Radikalisme di Institusi Pendidikan
Meski kebebasan telah diperluas di banyak bidang, termasuk media massa, sikap intoleran dan radikalisme tetap menjadi masalah di Indonesia. Institusi pendidikan yang semestinya steril kini rentan terpapar radikalisme.
Paham radikalisme tak hanya menyusup di kalangan kelompok garis keras, tetapi juga telah masuk ke sejumlah sekolah dan kampus.
Institusi pendidikan yang semestinya steril dari pengaruh radikalisme kini makin rentan terpapar karena berbagai penyebab. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (2018) menyatakan setidaknya ada tujuh kampus terpapar radikalisme. Setara Institute di tahun 2019 bahkan menyatakan ada 10 kampus di sejumlah kota di Indonesia yang telah disusupi paham radikal.
Mahasiswa yang seharusnya bersikap kritis dan tak mudah masuk perangkap gerakan radikal teperdaya. Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) sejak 2015 telah menangkap paling tidak 24 mahasiswa dari berbagai kampus yang terindikasi terlibat gerakan radikal. Peran mereka bermacam-macam, mulai dari terlibat pendanaan gerakan radikal, pengelola media sosial, hingga terlibat langsung gerakan amaliyah.
Data BNPT dan Setara Institute membuktikan, penyusupan paham radikalisme ke kehidupan sekolah dan kampus bukan sekadar isapan jempol. Sebelumnya, sejumlah studi juga melaporkan, pengaruh paham radikalisme tak hanya menyusup ke masjid, para dosen, guru dan aparatur birokrasi pemerintah, tetapi juga berbagai sekolah menengah dan kampus (Turmudi, 2004; Qodir, 2014; PPIM UIN Jakarta, 2018).
Data BNPT dan Setara Institute membuktikan, penyusupan paham radikalisme ke kehidupan sekolah dan kampus bukan sekadar isapan jempol.
Karakteristik umat Islam di Indonesia yang sebelumnya dikenal moderat, ramah, toleran, dan terbuka kini berubah menjadi konservatif, pemarah, tertutup, dan intoleran (Fealy, 2006; Hadiz, 2008; Bruinessen, 2011; Kikue, 2014), tak terkecuali di kalangan mahasiswa.
Survei Alvara Research Center (2017) melaporkan 17,8 persen mahasiswa mendukung pendirian khilafah sebagaimana diusung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Mahasiswa yang notabene anak-anak muda modern yang rasional dan kritis kini justru menjadi sasaran dan target utama pengaruh sikap intoleransi dan paham radikal yang terus mengembangkan diri di Indonesia.
Baca juga: Resonansi Pendidikan Nasionalisme dan Pudarnya Ligatur Sosial
Tak steril
Diakui atau tidak, salah satu masalah yang menantang pengembangan kehidupan berdemokrasi di Indonesia sejak 2000-an adalah meningkatnya sikap intoleransi agama dan diskriminatif di masyarakat sipil (Hamayotsu, 2013; Mietzner, 2018). Meski kebebasan telah diperluas di banyak bidang, termasuk media massa, sikap intoleran dan radikalisme tetap menjadi masalah di Indonesia.
Menurut Hamayotsu (2013), dua faktor berkontribusi terhadap meningkatnya pengaruh kelompok garis keras atau gerakan radikalisme agama dan intoleransi agama.
Pertama, akses garis keras tak hanya meluas ke media baru, tetapi yang lebih penting, cara tradisional dan lembaga untuk mobilisasi agama dan politik, termasuk aparatur negara, untuk menumbuhkan sentimen dan sikap antagonis terhadap apa yang mereka anggap musuh Islam dalam komunitas Muslim sambil menyebarluaskannya interpretasi sempit dan dogmatis tentang Islam.
Kedua, munculnya politisi Muslim konservatif yang siap dan bersemangat merangkul media baru dan teknologi komunikasi sambil menggunakan kantor negara dan hak prerogatif untuk memajukan visi dan agenda keagamaan konservatif.
Duile & Bens (2017) menyatakan, halangan utama dalam praktik demokrasi di Indonesia tak berasal dari masalah-masalah institusional, tetapi muncul dari diskursus politik yang berkuasa dan memaksakan konsensus yang luas dan harmonis dalam sebagian besar isu-isu politik.
Diskursus politik di Indonesia terstruktur secara umum di sekeliling ”Islam” dan ”masyarakat”. Tema-tema ini memberikan basis konsensus politik yang menutupi kontradiksi ekonomi dan sosial dan mengungkapkan depolitisasi dalam praktik demokrasi.
Seperti diketahui, Indonesia negara dengan agama beragam, tetapi memiliki penganut Muslim terbanyak di dunia. Agama dan kepercayaan memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan merupakan bagian dari identitas individu dan identitas bangsa (Colbran, 2010). Toleransi beragama, transformasi demokratis, dan penggalakan hak asasi manusia adalah nilai yang telah dikembangkan dan menjadi kebanggaan sendiri bagi Indonesia.
Walau demikian, masih banyak rakyat Indonesia yang menghadapi diskriminasi beragama. Negara dinilai gagal dalam melindungi rakyatnya dari tindakan intoleransi beragama dan kekerasan.
Baca juga: Keluarga dan Sekolah Harus Berkolaborasi Tangkal Radikalisme
Lembaga pendidikan yang seharusnya steril ternyata tidak luput dari pengaruh ideologi dan gerakan yang berlawanan dengan semangat demokrasi. Studi Moulin (2011) di kalangan siswa SMA menemukan tak sedikit siswa yang ingin tetap menjaga kerahasiaan identitas agama mereka di sekolah karena takut jadi korban intoleransi. Ini menimbulkan dilema etika bagi para praktisi dan batu sandungan utama untuk strategi pengajaran yang mengasumsikan siswa dapat berbagi pengalaman dan pandangan agama mereka sendiri dalam pelajaran.
Di sekolah yang khusus, seperti sekolah keagamaan yang homogen, toleransi terhadap kelompok yang berbeda lebih sulit terbangun.
Membangun toleransi
Studi yang dilakukan penulis (2019) di 12 sekolah di Jawa Timur menemukan adanya perkembangan benih-benih sikap intoleransi di kalangan pelajar dan munculnya tindakan persekusi terhadap pelajar lain. Siswa sebagian mulai terbiasa menarik jarak sosial dengan siswa lain yang dianggap berbeda, baik dari segi agama maupun ras. Ketika intensitas perjumpaan sosial antar siswa yang berbeda makin jarang, kemungkinan munculnya syak wasangka yang berujung pada sikap intoleran jadi lebih terbuka.
Sebagian guru, terutama guru agama, justru sering mengajarkan sikap intoleran atas nama keteguhan akan keyakinan.
Studi yang dilakukan penulis di lima kota/kabupaten di Jawa Timur ini menemukan, cukup banyak siswa yang enggan atau merasa tak perlu memberi ucapan Selamat Merayakan Hari Natal kepada teman umat Nasrani karena dianggap melanggar akidah. Lingkungan pergaulan, proses sosialisasi dan habitus yang menjadi tempat siswa tumbuh-kembang umumnya mendukung perkembangan sikap intoleransi di kalangan sebagian siswa.
Tak hanya sosialisasi orangtua, penjelasan guru agama di sekolah juga sering kali mendorong siswa mengambil jarak dengan kelompok yang berbeda (the olther), terutama ketika mereka harus memilih memberi ucapan Selamat Hari Natal atau tidak.
Peran guru sebetulnya sangat strategis dalam mendorong pertumbuhan sikap toleransi antar siswa. Seperti dikatakan Raihani (2011), kualitas pengajaran tak hanya berupa kemampuan teknikal dan pedagogik, tetapi juga pada pengembangan nilai yang sepenuh hati akan penghargaan bagi keunikan dan kebutuhan setiap murid.
Guru-guru berkualitas tinggi adalah yang mampu menciptakan budaya yang suportif bagi anak untuk hidup dalam kebersamaan, yaitu dengan secara sengaja dan eksplisit bertindak sesuai ritual, norma, dan standar yang konsisten dengan pendidikan toleransi. Sayangnya, di Indonesia, sebagian guru ternyata tak bertindak ideal seperti yang dikatakan Raihani. Sebagian guru, terutama guru agama, justru sering mengajarkan sikap intoleran atas nama keteguhan akan keyakinan.
Tentu tak semua siswa selalu mengembangkan sikap dan tindakan intoleran. Ada banyak faktor yang memengaruhi perkembangan sikap intoleran di kalangan siswa. Studi Nilan, Demartoto, & Wibowo (2011) di Solo, misalnya, menemukan bahwa siswa yang sejak jenjang pendidikan SMP sudah sering bertengkar dengan teman sebayanya atau bertengkar dengan anak dari sekolah lain cenderung akan melanjutkan pertengkaran setelah masa SMP pada ranah pekerjaan atau pada masa SMA.
Namun, cukup banyak siswa yang mengaku lebih memilih berdiam diri tatkala melihat ada teman mereka dipersekusi dengan alasan tidak mau mencari perkara.
Apakah siswa yang sejak SMP bersikap intoleran, ketika memasuki jenjang SMA akan tetap bersikap intoleran, tentu bergantung pada faktor sosiokultural yang memengaruhi. Kalangan siswa yang biasa-biasa saja, umumnya bersikap positif, dan menyatakan akan membela jika ada temannya yang di-bully atau dipersekusi karena perbedaan mereka.
Pada tataran konstruksi, sebagian besar siswa sebetulnya sudah menyadari bahwa keberagaman dan toleransi adalah prasyarat dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang memang pluralistik. Namun, cukup banyak siswa yang mengaku lebih memilih berdiam diri tatkala melihat ada teman mereka dipersekusi dengan alasan tidak mau mencari perkara.
Keselamatan diri sendiri dan sikap enggan untuk mencari perkara yang berpotensi merugikan, menyebabkan sebagian besar siswa lebih memilih tidak ikut campur urusan-urusan yang bisa merugikan dirinya. Inilah yang membuat sebagian siswa terlihat gamang.
Studi ini menemukan, di kalangan siswa sering kali muncul sikap ambivalen. Ada kegamangan menyikapi perbedaan dan tindakan intoleran yang terjadi di lingkungan sosialnya.
Ambivalensi ini juga terlihat dalam temuan studi Parker, Hoon & Raihani (2014). Survei terhadap 3.000 murid SMA di lima provinsi di Indonesia: Jakarta, Yogyakarta, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dan Bali menemukan sebagian besar murid memiliki pandangan positif terhadap pertemanan dengan orang-orang dari etnis dan kepercayaan yang berbeda.
Namun, di saat yang sama sebagian besar murid tak setuju dengan pernikahan inter-religi atau antar agama karena mereka menerima bahwa agama mereka melarang hal itu.
Studi Parker et al (2014) menemukan, umumnya siswa di Indonesia tak hanya memiliki pandangan positif, namun juga melakukan praktik bersosialisasi dengan orang-orang antar etnis dan agama dalam kehidupan sehari-hari. Hampir tiga perempat sampel memiliki teman dari agama yang berbeda dan saling mengunjungi rumah.
Sebagian besar anak muda akan memilih untuk mengikuti perayaan agama lain jika mereka diundang. Walaupun banyak siswa yang bersikap positif terhadap perbedaan, tetapi Parker et al (2014) menemukan masih terdapat perasaan bahwa asimilasi dengan kultur dominan tetap diperlukan.
Para siswa di Indonesia sejauh ini umumnya menyetujui hubungan berpacaran dengan orang berbeda agama dan etnis.
Para siswa di Indonesia sejauh ini umumnya menyetujui hubungan berpacaran dengan orang berbeda agama dan etnis. Hampir sepertiga dari responden pernah berpacaran antar agama. Namun, saat ditanya ke murid yang belum pernah memiliki pacar dari agama yang berbeda, apakah mereka akan mempertimbangkannya, 77 persen menjawab tidak, dengan alasan perbedaan agama.
Tak mudah
Mengembangkan sikap toleransi di kalangan siswa harus diakui bukan hal mudah. Perkembangan kondisi politik dan habitus sosial yang keliru sering melahirkan siswa yang sensitif dan mudah mengembangkan perilaku yang intoleran ke sesamanya. Kunci membangun sikap dan perilaku yang toleran adalah bagaimana sosialisasi dan lingkungan sosial mendukung ke arah itu (Johansson, 2008).
Studi Raihani (2014) di Palangkarya, Kalimantan Tengah, menemukan pelajar umumnya telah memiliki modal budaya yang didapat dari keragaman agama dan toleransi dari keluarga dan masyarakat. Ini semua terbukti membantu mereka menciptakan ”budaya toleransi” di sekolah. Guru agama memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman siswa tentang keragaman agama dan toleransi melalui pengajaran yang disengaja tentang beberapa aspek agama lain.
Bagong Suyanto,Dekan FISIP Universitas Airlangga