitian tidak memiliki kompleksitas administrasi. Karakteristik ini berbeda dengan pusat studi yang cenderung lebih bersifat hard structure. Pendirian, penutupan atau penggabungan pusat studi di perguruan tinggi menimbulkan kompleksitas administrasi yang tidak sederhana.
Kolaborasi dan interaksi memiliki keterikatan yang kuat. Keberadaan ruang kolaborasi secara fisik (precinct) memiliki peran strategis untuk membangun interaksi antara akademisi dan praktisi. Rapat-rapat formal belum mampu menandingi produktivitas karya inovatif yang dihasilkan dari interaksi rutin yang bersifat informal. Berbagai universitas telah berinvestasi untuk membangun collaboration space untuk memberi ruang praktisi, misalnya pelaku industri, untuk melakukan aktivitasnya di lingkungan kampus. ”Industry is our next door”, begitu slogan perguruan tinggi membuka diri untuk berkolaborasi dengan industri.
Membangun kajian masa depan
Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab tidak hanya untuk menjelaskan dan berkontribusi terhadap penyelesaian masalah saat ini, melainkan juga memprediksi dan mempersiapkan generasi muda untuk menjadi bagian dari solusi di masa mendatang. Untuk mengemban tanggung jawab ini, kurikulum harus menunjukkan wajah masa depan peran ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi perlu melengkapi diri dengan diskusi akademis yang berorientasi masa depan (future studies). World Economic Forum (2021) mendefinisikan bahwa future studies adalah kajian sistematis pandangan global dan mitos yang mendasari setiap kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang.
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan telah membuktikan diri mampu meneropong masa depan melalui pendekatan forecasting. Pendekatan yang dikembangkan dari disiplin ilmu matematika ini telah diaplikasikan secara meluas ke bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial, politik, dan juga kesehatan (Ghosh, 2019).
Saat ini, tuntutan adanya future studies lebih besar karena perkembangan teknologi dan semakin meningkatnya ketidakpastian dan kerentanan karena perubahan iklim global. Berbagai universitas terkemuka mulai membuka institute for future studies yang bersifat multidisiplin.
Mahasiswa dapat belajar mengenai masa depan dari berbagai perspektif, misalnya adaptasi artifitial intelligence, regulasi artifitial intelligence, ketimpangan dan diskriminasi jender dalam dunia mataverse. Kajian-kajian ini berguna untuk mengoptimalkan manfaat perkembangan teknologi dan mengelola dampaknya untuk keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Perguruan tinggi perlu melengkapi diri dengan diskusi akademis yang berorientasi masa depan ( future studies).
Perubahan tata kelola perguruan tinggi
Respons perguruan tinggi terhadap tuntutan ruang belajar yang kolaboratif dan adaptif tidak cukup dengan perubahan kurikulum, agenda riset, dan pengembangan kajian masa depan. Tuntutan ini harus disertai dengan perubahan tata kelola perguruan tinggi yang fundamental mulai dari komposisi pimpinan, struktur organisasi, dan tata kelola sumber daya manusia.
Komposisi pimpinan perguruan tinggi harus mencerminkan wajah akademisi dan praktisi. Komposisi kolaboratif ini akan menciptakan model kepemimpinan yang mampu mengoptimalkan pengembangan ilmu pengetahuan dan tata kelola yang efisien dan efektif untuk pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Dari sisi struktur organisasi, perguruan tinggi perlu melengkapi diri dengan organisasi yang secara spesifik bertanggung jawab untuk pengembangan kerja sama kolaboratif dengan praktisi. Organisasi ini tidak dikelola oleh staf akademik yang sudah memiliki beban di bidang pendidikan dan penelitian.
Perguruan tinggi merekrut kalangan profesional dari berbagai bidang untuk mengembangkan kerja sama yang menghasilkan produk atau jasa yang dibutuhkan mitra perguruan tinggi. Pengembangan bisnis model secara berkelanjutan menjadi kriteria penilaian kinerja organisasi ini.
Baca Juga: Meredefinisi Misi Perguruan Tinggi
Dalam aspek tata kelola sumber daya manusia, perguruan tinggi perlu melengkapi dengan indikator-indikator yang memberi insentif untuk pengembangan kerja kolaborasi antara akademisi dengan praktisi. Misalnya, seleksi tidak hanya melihat capaian-capaian akademik semata, tetapi juga pengalaman dan kontribusi di bidang praksis, seperti Industri, pemerintahan, dan organisasi masyarakat sipil.
Logika serupa juga perlu diterapkan untuk penilaian kinerja dan skema promosi. Bagi anggota staf akademik (dosen) yang sedang mengerjakan proyek kerja sama bernilai besar dengan mitra (misalnya industri) bisa mendapat pengurangan kewajiban di bidang pengajaran. Untuk menutup kekosongan ini, perguruan tinggi dapat merekrut staf akademik baru (bersifat kontrak) di mana pembiayaannya bersumber dari proyek-proyek kerja sama dengan praktisi. Keterhubungan antara pendidikan dan kerja sama harus jelas untuk meningkatkan kebermanfaatan secara institusional.
Perguruan tinggi yang saat ini menjadi rumah para akademisi perlu membuka dan mereformasi diri untuk menciptakan ruang belajar yang kolaboratif dan adaptif. Mahasiswa tidak cukup hanya dibekali pengetahuan. Mereka juga perlu mendapatkan pengalaman dari praktisi yang terbaik di bidangnya selama menjalani proses pembelajaran. Pengetahuan dan pengalaman merupakan kombinasi ideal untuk membangun sumber daya manusia andal yang mampu berkontribusi untuk menciptakan solusi lintas waktu, saat ini dan masa mendatang.
(Bahruddin, Pengajar di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL, UGM)