Hendaknya, basis pelestarian Borobudur juga seturut dengan cita-cita kemanusiaan dan kasih sayang yang bersemayam dalam candi tersebut.
Oleh
Saras Dewi
·5 menit baca
Matahari perlahan terbit menyinari stupa beserta Buddha yang tengah mudra sehingga seolah-olah kegelapan telah surut diserap oleh candi tersebut. Kabut masih nampak di kejauhan, dan Gunung Merapi juga Merbabu hening menyimpan misterinya. Hari yang dimulai di Borobudur, adalah hari yang terberkahi. Lorong-lorong di Borobudur berlimpah dengan kisah kebajikan, berjalan di antara kemegahan itu memalun siapapun dengan rasa haru. Borobudur adalah saksi digdaya kekuasaan Mahakala, ia telah menyaksikan dengan senyap, waktu yang bergulung-gulung mengubah dunia dan orang-orang yang menghidupinya semenjak ribuan tahun yang lalu.
Borobudur adalah enigma yang tak habis-habisnya menyihir para pengkajinya. Berbagai peneliti seperti: N.J Krom, Theodoor van Erp, W.F Stutterheim, P. Mus, F.D.K Bosch, D.E Osto, J. Dumarçay, Soekmono, Noerhadi Magetsari, Edi Sedyawati, Mundardjito, Daud A. Tanudirjo dan banyak lagi, mendedikasikan hidup mereka untuk menyingkap sisi-sisi dari Borobudur. Candi ini pernah terlelap di dalam timbunan abu vulkanik dan rimbunnya pepohonan, bahkan tidak disangka mulanya dianggap bukit ternyata adalah bangunan yang menyerupai piramida. Selepas penggalian pada tahun 1814, masing-masing peneliti berusaha menyusun kepingan teka-teki candi Borobudur. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan; siapakah yang merancang dan membangun Borobudur, dan untuk tujuan apakah Borobudur dibangun?
Borobudur merupakan candi bercorak Mahayana Buddhis dari abad ke-9 yang dibangun semasa kejayaan Dinasti Sailendra. Walau demikian, peneliti J. Dumarçay menyampaikan kesukarannya memecahkan tahapan dari pembangunan itu, sebab diduga penyelesaian Borobudur mengambil rentang lebih dari 70 tahun lamanya. Beberapa sumber yang menyebutkan tentang Borobudur, misalnya Prasasti Tri Tepusan (842 M) yang menyebutkan tentang Sri Kahalunan yang juga diyakini sebagai gelar yang diberikan pada Dyah Pramodhawardhani putri dari Raja Semaratungga, Dinasti Sailendra. Prasasti itu membicarakan area yang disucikan yakni Bhumisambhara, yang dapat dikaitkan dengan Borobudur. Selain itu disebutkan pula di Prasasti Kayumwungan (824 M) yang ditemukan di dusun Karangtengah yang menyebutkan tentang Raja Semaratungga serta Pramodhawardhani yang membangun candi suci Jinalaya, candi ini diduga sebagai Borobudur.
Tujuan religius nampak dalam pembangunan monumen ini, meski demikian mempelajari Borobudur sebagai diskursus yang mengkonstruksi ruang kosmologis memang selalu menarik untuk ditelusuri. Namun, selain pewacanaan metafisis, saya selalu termanggu ketika merunuti relief Jataka. Inti cerita dari kehidupan Buddha sebelumnya adalah betapa ketulusannya untuk berkorban dan mencintai makhluk hidup baik manusia maupun flora dan fauna lainnya. Pengorbanan dan cinta Buddha menyentuh dan mendorong perubahan yang mematahkan kebencian.
Menurut saya Borobudur adalah candi yang menjadi titik penyibakan manusia yang dibungkus oleh alam raya ini. Deskripsi Jataka yang sarat akan pesan cinta universal yang juga meliputi pertimbangan ekologis, mengajarkan bahwa cinta adalah fondasi dari kehidupan ini. Dalam salah satu cerita, pada kehidupan terdahulu Buddha adalah raja yang menentang ritual yang menyakiti dan mengorbankan hewan. Kemudian, pada kehidupan lainnya Buddha adalah dewa yang dalam pertempurannya dengan musuhnya yang jahat, rela mempertaruhkan diri untuk menyelamatkan kawanan burung. Dalam kisah lainnya, Buddha adalah seorang raja yang mengorbankan matanya untuk orang buta. Ciri pemahaman aksiologis dari Buddhisme adalah tindakan nyata nirkekerasan, perbuatan sehari-hari untuk menghargai sesama dan berkorban tanpa pamrih.
Pembagian undak-undak Candi Borobudur dapat dimengerti sebagai simbol sepuluh tingkat bhumi yang harus dijalani oleh Bodhisattva agar mencapai pencerahan. Pada tingkat puncak yang ruangnya ditandai dengan stupa-stupa, menunjukkan tingkat tertinggi, yakni kedamaian yang mutlak terlepas dari gairah, yang tidak lagi terbelenggu oleh batasan wujud. Noerhadi Magetsari seorang arkeolog, menyatakan bahwa selain Borobudur sebagai perwujudan ajaran Mahayana, Borobudur pun berunsur Yogacara dan Tantrayana. Relief Gandavyuha yang terpatri pada dinding menjadi petunjuk yang menegaskan keutamaan meditasi demi mencapai pencerahan. Borobudur dalam hal ini, seperti Mandala, menjadi ruang sakral bagi penghayatnya untuk memurnikan diri.
Namun pada aspek lainnya, unsur Tantrayana tidak dapat ditampik dalam Borobudur. Merujuk kembali pada relief Gandavyuha, yang merupakan bagian akhir dari Avatamsaka-sutra, teks ini menceritakan tentang perjalanan seorang manusia bernama Sudhana yang belajar mengenai kebijaksanaan hidup melalui perjumpaannya dengan kalynamitta, atau para sahabat spiritual. Pesan etis ini, mendorong kesadaran bahwa dalam mencari kebenaran sejati, perlu kepekaan untuk belajar dari manusia lainnya, keterbukaan untuk melihat kehidupan mereka dan mengasuh empati. Buddha sebagai mahakaruna, yang maha berbelas kasih, memancar ke seluruh makhluk hidup.
Saya kerap merenungkan makna dari arca Buddha yang berada di dalam stupa berongga. Tubuh arca itu nampak syahdu dilihat selang-seling dari susunan rongga yang ada pada stupa. Noerhadi Magetsari menginterpretasikan bahwa badan Buddha yang tidak dapat dilihat secara utuh dapat dimaknai sebagai kesamaran Buddha yang berada pada dunia ada dan tiada. Artinya, Buddha yang telah sampai pada kesempurnaan, sekaligus tetap hadir tubuh, cinta kasih dan kehangatannya sepanjang masa.
Borobudur adalah bagian penting dari filsafat Indonesia, warisan para leluhur yang tidak saja terpaut berurusan dengan masa lalu, tetapi bagaimana kita hidup saat ini dengan berbagai tantangannya. Hendaknya, basis pelestarian Borobudur juga seturut dengan cita-cita kemanusiaan dan kasih sayang yang bersemayam dalam candi tersebut. Saya teringat pesan (alm) Prof. Mundardjito arkeolog yang terlibat dalam pemugaran Borobudur pada tahun 1980an, bahwa perlu didahulukan prinsip etis saat menangani cagar budaya. Borobudur bukan semata-mata objek pariwisata, melampaui itu, Borobudur adalah kumparan pengetahuan yang pelestariannya berasaskan kepentingan dan keikutsertaan publik.
Saras DewiPengajar Filsafat di Universitas Indonesia