Transnasionalisasi Islam Indonesia
Pembangunan tata dunia baru mengharuskan seluruh pemeluk agama bergandengan dan menyumbang nilai luhur dari agamanya untuk peradaban dunia. Transnasionalisasi Islam Indonesia salah satu langkah yang perlu dilakukan.
Pada berbagai kesempatan, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menjelaskan keinginannya untuk menjadikan Islam Indonesia lokomotif bagi pembangunan ulang tata dunia baru.
Di tengah relasi ketegangan antara Islam dan Barat akibat luka sejarah masa lalu, Gus Yahya, begitu ia biasa dipanggil, sangat yakin bahwa Islam Indonesia bisa menjadi prototipe tata dunia baru yang dibangun di atas prinsip kesetaraan, saling percaya, dan perdamaian.
Tentu saja, ini bukan hal ringan karena ini adalah sebuah kerja peradaban yang tak mudah. Ia tak hanya menuntut komitmen kuat, tetapi juga dukungan dan kepercayaan masyarakat internasional. Apa yang diinginkan Gus Yahya tak hanya berkaitan dengan umat Islam internasional, tetapi juga umat-umat agama (termasuk yang tak beragama) lain. Jadi, betapa beratnya misi ini.
Apakah misi sang Gus kelewat ambisius? Mungkin saja, jika kerja peradaban ini hanya dipanggul seorang diri dengan kekuatan NU-nya. Namun, sebagai sebuah gagasan, penciptaan peradaban dunia baru di mana Islam menjadi faktor penting sebetulnya banyak disuarakan oleh berbagai kalangan. Karena itu, gagasan Gus Yahya untuk memugar peradaban bisa mendapat dukungan dari berbagai pihak, tidak peduli dari agama dan bangsa mana pun.
Karena itu, gagasan Gus Yahya untuk memugar peradaban bisa mendapat dukungan dari berbagai pihak, tidak peduli dari agama dan bangsa mana pun.
Bagaimanapun Islam adalah agama dunia. Islam saat ini agama terbesar kedua di dunia dengan pengikut sekitar 1,91 miliar orang, mencakup 24,9 persen total populasi dunia. Setiap upaya untuk membangun peradaban dunia tanpa memperhitungkan umat Islam adalah sebuah keputusan yang tidak hanya tidak tepat, tetapi juga membiarkan sebuah wilayah dunia yang sangat luas tetap berada dalam situasi yang membahayakan bagi seluruh umat manusia.
Pembangunan ulang tata dunia
Sayangnya, dalam kondisi di mana kesalingpahaman dan kesalingpercayaan sangat dibutuhkan saat ini, fenomena Islamofobia justru merebak dan membuat hubungan Islam dan Barat dipenuhi kebencian dan berbagai narasi kebohongan. Sejak Peristiwa 11 September 2001, hubungan Islam dan Barat dipenuhi ketegangan. Kaum Muslim menjadi korban dari stereotipe dan kebencian yang dibalut dengan sisa-sisa permusuhan sejarah masa lalu.
Mayoritas kaum Muslim dihakimi akibat tindakan beberapa kelompok ekstremis Muslim. Hubungan Islam dan Barat (sering merujuk pada peradaban Judeo-Christiani) dinarasikan dalam sinaran ”permusuhan abadi” Barat-Timur, Romawi-Persia, Eropa-Ottoman.
Pertanyaannya adalah, betulkah clash of civilization yang pernah didengungkan Huntington sebuah kutukan abadi? Apakah dua kelompok manusia ini dikutuk untuk saling terus-menerus hidup dalam perang yang saling memusnahkan? Apakah ada cara agar dua peradaban ini dapat hidup damai?
Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Gus Yahya telah menetapkan jawaban: Timur dan Barat tidak pernah memiliki alasan dalam dirinya sendiri untuk berhadapan sebagai musuh. Islam dan Kristen atau Islam dan Yahudi memiliki sejarah permusuhan yang bisa dibongkar akar penyebabnya sehingga relasi tegang saat ini bisa diurai dan dipugar ulang. Tesis clash of civilization yang meyakini bahwa pasca-era Perang Dingin, konflik global akan berporos pada garis-garis peradaban, di mana Barat dan Islam akan berhadapan sebagai musuh, jelas bukanlah sebuah pilihan dalam kerja peradaban Gus Yahya.
Baca juga: Mitos Dikotomi Budaya Timur-Barat
Saat ini, dunia sebetulnya dalam kehampaan ide-ide peradaban. Setelah Perang Dingin, Rusia dan AS mengalami krisis identitas dalam peta relasi global. Sekalipun AS masih memainkan peran signifikan dalam berbagai peristiwa dunia, di banyak negara dunia ketiga, sentimen anti-Amerika terus tumbuh. AS jadi simbol kemunafikan dan kekurangajaran negara superpower terhadap negara-negara kecil dan lemah. Sementara, Rusia telah lama tak sanggup lagi menawarkan ide-ide kebudayaan dan pembangunan, bahkan ke negara-negara yang tak menyukai AS sekalipun.
Pertanyaan siapa kita, ke mana kita berjalan, dan apa tujuan kita, adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dibicarakan bersama. Seluruh keinginan harus diletakkan di atas meja dan dinegosi- asikan ulang secara jujur. Yang tak kalah penting dalam membangun pera daban baru adalah bagaimana kita meli hat sejarah masa lalu dan bagaimana menafsirkan ulang dalam konteks saat ini.
Penyebaran Islam yang damai di mana kultur lokal dan Islam berelasi secara dialogis dan saling memperkaya adalah kekayaan yang jarang dimiliki oleh Islam di negara-negara lain.
Dalam konteks inilah, mimpi Gus Yahya tentang pembangunan ulang tata dunia perlu dipahami. Sebagai representasi kelompok terbesar Islam di Indonesia, dia sangat percaya diri bisa memainkan peran penting dalam proyek peradaban ini. Islam Indonesia atau Islam Nusantara tidak memiliki beban sejarah masa lalu. Penyebaran Islam yang damai di mana kultur lokal dan Islam berelasi secara dialogis dan saling memperkaya adalah kekayaan yang jarang dimiliki oleh Islam di negara-negara lain.
Moderasi beragama
Islam tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika keindonesiaan. Jika ada sebuah eksperimen relasi keislaman dengan demokrasi dan isu-isu penting modernitas, itu adalah Islam Indonesia. Kalaupun ada beberapa isu di mana Islam Indonesia tak sepenuhnya kompatibel dengan modernitas (hak asasi manusia, pluralisme, jender, dan sebagainya), Islam Indonesia masih memiliki kekayaan lain yang sangat berharga sebagai modal membangun peradaban dunia, yaitu perdamaian dan moderasi.
Tentu saja, deskripsi Islam Indonesia ini tidak harus menafikan keberadaan kelompok-kelompok keagamaan ekstrem yang memandang kelompok lain sebagai musuh yang harus dilenyapkan.
Fakta ini tentu saja tidak luput dari bacaan Gus Yahya. Justru kenyataan inilah yang menjadi titik tolak dari misi pembangunan tata dunia baru yang didengungkannya. Karena itu, istilah ideologi transnasional bukan sesuatu yang harus dihindari. Istilah ini menyimpan dalam dirinya sebuah ruang kompetisi yang harus dimenangi.
Bisa dibayangkan, sebagai ketua dari organisasi Islam terbesar di Indonesia, pertanyaan yang selalu menantang adalah mengapa ideologi-ideologi keislaman ekstrem bisa dijual secara global, sedang ideologi Islam Nusantara yang menawarkan perdamaian hanya sibuk di dalam rumah dan menghabiskan tenaga untuk bertahan dari gempuran.
Karena itu, langkah yang harus diambil adalah transnasionalisasi Islam Indonesia, yaitu Islam yang menawarkan perdamaian, kesetaraan, dan keadilan. Proyek pembangunan tata dunia baru mengharuskan seluruh pemeluk agama bergandengan dan menyumbang nilai-nilai luhur dari agamanya untuk peradaban dunia yang adil dan beradab.
Lalu, bagaimana dengan kelompok-kelompok keagamaan ekstrem? Mereka tidak boleh diabaikan dan dibiarkan dalam proyek peradaban ini. Mereka harus dilibatkan melalui forum-forum dialog yang jujur, setara, dan terhormat. Memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh perwakilannya untuk menyuarakan aspirasinya. Memberi ruang dialog untuk membicarakan keyakinan-keyakinan keagamaanya bersama tokoh-tokoh keagamaan moderat agar saling berbagi dan memperkaya.
Sekali lagi, kerja-kerja peradaban tidak sama dengan proyek membangun gedung. Namun, jika kita harus membayangkan kisah dunia masa depan, maka kisah itu seharusnya ditulis melalui dialog-dialog yang setara dan jujur. Jika ini yang dipilih, maka menawarkan Islam Indonesia sebagai lokomotif bagi pembangunan ulang tata dunia baru bukanlah sebuah ambisi kosong.
Ahmad Zainul Hamdi,Pengurus Lakpesdam PBNU; Guru Besar Sosiologi Agama UIN Sunan Ampel Surabaya