Dalam mewujudkan tata kelola karbon biru yang lebih terukur, berkeadilan, dan inklusif, salah satu hal yang harus dipersiapkan adalah menempatkan ekosistem penyedia karbon biru sebagai ekosistem yang inklusif.
Oleh
YONVITNER
·5 menit baca
Hiruk pikuk isu climate change di sektor kelautan yang kemudian menyeret ekosistem mangrove sebagai aktor terdepan penyelamat dan penyerapan emisi karbon di udara. Pembahasan yang panjang diamini dengan semjumlah data yang ditunjukkan bahwa mangrove mampu menyerap karbon untuk kemudian disimpan dalam daun, batang, akar, dan sedimen tempat hidup.
Kedigdayaan mangrove kemudian makin menguat sebagai ekosistem yang multitasking. Selain penyerap karbon, mangrove juga mampu menopang kehidupan ikan dengan daya dukung mencapai 1,03 ton per hektar dengan serasah daun yang jatuh ke substrate. Kemampuan menahan laju gelombang kemudian menobatkan mangrove sebagai ekosistem berfungsi dalam mitigasi bencana di pesisir. Belum lagi efek ekonomi lainya yang muncul karena fungsi ekonomi wisata mangrove.
Mangrove yang multitasking ini melahirkan perhatian yang sangat besar sehingga perlu dibentuk lembaga restorasi gambut yang disisipi mangrove (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove/BRGM). Fakta ini menunjukkan bahwa penajaman pengetahuan terhadap fungsi ekosistem mangrove makin mendalam ketika dilakukan pendekatan berbasis sains (evidence) oleh semua pihak. Isu karbon yang kemudian menjadi sentral dalam konteks perubahan iklim kemudian melahirkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ekonomi Karbon untuk Mencapai Target NDC dan Pengendalian Emisi Karbon dalam Pembangunan Nasional.
Menyikapi fakta seperti ini kemudian semua pihak berlomba untuk mendermakan waktu, pemikiran untuk mengawal karbon biru. Semangat tinggi yang kemudian cenderung menjadi jalan pintas muncul sebagai permasalah baru akibat lambatnya pemerintah merespons gerakan di bawah dan tuntutan di atas sehingga muncul pelbagai persoalan terkait mangrove, seperti illegal trading (perdagangan ilegal), partial assessment (penilaian parsial) kontribusi, overlapping (tumpang tindih)klaim, dan privatisasi kawasan.
Isu perdagangan ilegal karbon biru mencuat setelah ada klaim bahwa pengendalian dan penyelamatan ekosistem ini menjadi proses kerja sama dengan pihak lain terkait pendanaan. Skema pembiayaan rehabilitasi, rekonstruksi, dan perlindungan dalam wilayah daerah perlindungan lokal tetap menjadi pengawalan nasional. Tidak boleh ada pihak yang kemudian merasa berjasa, dan memiliki atas ekosistem dan menjualnya dalam bentuk kontribusi kepada pihak lain. Pemikiran ini perlu diluruskan agar tidak kemudian terjadi personal klaim terhadap ekosistem mangrove.
Penilaian parsial kontribusi juga menjadi isu hanya seputar karbon biru mangrove. Sejumlah pihak yang mengawal tata kelola mangrove secara luas dapat saja menggunakan pendekatan yang berbeda. Akibatnya muncul perbedaan nilai yang dihasilkan dari metodologi penilaianyang berbeda dalam kawasan yang hampir sama.
Selain itu keutuhan komponen analisis, ketajaman, dan teknik menghasilkan estimasi yang berbeda. Tanpa ada unsur kesengajaan, tetapi pedoman tata penilaian yang belum terstandar menghasilkan perbedaan hasil asesmen karbon kontribusi dari para pihak.
Isu lainya yang mencuat juga adalahtumpang tindihklaim. Hal ini dapat terjadi karena ada tumpang tindih aksi pada suatu wilayah konservasi. Pada awalnya mungkin diterjemahkan sebagai sebuah aksi charity pada kawasan yang kritis atau mengalami degradasi.
Namun, ketika muncul isu kontribusi karbon, aksi sukarela berubah menjadi sikap klaim secara bersamaan pada lokasi yang sama.
Namun, ketika muncul isu kontribusi karbon, aksi sukarela berubah menjadi sikap klaim secara bersamaan pada lokasi yang sama. Akibatnya muncul aksi overlapping dan double klaim aksi rehabilitasi oleh pihak yang berbeda. Aksi double klaim ini dapat mencuat menjadi persoalan besar ketika ekosistem berkembang bagus, baik itu karena pengawalan masyarakat ataupun pihak yang melakukan rehabilitasi.
Jalan pintas keempat yang kemudian dapat terjadi adalah munculnya sikap akupasi kawasan yang diklaim sebagai kontribusi institusi dan personal. Ketika ada tuntutan proper yang mengintegrasikan kontribusi dalam karbon biru untuk penuruan emisi, semua pihak me-recall semua investasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) menjadi kontribusi untuk penurunan emisi.
Sikap lain yang kemudian muncul adalah keinginan untuk menjadikan kawasan yang sudah dalam pengelolaan pemerintah menjadi pengelolaan pribadi (private area conservation). Dalih sustainability financing dan keinginan menjadi institusi yang proper dengan isu climate change menjadi pendorong perubahan sikap privatisasi milik publik (baca: area konservasi).
Tata kelola
Dalam mewujudkan tata kelola karbon biru yang lebih terukur, berkeadilan, dan inklusif, ada beberapa hal penting yang harus dipersiapkan. Pertama, sosialisasi Perpres No 98 secara utuh ke semua lapisan dan penguatan kebijakan sektor terutama kelautan. Kedua, menyiapkan metodologi penilaian yang standar untuk karbon biru yang mencakup mangrove, lamun, dan ekosistem lainya.
Ketiga, menyusun dan menetapkan baseline baik partisipasi, kontribusi, maupun evaluasi dari sejumlah pihak terkait. Keempat, menempatkan ekosistem penyedia karbon biru sebagai ekosistem yang inklusif bukan eksklusif.
Sosialisasi Perpres No 98 terasa agak lambat, terutama dalam sektor terkait kelautan dan perikanan. Edukasi pada level lembaga pendidikan, pusat riset, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak lainya harus dilakukan. Dengan demikian tidak muncul sikap yang multitafsir terhadap pelbagai terminologi kebijakan, aksi kebijakan, dan strategi implementasi kebijakan.
Sosialisasi Perpres No 98 terasa agak lambat, terutama dalam sektor terkait kelautan dan perikanan.
Belum lagi sosialisasi pada level pemerintah daerah yang akan menjadi basis spasial penilaian ekonomi karbon daerah, akan memerlukan effort lebih besar lagi. Sosialisasi menjadi kunci untuk keberhasilan implementasi Perpres No 98 agar tidak gagal dalam implementasinya.
Sosialisasi juga harus mencakup metodologi penilaian yang standar baik untuk karbon berbasis mangrove, karbon seagrass, karbon rumput laut, ataupun karbon dari spesies lainya. Asesmen terhadap potensi cadangan pokok (baseline), penambahan (kontribusi), dan pengurangan (mitigasi) harus berbasis metodologi yang lebih umum dengan sejumlah tingkatnya sehingga dapat disiapkan dan diterima hasil penilaian terhadap ekosistem yang dinilai.
Keempat, yang perlu dikelola juga adalah standar karbon emisi dari setiap jenis usaha dan aktivitas penyumbang karbon. Penetapan jenis kegiatan yang berkontribusi karbon menjadi tugas rumah sendiri. Setelah itu baru penetapan batas ambang emisi karbon yang menjadi baseline sehingga batas ambang ini kemudian ditetapkan sebagai pertek emisi karbon. Langkah ini diperlukan untuk memastikan besaran penambahan pelepasan karbon dari setiap usaha.
Langkah selanjutnya adalah memperkuat partisipasi dan peran masyarakat dalam pengurangan emisi karbon. Kontribusi masyarakat dalam berbagai aksi rehabilitasi, restorasi, monitoring, dan reparasi serta evaluasi harus ditempatkan sebagai garda terdepan tata kelola.
Selain sebagai pihak terdampak perubahan iklim, masyarakat jugalah yang seharusnya menjadi penerima kompensasi dari upaya rehabilitasi dan mitigasi. Sikap privatisasi kemudian akan mematikan peran masyarakat, mengurangi kesempatan perbaikan ekonomi masyarakat, serta hilangnya hal inklusif karbon biru.
Dalam konteks ini, karbon inklusif menjadi garis merah dalam mempertahan ekosistem dalam ranah pengelolaan publik yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Karbon inklusif adalah bagian dari penguatan masyarakat secara knowledge, ekologi, dan ekonomi dalam jangka panjang.
Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University.