Generasi ”Digital Native” dan Media Sosial
Eksistensi generasi ”digital native” memiliki dua posisi berbeda. Pertama, sebagai aset berharga bangsa. Kedua, sebagai ancaman mengerikan mengingat ringkat literasi yang masih rendah.
Generasi digital native adalah generasi milenial atau mereka yang lahir pada 1981-1995 dan generasi Z atau mereka yang lahir pada 1996-2010, sebagai generasi yang sejak mulai belajar menulis/membaca, beraktivitas, dan berinteraksi sudah mengenal sekaligus memanfaatkan teknologi internet (gawai) dan media sosial.
Media sosial (medsos) ibarat pisau bermata dua. Satu sisi (positif) sangat efektif untuk berinteraksi dan mentransformasikan praktik komunikasi. Di sisi lain (negatif) bisa digunakan untuk propaganda politik yang bersifat agitatif dan provokatif (ujaran kebencian) yang berdampak mengerikan.
Berdasarkan riset Hootsuite dan We Are Social (2021), jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 202,6 juta orang dan yang aktif ber-medsos sekitar 170 juta orang. Adapun Statista (portal data dan statistik) mengklasifikasikan pengguna berdasarkan usia, yaitu usia 18-24 tahun menduduki peringkat tertinggi, disusul usia 25-34 tahun, usia 35-54 tahun, dan 55-65 tahun ke atas.
Data tersebut mengisyaratkan bahwa jumlah pengguna internet dan medsos dari perangkat smartphone (telepon pintar) di dominasi kalangan generasi digital native (usia 18-40 tahun).
Baca juga: Tantangan bagi Generasi Milenial
Iklan politik dan propaganda teologis
Perkembangan teknologi internet dan medsos melahirkan konsep content creating atau aktivitas membuat konten yang tak lagi hanya sebatas hobi produktif, tetapi juga telah menjadi komoditas yang bernilai ekonomi.
Sebagai media komunikasi yang bisa engage dengan konsumen, konten serta-merta dijadikan platform AdSense, seperti di YouTube. Video yang diproduksi oleh content creator dimanfaatkan untuk menampilkan iklan berbagai jenis produk.
Konten video lewat medsos yang bebas dikonsumsi publik, tak hanya menampilkan pesan yang bersifat edukatif, informatif, dan menghibur semata, tetapi juga terdapat konten yang mengandung ujaran kebencian, seperti hujatan, makian, hingga ancaman. Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pelanggaran dalam ber-medsos, justru semakin masif.
Terlepas dari pelanggaran dalam ber-medsos, apakah sudah ditangani lewat UU ITE, atau ada yang (sengaja) didiamkan, dibiarkan, dan diabaikan, ada sisi lain yang perlu dicermati, yaitu semakin masifnya iklan politik dan propaganda teologis.
Iklan politik merupakan salah satu dari komponen vital marketing politik karena persepsi publik bisa dibangun lewat propaganda iklan (politik). Dalam perspektif industri citra, content creator cenderung lebih mengedepankan citra positif atau popularitas obyek dalam upaya memengaruhi ”opini” masyarakat.
Adapun propaganda teologis merupakan bentuk kekerasan dan tekanan sosial terhadap kelompok (agama) minoritas. Berdasarkan data penelitian Universitas Canbera (Australia), di Indonesia, sejak era reformasi (1998) sampai tahun 2014, perusakan dan pembakaran tempat ibadah umat minoritas sudah lebih dari 1.000 kasus dengan rincian pada tahun 1998-1999 ada 162 kasus, tahun 1999-2001 ada 360 kasus, tahun 2001-2004 ada 160 kasus, dan tahun 2004-2014 ada 500-an kasus (https://www.cnnindonesia.com).
Adapun dari tahun 2014 sampai sekarang (2021) sudah lebih dari 200-an tempat ibadah kaum minoritas yang ditolak pembangunannya (masalah perizinan), ditutup/disegel, dirusak atau dibakar (https://www.bbc.com/indonesia).
Baca juga: Modal Mencegah Teologi Kebencian
Teori ”Magic Bullet”
Sejak diluncurkan pada tahun 2005, Youtube telah berkembang menjadi platform video daring atau online terbesar dunia dengan 2,24 miliar pengguna. Dengan demikian, Youtube bukan sekadar dijadikan profesi (YouTuber) untuk tujuan ekonomi semata, melainkan juga bisa dijadikan sebagai senjata politik lewat iklan politik, baik yang bersifat konvensional maupun ideologis.
Penggulingan rezim Zeine El Abidin Ben Ali (Tunisia) pada tahun 2011 merupakan ilustrasi betapa dahsyatnya Revolusi Medsos yang dibangun lewat iklan politik di Facebook, Youtube, Twitter, dan jejaring sosial lainnya. Demikian juga ”Arab Spring” yang melanda beberapa negara Timur Tengah dan tragedi kemanusiaan yang diciptakan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Teori magic bullet atau teori peluru ajaib adalah istilah yang dikenalkan oleh Harold Dwight Lasswell, ilmuwan politik Amerika, dalam bukunya “Propaganda Technique in the World War” (1927). Inti dari teori ini mengasumsikan bahwa media (sebagai senjata) menembakkan informasi (peluru) kepada pikiran masyarakat. Masyarakat yang menjadi komunikan (penerima pesan) cenderung menerimanya tanpa melakukan klarifikasi, verifikasi, ataupun pencernaan secara mendalam.
Meskipun medsos bukan satu-satunya penyebab lahirnya ”revolusi sosial”, seperti terjadi di Tunisia, ”Arab Spring”, dan NIIS, ”provokasi dan agitasi lewat medsos” sangat efektif untuk memobilisasi massa. Gerakan massa yang turun ke jalanan adalah kekuatan inti dari revolusi sosial yang merupakan senjata politik kelompok oposisi (antipemerintah) paling mematikan.
Berdasarkan catatan Newzoo, penyedia data yang bermarkas di Belanda, Indonesia menempati posisi keempat dunia sebagai pengguna telepon pintar yang realitasnya di dominasi generasi digital native.
Kondisi ini mengisyaratkan jika eksistensi generasi digital native memiliki dua posisi berbeda. Pertama, sebagai aset berharga bangsa. Kedua sebagai ancaman mengerikan. Disebut ancaman mengerikan apabila kecerdasan, kepandaian, dan kepintaran generasi digital native selaku pengguna telepon pintar tak sebanding (cenderung lebih rendah) dengan gawai (gadget) atau telepon pintar yang mereka gunakan.
Indonesia menempati posisi keempat dunia sebagai pengguna telepon pintar yang realitasnya di dominasi generasi digital native.
Ada indikasi mengerikan, yaitu bahwa di tengah perkembangan teknologi internet dan medsos ini, tingkat literasi bangsa Indonesia masih terpuruk. Program for International Student Assessment (PISA) Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), 2019 menempatkan peringkat literasi bangsa Indonesia berada di posisi 62 dari 70 negara.
Hal ini senada dengan hasil riset digital GFK (Gesellschaft Fur Konsumforschung) bahwa rata-rata orang Indonesia memelototi gawainya 9 jam dalam satu hari, tetapi itu hanya untuk gaming atau hal lain yang tak produktif, bukan untuk menambah wawasan pengetahuan yang bermanfaat.
Dengan kondisi ini, apabila Indonesia hanya dijadikan pasar gemuk pemilik modal (kapitalis) atau semakin dibanjiri produk impor, itu bukan hal aneh.
Itulah tantangan generasi digital native Indonesia selaku dominasi pengguna gawai. Tantangan tersebut harus dijawab (setidaknya) dengan meningkatkan kecerdasan, kepandaian, dan kepintaran dalam konteks peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Baca juga: Paradoks Media Sosial
W James Potter dalam bukunya Media Literacy (2013) menuliskan teorinya bahwa medsos memiliki pengaruh besar kepada cara orang memandang dunia. Medsos memiliki potensi membentuk keyakinan dan harapan, bisa merusak sekaligus membantu. Langkah bijak dalam bermedsos diperlukan literasi untuk keseimbangan (equilibrium) sebagai upaya meningkatkan kemampuan seseorang dalam memproses informasi yang datang dari aneka jenis platform, baik yang mainstream maupun digital.
Medsos bukan dipergunakan untuk hal-hal negatif seperti menghujat, menyerang, hingga merusak reputasi sesama, melainkan semestinya dipergunakan untuk hal positif seperti membangun kebersamaan, menjembatani disharmoni, serta menyebarluaskan pencerahan bagi masyarakat.
Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan