Pujangga Bersertifikat
Di era yang menuntut kecepatan dan percepatan di segala bidang ini, banyak yang kreatif mencari terobosan untuk menjadi penulis secara cepat. Pengakuan tingkat nasional sebagai penulis pun mudah diperoleh.
Pada tahun 1977, dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki, sastrawan Mochtar Lubis berbicara tentang karakter manusia Indonesia. Ungkapnya, ”salah satu hal yang dimiliki manusia Indonesia yang patut dibanggakan adalah kreativitas”.
Menurut Mochtar Lubis, daya kreatif merupakan kekuatan terbesar manusia Indonesia selama berabad-abad. Ini terbukti dengan hadirnya candi-candi, seni emas, perak dan tembaga, tenunan dan anyaman, hingga karya sastra baik lisan maupun tulisan yang tidak kalah dengan buatan manusia belahan dunia lain.
Sebagai pujangga ternama Indonesia, keyakinan Mochtar Lubis kepada kekuatan daya kreatif dan imajinatif telah mengantarnya kepada sejumlah pencapaian besar di bidang sastra. Daftar karya dan prestasinya dengan mudah ditemukan baik di dalam buku pelajaran sekolah, ensiklopedia sastra, hingga artikel-artikel kesusastraan.
Baca juga: Satu Abad Mochtar Lubis
Terlepas dari pengaruh perkembangan zaman, masih dalam pidatonya, Mochtar Lubis percaya bahwa daya kreatif yang membanggakan tersebut, walaupun sempat mundur dan terkubur akibat pengaruh asing, sesungguhnya masih terdapat dalam diri manusia Indonesia dan akan muncul kembali apabila ”iklim”-nya tepat.
Bertahun-tahun setelah kepergiannya, perkataan Mochtar Lubis menemukan pembuktian. Perubahan besar-besaran yang terjadi belakangan ini, terutama yang disebabkan oleh teknologi canggih, telah mendorong terciptanya ”iklim” yang tepat itu. Iklim yang melahirkan banyak manusia kreatif di Indonesia.
Kreativitas, tantangan, dan eksistensi
Teknologi tinggi, dalam hal ini internet dan media sosial, memang terbukti telah menghadirkan banyak perubahan. Keduanya tidak hanya melajukan modernisasi dan membuka pintu globalisasi selebar-lebarnya, menyediakan banyak kemudahan dan mendorong peradaban, tetapi juga menciptakan rupa-rupa tantangan dan hambatan bagi manusia.
Di tengah situasi yang seperti inilah kreativitas menemukan ”iklim” yang tepat untuk tumbuh subur. Ketika manusia dipaksa berhadap-hadapan dengan dunia yang kian keras, manusia ditantang untuk menaklukkan atau sekadar bertahan dari perubahan yang ada, entah dengan berkompromi atau berimprovisasi, berjuang di jalan lama atau membuat jalan baru.
Seorang psikolog eksistensial Amerika Serikat, Rollo May, melihat kreativitas sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman manusia dalam upayanya bergumul dengan masalah-masalah kehidupan. Kreativitas juga berhubungan dengan upaya manusia untuk meneguhkan eksistensinya. Dengan daya kreatifnya, seorang manusia tidak hanya mampu mengatasi batu penghalang yang ada, tetapi juga sanggup melampaui bukit tantangan bahkan menghadirkan terobosan baru.
Dalam dunia kepenulisan, daya kreatif semacam ini telah mendorong banyak penulis untuk mencoba sudut pandang dan teknik menulis baru.
Dalam dunia kepenulisan, daya kreatif semacam ini telah mendorong banyak penulis untuk mencoba sudut pandang dan teknik menulis baru. Pun, bereksperimen dengan bentuk, tema, dan gaya berkisah. Namun, ada satu terobosan yang, bisa dianggap, cukup viral karena selain ramai ditawarkan di mana-mana, juga sangat diminati oleh banyak orang pada hari ini, yaitu cara praktis menjadi penulis.
Jalan “kreatif”
Ada banyak jalan menuju Monas. Sejumlah jalan di antaranya jalan-jalan kecil alternatif yang sering disebut jalan tikus. Tidak hanya memudahkan seseorang mencapai tujuannya, jalan tikus juga bisa mempersingkat waktu perjalanan. Dengan menggunakan jalan tikus, kemungkinan terjebak macet atau jauh-jauh menyusuri sebentang jalan raya lebar hanya demi menyeberang ke jalur sebelah bisa dihindari. Jalan tikus pun bisa dilihat sebagai tindakan kreatif para pengguna jalan.
Seolah terinsipirasi dengan cara kerja jalan tikus, mereka yang bermimpi menjadi penulis, tetapi enggan mengikuti cara yang ditempuh para penulis pendahulu, juga tergerak mencari cara alternatif. Di era yang menuntut kecepatan dan percepatan di segala bidang ini, orang-orang semacam itu merasa seolah dituntut untuk bergerak serba cepat. Meraih cita-cita dan mimpi secepat mungkin, yang kalau bisa dengan cara yang mudah pula agar cepat menuai hasilnya.
Baca juga: Hancurnya Ekosistem Penulis?
Alhasil, lahirlah jalan ”kreatif” menjadi penulis yang tidak mengharuskan seseorang untuk menghabiskan umurnya demi melewati proses kreatif nan panjang ala seniman sejati. ”Terobosan” baru di bidang kepenulisan ini hanya mensyaratkan dua hal: kerajinan dan imajinasi. Adapun yang bakal menanti di ujung jalan ini adalah sebuah pengakuan tingkat nasional sebagai penulis, entah dalam bentuk sertifikat atau buku. Inilah jalan alternatif yang tepat bagi mereka yang merasa bahwa kebutuhan akan pengakuan jauh lebih mendesak daripada apapun, bahkan dari proses kreatif itu sendiri.
Abaikan pernyataan Rollo May bahwa dalam proses kreatif setiap seniman, entah pelukis, pematung, pengarang, atau penyair, mesti membutuhkan perjumpaan yang intens. Jika perjumpaan intens berarti mesti melewati tahapan yang panjang, mulai dari pencarian ide, terserap ke dalamnya, berkarya sepenuh hati, hingga mengendapkan dan mengoreksinya kembali, maka cara demikian telah ketinggalan zaman.
Kini, waktu sudah menemukan konversi harganya yang baru. Ia setara dengan harga kuota internet. Satu-satunya perjumpaan yang dibutuhkan oleh orang-orang kepepet ini adalah perjumpaan dengan pihak penerbit dan penyelenggara lomba yang tepat dan murah hati di media sosial.
Ada banyak redaksi penerbitan dan panitia lomba menulis yang gencar memperkenalkan dan menyebarluaskan cara instan menjadi penulis semacam ini. Ajak mereka, rajin-rajinlah mengikuti lomba menulis yang menyediakan sertifikat. Jangan pedulikan apakah lomba menulis itu gratis atau berbayar, yang terpenting adalah setiap peserta lomba pasti akan mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis. Lupakan soal mutu tulisan. Bukankah setiap orang berhak menjadi penulis? Cukup pastikan ejaan nama si peserta yang tertulis pada sertifikat sudah benar dan lengkap beserta gelar-gelarnya.
Rajin-rajin pula menulis, saran mereka. Tulislah apa saja sebab, pada hari ini, apa pun bisa dijadikan buku. Entah itu hanya beberapa baris kalimat curahan hati berima, esai tambal sulam hasil intip-comot paragraf karya orang lain, cerpen dan novel tak kenal EYD, hingga dua puluh kata quotes motivasi, semua itu bisa dijadikan buku.
Rajin-rajin pula menulis, saran mereka. Tulislah apa saja sebab, pada hari ini, apa pun bisa dijadikan buku.
Jangan berkecil hati soal bakat atau pengalaman menulis, para penerbit dan panitia lomba yang baik ini berjanji tidak akan menilai, menyaring, atau repot-repot menghapus salah ketik hasil karya si penulis. Jangan pikirkan pula soal apakah karya itu penting atau tidak penting, solo atau keroyokan, dengan membayar tunai atau boleh dicicil, yang terpenting adalah setiap buku mestilah berharga. Sebab, mengutip ungkapan Pramoedya Ananta Toer, menulis itu ibarat bekerja untuk keabadian. Sungguh buku sesuatu yang tak ternilai.
Seiring mudahnya mendapatkan sertifikat kepenulisan dan membuat buku, penulis-penulis baru juga kian meruak serupa jamur di musim hujan dan meramaikan dunia perbukuan negeri ini. Merekalah penulis-penulis kekinian yang mempunyai lebih banyak sertifikat penghargaan ketimbang Mochtar Lubis semasa hidupnya. Para penulis yang tingkat produktivitasnya barangkali akan membuat Mochtar Lubis iri sekaligus bangga karena ramalannya terbukti. Bahwa pada akhirnya telah lahir manusia-manusia kreatif Indonesia yang sanggup menghasilkan puluhan buku (keroyokan) dalam setahun.
Kemudahan menjadi penulis yang datang terlambat ini barangkali pula akan membuat satu-dua penulis senior merasa gemas sendiri. Di sepanjang jalan karier kepenulisan mereka yang sulit, para senior ini mesti menghabiskan banyak waktu hanya demi menerbitkan satu buku, apalagi mendapat pengakuan tingkat nasional.
Baca juga: Hancurnya Ekosistem Penulis?
Padahal, para penulis kekinian itu telah membuktikan bahwa hanya dibutuhkan daya kreatif dan imajinasi tingkat tinggi untuk menjadi penulis tingkat nasional. Imajinasi bahwa jumlah karya dan buku yang dihasilkan, sealbum sertifikat penghargaan lomba menulis tingkat nasional yang dikoleksi, kesibukan menjadi peserta di berbagai acara dan seminar perbukuan di mana-mana, adalah jaminan bahwa mereka telah resmi menjadi penulis tingkat nasional kebanggaan keluarga, teman, sekolah, kampus, dan kantornya. Sesuatu yang bisa mereka capai dalam waktu yang tidak sampai membuat rambut beruban: satu-dua tahun.
Inilah realitas baru dunia kepenulisan kita. Kreativitas telah bekerja untuk sesuatu yang berbeda; yang bersifat ekshibisionisme dan hanya menyentuh permukaan. Manusia-manusia kreatif Indonesia memang telah lahir, tetapi sebagian besar dari mereka telah membiarkan daya kreatif mereka dijajah oleh hal-hal yang merusak. Ia bukan lagi hanya sebatas pengaruh asing, sebagaimana ungkap Mochtar Lubis, melainkan sesuatu yang serupa candu, seperti kepopuleran, kenaikan pangkat, kekaguman, hingga prestise.
Jika realitas baru ini terus berlanjut tak terkendali, bersiaplah menghadapi suatu masa baru dalam jagat kepenulisan kita. Masa di mana sebagian besar pujangga negeri ini adalah para pujangga bersertifikat yang menulis tanpa kenal takut pada penolakan redaksi dan penilaian juri. Pun, soal orisinalitas dan salah ketik.
Anindita S Thayf, Novelis dan Esais