Transformasi Supremasi Sipil
Doktrin supremasi sipil menghadapi isu konstitusional yang cukup krusial dengan adanya kebijakan menunjuk prajurit aktif sebagai penjabat kepala daerah. Pada dasarnya kebijakan itu bentuk kian kuatnya supremasi sipil.
Reformasi konstitusi dan politik di tahun 1998 secara fundamental telah mengubah beberapa struktur dasar Republik Indonesia. Salah satunya adalah pengokohan kembali supremasi sipil di dalam sistem ketatanegaraan.
Pengokohan kembali supremasi sipil itu ditandai dengan pemisahan TNI dan Polri melalui amendemen kedua terhadap UUD 1945, penetapan TAP MPR No VI/MPR/2000 serta pengesahan UU No 34/2004 tentang TNI (UU TNI) dan UU No 2/2002 tentang Polri (UU Polri). Sejak saat itu, supremasi sipil menjadi doktrin yang tidak terelakkan dalam kaitannya dengan kendali sipil atas kekuatan militer.
Saat ini doktrin supremasi sipil menghadapi isu konstitusional yang cukup krusial dengan adanya kebijakan pemerintah menunjuk prajurit aktif TNI sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Pada dasarnya, penunjukan ini bagian dari mengisi kekosongan jabatan sebagai konsekuensi politik hukum UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengamanatkan pemilihan serentak nasional 2024.
Harian Kompas telah menurunkan dua artikel yang berkaitan dengan respons terhadap pengangkatan ini. Pertama, artikel berjudul ”Hormati Supremasi Sipil” (25/5/2022) telah membuka wacana penting yang berkaitan keberlanjutan demokrasi konstitusional kita. Kedua, artikel berjudul ”MK: TNI-Polri Aktif Tak Bisa Menjadi Penjabat” (27/5/2022).
Baca juga: Hormati Supremasi Sipil dalam Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Baca juga: Menyoal Polemik Penjabat Kepala Daerah
Secara mendasar kedua artikel tersebut berintikan, pertama, kebijakan penunjukan itu bertentangan dengan semangat reformasi politik dan konstitusi tahun 1998, di mana TNI/Polri tidak lagi terlibat dalam kepentingan politik.
Kedua, terdapat sejumlah regulasi dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diabaikan perihal pengangkatan prajurit aktif itu sebagai penjabat kepala daerah. Terakhir, dengan kebijakan pengisian jabatan di luar jabatan-jabatan yang sudah ditetapkan oleh UU TNI dan Polri, maka perwira TNI maupun anggota Polri yang hendak mengisi jabatan pemerintahan—termasuk untuk mengisi posisi penjabat kepala daerah—wajib mengundurkan terlebih dahulu.
Guna memetakan persoalan konstitusional tersebut, terlebih dahulu harus kita pahami bahwa isu tersebut merupakan konsekuensi politik hukum dari pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, yang akan dilaksanakan November 2024. Terdapat tiga konsekuensi yang perlu ditanggulangi sebagai dampak pemberlakuan kebijakan pilkada itu.
Infografik Penjabat Kepala Daerah
Pertama, apabila tak ada penunjukan, akan terjadi kekosongan jabatan kepala daerah, yang berdampak pada tersendatnya pelayanan publik. Kedua, pengisian penjabat tersebut, mengisyaratkan adanya kriteria khusus. Setidaknya, hukum yang berlaku memberikan landasan diperlukannya Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (JPT Madya) untuk penjabat gubernur, dan JPT Pratama untuk penjabat bupati dan wali kota.
Terakhir, dengan adanya kriteria khusus tersebut, terbuka peluang kepada seluruh JPT, baik dari unsur PNS maupun non-PNS, untuk diseleksi sebagai penjabat kepala daerah.
Bertolak dari tiga konsekuensi tersebut, telah timbul isu konstitusional, di mana pemerintah menunjuk JPT Madya yang berasal dari TNI aktif sebagai penjabat kepala daerah. Secara fundamental, apabila kita berpegang pada doktrin supremasi sipil secara militan, penunjukan tersebut tidak selaras dengan beberapa regulasi yang berlaku, yaitu Pasal 47 Ayat (1) UU No 34/2004 tentang TNI (UU TNI), Pasal 109 UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), dan Pasal 159 PP No 20/2020 (PP Manajemen Pegawai Sipil).
Namun sebaliknya, seiring perubahan lanskap sosio politik dan tuntutan yang tinggi pelayanan publik, doktrin supremasi sipil telah mengalami transformasi seiring dengan berkembang pesatnya organisasi pemerintahan.
Oleh karena kondisi demikian, terdapat tiga argumentasi yang perlu diobservasi dengan saksama, terkait melebarnya peran prajurit TNI di dalam K/L, dan urusan pemerintahan.
Dalam artikel berjudul ”Halusinasi Dwifungsi ABRI dan Supremasi Sipil Sejati” (Kompas/19/3/2019), Connie Rahakudini Bakrie memberikan suatu analisis bahwa keterlibatan TNI di pemerintahan yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya atas dasar adanya permintaan dari kementerian/lembaga (K/L) dan berdasarkan kebutuhan K/L terkait. Oleh karena kondisi demikian, terdapat tiga argumentasi yang perlu diobservasi dengan saksama, terkait melebarnya peran prajurit TNI di dalam K/L, dan urusan pemerintahan.
Pertama, apabila kita amati, pada Pasal 109 Ayat (2) UU ASN, terdapat ketentuan yang merupakan jendela kesempatan dan celah hukum bagi pemerintah untuk mengakomodasi peran prajurit TNI di luar kantor-kantor yang sudah ditentukan UU TNI. Dalam konstruksi hukum itu, mengundurkan diri dari dinas aktif adalah suatu kondisional karena terdapat frasa ”apabila dibutuhkan”, namun memenuhi standar kompetensi dan seleksi adalah bersifat wajib.
Bilamana kita kaitkan dengan konteks pengisian kekosongan jabatan, pertimbangan MK dalam Putusan No 67/PUU-XIX/2021 yang mengatur perlunya pertimbangan dan perhatian pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana, lebih merupakan tuntutan normatif bagi pemerintah. Peraturan tersebut bertujuan untuk mengatur mekanisme yang jelas dalam pengisian jabatan, terlebih lagi yang melibatkan peran prajurit TNI maupun anggota Polri aktif. Di samping itu, juga untuk memastikan keabsahan tindakan pelibatan tersebut, sistem merit, dan menjaga pilar-pilar demokrasi konstitusional.
Maka apabila kita meminjam gagasan Martin Loughlin (Foundation of Public Law, 2010), tuntutan normatif adanya peraturan pelaksana merupakan sisi lain dari hukum, yang mengungkap karakter lain hukum, yaitu potentia. Dalam hal ini, hukum memberikan suatu resep terhadap kondisi yang konkret, atau tentang bagaimana menjawab hal apa saja yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan, di mana faktor ekonomi dan politik diperhitungkan.
Kedua, standardisasi kompetensi dan seleksi adalah instrumen utama dalam menyeleksi prajurit TNI untuk masuk ke dalam lingkungan pemerintahan. Maka, instrumen tersebut telah memperkokoh ekosistem birokratis-legalistik dan kultur korporasi di pemerintahan. Kondisi ini menempatkan prajurit aktif yang memenuhi kualifikasi sebagai pegawai ASN, menjadi sumber daya yang siap digerakkan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan.
Hal ini jadi pertimbangan MK dalam Putusan No 15/PUU-XX/2022: ketika seseorang telah memenuhi standar kompetensi dan seleksi menjadi JPT Madya dan Pratama, yang bersangkutan bisa diangkat jadi penjabat kepala daerah. Pada akhirnya nanti sumber daya tersebut diperuntukkan guna meraih prioritas pemerintahan dan pelayanan publik secara optimal. Dalam arti lain, kita sedang menuju suatu konsepsi bernegara yang pemerintahannya berorientasi kuat pada tujuan atau prioritas yang ingin dicapai atau teleokrasi.
Dengan demikian, pelajaran yang dapat kita tarik adalah merumuskan sesegera mungkin suatu regulasi yang mampu menjelaskan hal-hal apa saja yang dibutuhkan untuk mengakomodasi adanya penjabat kepala daerah dari unsur TNI/Polri.
Terakhir, transformasi supremasi sipil memperkuat suatu kondisi bahwa keterlibatan prajurit aktif TNI di dalam politik hanya bisa dilakukan apabila ia mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif. Hal ini menunjukkan, supremasi sipil memastikan TNI tidak lagi mendapatkan hak istimewa sebagaimana di masa lalu di dalam arena politik.
Sebagai penutup, pada dasarnya penunjukan perwira aktif TNI sebagai penjabat kepala daerah merupakan bentuk kian kuatnya pengaruh supremasi sipil dalam mengelola pemerintahan negara.
Tuntutan agar tetap dapat memberikan pelayan publik optimal dalam kondisi peralihan menuju pilkada serentak telah mendorong kebijakan pengisian penjabat kepala daerah dari unsur TNI.
Dalam hal ini, tuntutan tersebut telah menyerap sumber daya dari unsur TNI untuk menopang pemerintahan. Dengan demikian, pelajaran yang dapat kita tarik adalah merumuskan sesegera mungkin suatu regulasi yang mampu menjelaskan hal-hal apa saja yang dibutuhkan untuk mengakomodasi adanya penjabat kepala daerah dari unsur TNI/Polri. Sebab, sejatinya hal ini merupakan kondisi politik yang konkret, yang tak hanya terjadi pada saat ini saja, tetapi juga merupakan pengulangan kebijakan di 2018 silam.
D Nicky Fahrizal Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta