Pemikiran Islam Inklusif dari Cendekiawan Penjaga Gawang Bangsa
Banyak pikiran terbuka dan moderat Buya Syafii yang menjadi legasi umat dan bangsa. Demi kepentingan bangsa. Buya Syafii tak segan mengkritik pemerintah dan juga umat Islam yang terlalu mementingkan kelompoknya.
Dipanggilnya Buya Ahmad Syafii Maarif ke hadirat Tuhan meninggalkan kesan dan kenangan mendalam bagi anak kandung umat dan bangsa. Bukan sekadar cerita sosok cendekiawan Muslim inklusif dan moderat, beliau juga sosok pemikir yang berani pasang badan menjadi penjaga gawang umat dan kebangsaan. Tanpa menghitung komunitas tertentu yang terkadang mengancam dan menentang ide-idenya, Buya tetap dalam pendirian untuk tampil menjadi pengimbang dan peneduh bangsa.
Dua tahun yang lalu sebelum Buya wafat, saya sebagai Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten saat itu mengirim pesan kepada Buya lewat Whatsapp untuk meminta pencerahan di lembaga yang saya pimpin. Buya meresponsnya dengan respek dan siap menyampaikannya lewat daring. Di luar dugaan karena ada kegiatan lain yang lebih darurat, Buya membatalkan acara dengan kami. Namun sebagai pengganti visualnya, beliau mengirimkan sebuah naskah materi yang sangat visibel dan progresif bagi pengembangan sumber daya manusia bangsa.
Materi itu berisi kesuksesan Swiss dalam memproduksi cokelat. Buya dengan pikiran kritis dan menggelitiknya mempertanyakan kenapa negara-negara Timur Tengah, seperti Mesir, yang usianya lebih dari 500 tahun tidak mampu berbuat seperti Swiss. Dari sisi sumber daya alam, Swiss bukan negara perkebunan dibandingkan Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Namun, kata Buya, mengapa negara kita yang kaya dengan sumber alam dan merupakan negara perkebunan paling subur tak berdaya mendirikan produk sendiri seperti Swiss.
Keunggulan sebuah bangsa terletak pada budaya disiplin, etos kerja, moralitas, dan integritas kejujuran. (Ahmad Syafii Maarif)
Penyebab dari semua keunggulan bangsa, menurut Buya, bukan karena sekadar melimpahnya kekayaan alam dengan luas wilayah dan kuantum penduduknya yang besar. Keunggulan sebuah bangsa, menurut Buya, terletak pada budaya disiplin, etos kerja, moralitas, dan integritas kejujuran. Kekayaan alam melimpah tanpa diiringi sifat kejujuran dan integritas tinggi, kata Buya, hanya akan menjadi benda simbolis yang mudah dipermainkan oleh oknum kaum borjuis demi mengeruk kekayaan buat kepentingannya sendiri.
Pemikiran Buya ini sudah lama berlalu mencermati kondisi sebagian bangsa yang masih bekerja di plataran simbolik dan kosmetik dari pada prestasi dan isi. Bagi bangsa, tidak salah dan berhak berjuang mengejar status, simbolis kedudukan, dan lain lain dengan catatan tidak timpang di tataran implementasinya mengelola negara dan mengurus rakyat. Dalam harian Kompas (10/11/2021): ”Mentereng di Luar, Remuk di Dalam”, Buya menulis bahwa mengelola negara yang baik tidak sebatas memamerkan kosmetika di permukaan bagai memamerkan dan merias barang restoran bagian depannya yang mewah/mentereng. Di belakang dapurnya justru kumuh, remuk, dan berantakan.
Baca juga: Mentereng di Luar, Remuk di Dalam
Kondisi tersebut akan berbanding lurus dengan kosmetika dan irama indahnya para pejabat di permukaan negeri dalam berjanji membangun tegaknya keadilan hukum dan kesejahteraan di depan rakyatnya, tetapi tidak demikian ajek di tataran lapangannya. Masih terdapat kekumuhan di halaman dapurnya. Di sana-sini masih terjadi pelangaran moral dan minusnya integritas pengemban amanah rakyat. Para oknum pejabat dan politisi masih bermental manipulatif dan koruptif dalam memegang amanah rakyat. Sampai hari ini perilaku mengilas aset negara dan aset rakyat lewat jalan korupsi dan penimbunan barang masih tak berdaya dilumpuhkan secara total oleh aparat hukum.
Buya Syafii Maarif memang seorang cendekiawan Muslim subtansialis, tidak berarti menafikan sama sekali simbol-simbol ritual keislaman yang harus dikerjakannya dengan baik dan sempurna. Kritik Buya kepada perilaku yang terlalu mengandalkan simbolisme kepada siapa pun yang melakukannya harus disampaikan secara tegas dan rasional. Semua itu demi suatu perbaikan dan pembaruan. Termasuk kepada komponen pemerintah, Buya sangat keras mengkritik karena mereka masih setengah-setengah melakukan reformasi menuju good governance (pemerintahan yang bersih). Tidak sebatas melucur dari wacana ke wacana simbolik.
Buya tampaknya trauma dengan kegagalan angkatan 1945 dan 1966 yang dielu-elukan sebagai pejuang kebangsaan mendidih. Pada kenyataannya mereka gagal dan terkungkung juga pada irama, jargon, dan laku simbolik pemerintahan Orde Baru yang dikendalikan oleh simbol-simbol gelimang korupsi dan limpahan kemewahan.
Kritik sejenis juga disampaikan Buya kepada kalangan generasi umat Islam yang terburu-buru memperjuangkan doktrin ideologinya dengan menggunakan simbol/jubah kepentingan. Mereka mengklaim jubah sebagai baju kebesaran yang sangat islami sambil mengusung perlunya ideologi negara bercorak/simbolis Islam. Kenyataannya, di balik berjubel jubahnya mereka melakukan provokasi untuk perang dengan membawa pentungan dan pedang. Perilakunya tidak lagi sejalan dengan ideologi keislaman yang diusungnya.
Mencermati kondisi ini, Buya bukan hanya perihatin tetapi juga geram kepada generasi Islam yang terlalu mementingkan kelompoknya. Mereka tidak melihat kepentingan bangsa yang lebih besar yang segala perangkat landasan, wawasan, dan pijakan fundamentalnya hasil legacy kesepakatan para pendiribangsa. Para pendiri bangsa telah berjerih payah mewakili segmen umat dan bangsanya dalam suatu negara kebangsaan demi persatuan dan perdamaian. Dalam terminologi siyasah syar’iyahnya, di kalangan NU, dikenal dengan negara Dar al-Mistaq. Di Muhammadiyah, Buya, menyebutnya dengan Dar al-Ahdi Wa al-Syahadah: negara yang berdiri berdasarkan kesepakatan bangsa Indonesia.
Baca juga: Pesan untuk Muhammadiyah dan NU
Sementara generasi Islam baru, menurut Buya, melakukan kemalasan intelektual tanpa berfikir arif dan dewasa hendak membombardir kesepakatan bangsa itu dalam sebuah ideologi simbolis keagamaan yang konsepnya tidak jelas. Mereka sama sekali mengabaikan beban kompleksitas dan psikologi bangsa yang amat pelural dan heterogen yang rentan kepada perpecahan laten.
Sejatinya sebagai generasi Islam tidak boleh membuang waktu sia-sia. Saatnya di era modern ini membangun energi berpikir kreatif dan baru. Tidak terjebak cara berfikir dangkal dengan mengusung sistem pemerintahan khilafah yang sudah tidak laku di dunia modern (utopis). Belajarlah dari cara ijtihad Rasulullah yang merangkul dan mengayomi bangsa lain untuk bekerja sama membangun negara modern di bawah konstitusi kebangsaan. Melalui siyasah yang arif ini umat tanpa dipaksa dan didiskriminasi banyak yang akhirnya mengikuti ajaran Rasulullah.
Terbuka dan progresif
Pemikiran Buya ini jauh berbeda dengan pemikiran simboliknya yang dianut pada tahun 1979. Dalam bukunya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Buya mengakui di tahun-tahun itu menganut pola pemikiran Muhamad Natsir untuk memperjuangkan negara Islam di Indonesia. Sebagai cendekiawan yang terbuka dan progresif dalam menerima pikiran dan mau banyak belajar dari para pemikir besar, Buya tidak ingin lama terjebak pada dogmatika pikiran fundamental pasifnya ala Masumi dan Maududi itu, terutama setelah belajar Islam dan politik di Chicago dari Prof Fazlur Rahman.
Berbasis pemikiran Fazrur Rahman ini, Buya meyakini Islam historis tanpa melepaskan basis normatifnya sangat sejalan dengan perubahan modern.
Berkat tukar pikiran intensif dan penuh terbuka dengan Fazlur Rahman, Buya mulai mengubah dari cara berpikir fundamental simbolik ke arah berpikir yang lebih radikal, dalam arti berpikir dengan menggunakan nalar tajam. Menurut Leonard Binder dalam bukunya, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, berpikir radikal dimaknai sebagai pemikiran liberal yang mendalam, berakar tajam, dan lending dengan kontekstual perubahan zaman. Keradikalan/ketajamam berpikir Buya itu dibuktikan setelah meraih narasi ilmu komprehensif dan mendalam tentang politik dan agama dari Fazlur Rahman.
Dalam pandangan Fazlur Rahman, Islam harus dibedakan antara Islam normatif dan Islam historis. Islam historis adalah Islam yang kompatibel dengan perubahan di lapangan. Oleh karena itu berbasis pemikiran Fazrur Rahman ini, Buya meyakini Islam historis tanpa melepaskan basis normatifnya sangat sejalan dengan perubahan modern. Dengan kata lain, Islam yang dinamis dan kreatif menciptakan metode baru sesuai dengan perubahan sosial empiris.
Menurut Buya, sumber agung dari kitab suci dan hadis Nabi diekstrak guna memprioritaskan tegaknya keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan di bawah konsitusi kebangsaan dan demokrasi kemanusiaan. Inilah penerapan Islam substansial di suatu negara apa pun tanpa perlu berimajinasi dan beremosi mendirikan negara Islam secara simbolik.
Uraian ini menggambarkan dari pemikiran keislaman Buya yang dahulu sangat fundamentalis menjadi substansialis. Perubahan ini, menurut Karl Manheim dalam bukunya, Ideology of Utopia, merupakan hal wajar bagi sosok intelektual untuk tidak nyaman dalam sebuah kejumudan. Ia harus peka dan lebih reflek melihat sosiologi timpang daripada teraniaya kecerdasannya membiarkan karut-marutnya tatanan sosial tanpa gelombng perubahan ke dinamika dan kemajuan.
Dalam bahasa Thomas Khun, pada karyanya, The Structure of Scientific Revolution, seorang intelektual tidak boleh selamanya terjebak pada paradigma lama yang membelenggu zona keriangan dan kebebasan berkir. Agaknya inilah yang membuat zona kenyamanan berpikir menghinggapi suasana kebatinan Buya seperti tampak dalam pernyataannya berikut ini, ”Titik kisar berlaku sejak sekitar 1979 sampai selanjutnya di usia tuaku. Sudah kututurkan bahwa selama periode Athena tidak banyak yang berubah dalam pola pemikiranku tentang Islam. Baru di Chicago, perubahan mendasar terjadi. Aku merasa sedang mengalami kelahiran kedua dalam pemikiran. Pergumulan dengan kuliah-kuliah Rahman selama empat tahun telah memengaruhi sikap hidupku dengan secara sangat mendasar.”
Baca juga: Cermin Kejernihan, Mengenang Buya Syafii Maarif
Akhirnya apa pun yang telah terjadi pada diri Buya dari sisi intelektualitasnya yang peka dan sangat menohok kritikannya kepada pemerintah dan kritik internalnya kepada sebagian umat Islam, Buya tetap sosok cendekiawan yang arif, bijak, dan optimistis. Kondisi bangsa atau negara apa pun tidak lepas dari krisis terburuk yang membebani hari ini.
Menurut Buya, masih ada harapan besar untuk menggapai kemajuan dan meraih keadaban yang lebih bersinar. Dengan catatan, segenap bangsa tidak setengah-setengah menjaga bangsa dan negara ini dengan damai, kompak, bersatu, berintegritas tinggi, kerja keras, dan jujur.
Buya kini telah meninggalkan kita menghadap kehadirat-Nya. Sungguh banyak pikiran terbuka dan moderatnya yang menjadi legasi umat dan bangsa. Sebuah khazanah pikiran dan pengabdian besar yang tak akan terlupakan di bilik-bilik darah dan kebatinan umat/bangsa. Selamat jalan Buya sang penjaga gawang bangsa. Pengabdianmu telah disambut oleh-Nya dengan bahagia dan tidak sia-sia. Amien.
Fauzul Iman, Guru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Facebook: fauzul.iman.395