Tantangan Pajak dan Urgensi Pertumbuhan Kredit
Reformasi perpajakan memang vital, tetapi pemerintah juga harus menggenjot pertumbuhan sektor rill. Hampir mustahil meningkatkan penerimaan pajak tanpa dibarengi dengan peningkatan perputaran ekonomi dan bisnis.
Pajak merupakan kontribusi wajib masyarakat sebagai sumber utama pemasukan negara. Memacu pertumbuhan pajak sangat kritikal sebagai instrumen pembiayaan belanja negara. Pada masa kini pemerintah tidak lagi hanya memungut pajak, tetapi harus pula dibarengi upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan bisnis. Semakin banyak orang bekerja dan berbisnis berimplikasi positif terhadap pertumbuhan pajak.
Di sisi lain, pemerintah juga wajib melindungi masyarakat miskin melalui subsidi dan perlindungan sosial. Apabila tidak, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi akan memicu keresahan dan gejolak sosial yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak.
Dampak pandemi Covid-19 tahun 2020-2021 telah memukul semua lini kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Pemerintah terpaksa merelakan penerimaan pajak. Aneka insentif dan pelonggaran pajak diberikan kepada korporasi dan dunia usaha demi menghindari kebangkrutan. Pelemahan bisnis berdampak buruk terhadap penerimaan pajak.
Baca juga: Menimbang Penerimaan Pajak di Tengah Pemulihan Ekonomi
Pemerintah menggelontorkan dana penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN). Dalam dua tahun pandemi, telah lebih dari Rp 1.400 triliun yang mayoritas dialokasikan untuk perlindungan sosial dan membantu dunia usaha. Alhasil, defisit APBN melonjak dramatis.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, anggaran PC-PEN dialokasikan sebesar Rp 695,2 triliun (2020), Rp 744,77 triliun (2021), dan 455,62 triliun (2022). Dengan realisasi penyerapan anggaran Rp 578,8 triliun (2020), Rp 658,6 triliun (2021), dan 80,79 triliun (Mei 2022).
Besarnya anggaran PC-PEN membawa efek bumerang terhadap pelonjakan defisit APBN secara dramatis. Realisasi defisit APBN tahun 2021 sebesar Rp 783,7 triliun atau 6,14 persen terhadap PDB dan tahun 2020 Rp 956,3 triliun atau 6,34 persen PDB. Padahal, dalam periode tahun 2015-2019 defisit APBN di bawah 3 persen. Defisit tahun 2019 (2,20 persen), 2018 (1,82 persen), 2017 (2,51 persen), 2016 (2,49 persen), dan 2015 (2,59 persen).
Pemerintah diharuskan melakukan counter cyclical policy atau kebijakan pendekatan fiskal sebaliknya. Dalam artian, mengurangi pengeluaran dan menaikkan pajak pada saat kondisi ekonomi booming, sebaliknya meningkatkan pengeluaran dan mengurangi pungutan pajak ketika ekonomi dalam masa resesi. Pemerintah melindungi masyarakat yang paling rentan serta membantu dunia usaha terutama UMKM agar kegiatan ekonomi dan bisnis tetap berjalan.
Tingginya alokasi untuk meredam dampak pandemi telah membuat anggaran negara tekor. Lebih besar pasak dari tiang. Namun, hal tersebut harus dilakukan demi mencegah perekonomian semakin terpuruk ke dalam jurang resesi. Perlahan kondisi ekonomi dan bisnis semakin membaik seiring dengan pelonggaran mobilitas masyarakat. Performa penerimaan pajak pun terdorong meningkat.
Realisasi penerimaan pajak tahun 2021 sebesar Rp 1.277,5 triliun, memenuhi target 103,9 persen dari APBN 2021 (Rp 1.229,5) atau tumbuh 19,2 persen year on year (yoy). Setelah 12 tahun, penerimaan pajak berhasil memenuhi target APBN. Sebelumnya, realisasi penerimaan pajak selama pemerintahan Jokowi belum pernah mencapai target pagu APBN.
Realisasi pajak tahun 2020 sebesar Rp 1.072,1 triliun atau 89,4 persen dari target APBN 2020. Terkontraksi 19,7 persen (yoy) terdampak krisis ekonomi pandemi covid-19. Realisasi pajak tahun 2019 (86,5 persen dari target APBN), 2018 (94,02 persen), 2017 (91 persen), 2016 (83,4 persen) dan 2015 (83,5 persen).
Menaikkan tarif pajak seperti PPN, PPh orang kaya, pajak sembako, hingga pajak pendidikan tentu membawa konsekuensi negatif terhadap pasar dan dunia usaha.
Defisit anggaran yang (dipaksa) dilonggarkan membawa risiko terhadap peningkatan utang negara. Konsolidasi fiskal menjadi strategi untuk menyehatkan kembali keuangan negara. Reformasi perpajakan mutlak dilakukan agar menambah pendapatan negara. Namun, menaikkan tarif pajak, seperti PPN, PPh orang kaya, pajak sembako, hingga pajak pendidikan, tentu membawa konsekuensi negatif terhadap pasar dan dunia usaha.
Realisasi penerimaan pajak per April 2022 telah mencapai Rp 676,07 triliun atau telah memenuhi 44,8 persen dari target APBN 2022 (Rp 1.510 triliun), tumbuh 49,1 persen yoy. Dengan total pendapatan negara akumulatif per April 2022 Rp 853,6 triliun dan belanja negara Rp 750,5 triliun, maka realisasi APBN April 2022 mengalami surplus Rp 103,1 triliun. Kebijakan stimulus patut diapresiasi dan terbukti memacu pertumbuhan PDB kembali ke zona positif 3,69 persen tahun 2021 setelah minus 2,07 persen pada 2020.
Baca juga: Reformasi Perpajakan yang Adil
Patut menjadi perhatian bahwa defisit anggaran tidak boleh terus di atas 3 persen. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Covid-19 hanya mengizinkan defisit anggaran hingga 6 persen terhadap PDB sampai tahun 2022.
Tahun selanjutnya defisit harus kembali menjadi di bawah 3 persen. Apalagi pemerintah telah berkomitmen menghentikan penarikan utang baru melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sehingga sumber pembiayaan berasal dari peningkatan pungutan pajak meskipun kurang populis bagi pasar dan dunia usaha.
Pertumbuhan sektor riil
Menambal defisit anggaran dengan utang jelas tidak sehat dan kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Utang negara per April 2022 tercatat Rp 7.040,32 triliun atau 39,09 persen terhadap PDB. Penerimaan pajak harus dipacu.
Langkah pemerintah mereformasi sistem perpajakan sudah tepat, melalui penyusunan omnibus law sektor perpajakan yang mencakup revisi sekaligus UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), UU Cukai, dan UU Pajak Penghasilan (PPh).
Pembaharuan regulasi dan tata kelola perpajakan melalui UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Pajak menjadi langkah maju. Reformasi perpajakan memang vital, tetapi pemerintah juga harus menggenjot pertumbuhan sektor rill. Hampir mustahil meningkatkan penerimaan pajak tanpa dibarengi dengan peningkatan perputaran ekonomi dan bisnis.
Pertumbuhan kredit perbankan menjadi tulang punggung karena berkolerasi positif terhadap pertumbuhan penerimaan pajak dan pertumbuhan PDB. Artinya, penyaluran kredit yang tumbuh signifikan akan memacu pertumbuhan PDB dan perpajakan.
Pertumbuhan kredit perbankan tercatat 8,24 persen (2017), 11,76 persen (2018), 6,08 persen (2019), minus 2,41 persen (2020), dan 5,24 persen (2021). Pertumbuhan pajak tahunan sebesar 19,2 persen yoy (2021), minus 19,7 persen (2020), 1,43 persen (2019), 14,3 persen (2018), dan 4,3 persen (2017). Adapun pertumbuhan PDB tercatat 5,07 persen (2017), 2,17 persen (2018), 5,02 persen (2019), negatif 2,07 persen (2020) dan 3,69 persen (2021).
Penyaluran kredit yang tumbuh signifikan akan memacu pertumbuhan PDB dan perpajakan.
Kombinasi dalam harmoni kebijakan fiskal, moneter, dan makroekonomi berperan penting dalam stabilitas ekonomi nasional. Arah positif pertumbuhan PDB sangat vital terhadap sektor perpajakan. Kredit perbankan menjadi andalan. Kepercayaan dan sinergi di antara pemerintah, perbankan, dan dunia usaha menjadi harga mati dalam pertumbuhan ekonomi dan bisnis.
Lesunya permintaan kredit dari pelaku usaha ditambah tingginya level kehati-hatian perbankan membuat penyaluran kredit melemah. Pengusaha belum sepenuhnya yakin kondisi pemulihan ekonomi dan bisnis. Sebaliknya perbankan tentu tidak ingin kredit yang disalurkan menjadi kredit macet (non performing loan/NPL).
Beberapa kritikal poin yang perlu ditingkatkan dalam memacu pertumbuhan kredit. Pertama, perbankan wajib semakin aktif dan inovatif dalam penyaluran kredit terutama pada sektor industri kreatif berbasis revolusi industri 4.0. Potensi bisnis e-commerce sangat masif.
Baca juga: Membaca Peluang Perdagangan Digital
Berdasarkan data BI, nilai transaksi e-dagang tahun 2020 sebesar Rp 253 triliun dan tahun 2021 diperkirakan Rp 330,7 triliun (tumbuh 33,2 persen yoy). Berdasarkan kajian Kemendag, nilai ekonomi digital nasional tahun 2020 sebesar Rp 632 triliun atau berkontribusi 4 persen terhadap PDB 2020 (Rp 15.400 triliun). Tahun 2030 diproyeksikan menjadi Rp 4.531 triliun atau 18 persen dari proyeksi PDB tahun 2030 (Rp 24.000 triliun), meningkat 617 persen dalam satu dekade.
Desain produk dan akses layanan kredit yang cepat diyakini mendorong pertumbuhan industri kreatif mengingat besarnya pengguna internet terutama penduduk usia produktif. Ruang pertumbuhan kredit perbankan masih terbuka. Nilai dana pihak ketiga (DPK) tahun 2021 sebesar Rp 7.479,5 triliun dan nilai kredit Rp 5.768,6 triliun.
Rasio kredit terhadap DPK (loan to deposit ratio/LDR) tercatat 77,13 persen artinya masih jauh dari batas ideal 90-95 persen. Rasio LDR tahun 2020 (82,24 persen), 93,64 persen (2019), dan 94 persen (2018). Pertumbuhan DPK bahkan lebih besar dibandingkan kreditnya yakni 6,54 persen yoy (2019), 11,12 persen (2020), dan 12,21 persen (2021). Lagi pula rasio NPL masih aman, yakni 2,53 persen (2019), 3,06 persen (2020), dan 3 persen (2021).
Kedua, transformasi paradigma pertumbuhan ekonomi dari konsumsi menuju produksi. Gejala deindustrialisasi harus dihindari. Berdasarkan data BPKM, realisasi penerimaan investasi tahun 2021 sebesar Rp 901 triliun atau 100,1 persen dari target yang terdiri atas PMA (Rp 454 triliun) dan PMDN (Rp 447 triliun).
Investasi meningkat 9 persen (yoy) dengan serapan tenaga kerja 1,2 juta orang, meningkat dari 1,15 juta orang (2020). Target penerimaan investasi tahun 2022 sebesar Rp 1.200 triliun atau ditingkatkan 33,3 persen dari target investasi tahun 2021.
Penerimaan investasi sebaiknya diarahkan ke sektor industri pengolahan yang padat karya dibandingkan sektor jasa yang padat modal dan teknologi. Nilai investasi tahun 2021 berdasarkan sektor terdiri atas jasa Rp 442,4 triliun (49,1 persen), manufaktur Rp 325,4 triliun (36,1 persen), dan pertambangan Rp 81,2 triliun (9 persen).
Penerimaan investasi sebaiknya diarahkan ke sektor industri pengolahan yang padat karya dibandingkan sektor jasa yang padat modal dan teknologi.
Pada tahun 2016, investasi sektor manufaktur tercatat Rp 335,8 triliun (54,8 persen) di atas sektor jasa Rp 188 triliun (30,7 persen). Sayangnya, tahun berikutnya investasi sektor jasa berbalik mendominasi. Komposisi investasi pada sektor manufaktur sebesar 30,8 persen (2018), 26,7 persen (2019), dan 33 persen (2020). Masih di bawah komposisi pada sektor jasa 50,9 persen (2018), 57,5 persen (2019), dan 55,5 persen (2020).
Ketiga, perbankan jangan hanya berpatokan kepada sektor industri semata. Analisis komprehensif pada debitor harus dilakukan. Sebagai contoh perbankan cenderung menghindari pemberian kredit bagi debitor terkait sektor komoditas (minyak sawit/CPO dan batubara) karena harga komoditas bersifat fluktuatif.
Rasio kredit macet (NPL) tinggi tentu dihindari. Namun, tidak semua pengusaha sektor komoditas itu buruk. Masih terdapat debitur sektor komoditas yang memiliki kepatuhan dan manajemen finansial yang baik. Perbankan seharusnya tidak perlu terlalu paranoid menyalurkan kredit kepada pengusaha terkait sektor komoditas.
Baca juga: Arah Kebijakan Makroprudensial
Hemat penulis bahwa resesi ekonomi global, terutama pandemi Covid-19, menjadi ”seleksi alam” dalam menguji daya tahan korporasi. Yang mampu bertahan (survive) diyakini telah lulus uji.
Harga batubara dan CPO juga telah membaik seiring dengan pemulihan sektor manufaktur negara industri maju, seperti China, Jepang, Korsel, dan kawasan Eropa. Pengusaha sektor komoditas tentu mendapat keuntungan besar (windfall effect) pada saat harga komoditas meningkat drastis meski gejala booming ekonomi sektor komoditas juga sebaiknya disikapi dengan bijaksana agar tidak sampai melenakan.
Santo Rizal Samuelson, Ekonom; Analis Ekonomi dan Keuangan; Pemerhati Ekonomi dan Politik Indonesia; Saat ini bekerja sebagai Finance and Economy Analyst di PT Graha Prima Energy .