Melanjutkan Keteladanan Buya Syafii Maarif
Umur fisik Buya Syafii memang telah berakhir, tetapi pemikiran dan keteladanan Buya harus senantiasa hidup dan berkelanjutan, yaitu nalar kritis, pluralisme kebangsaan, dan kemanusiaan.
Penulis jarang bertemu secara fisik dengan Buya Ahmad Syafii Maarif. Namun, meninggalnya Buya sangat emosional bagi penulis. Penyebabnya sederhana, pada 27 Mei 2022, penulis telah membuat janji dengan Bung Shofan, salah satu aktivis dan pemikir muda Muhammadiyah yang dekat dengan Buya, untuk membuat video tentang pemikiran Buya sebagai ”kado” ulang tahun beliau pada 31 Mei.
Kami berjanji untuk bertemu di kantor Maarif Institute pada pukul 14.00. Tepat pada pukul 10.25 (penulis sudah mau berangkat dari kantor Aida ke kantor Maarif Institute), pesan Whatsapp masuk dari Kang Shofan mengabarkan bahwa Buya meninggal. Innalillahi. Penulis ketenggengan, antara percaya dan tidak, bingung, sedih, tak tahu harus berbuat apa.
Setelah memastikan kabar duka ini ke Bung Zully Qodir (aktivis muda Muhammadiyah lain yang dekat dengan Buya dan tinggal di Yogyakarta), akhirnya rencana pengambilan video ditunda ke lain waktu. Namun, penulis sampaikan kepada Kang Shofan; umur fisik Buya memang telah berakhir, tetapi pemikiran dan keteladanannya tak boleh berakhir.
Baca juga: Warisan Sang Pendekar
Perjumpaan pertama secara fisik antara penulis dengan Buya terjadi sekitar tahun 2006 (awal-awal penulis datang ke Jakarta setelah lulus dari Al-Azhar, Kairo, Mesir). Dalam sebuah paparannya, Buya mengkritik kondisi umat Islam dengan mengutip salah satu ayat Al Quran yang menegaskan bahwa umat Islam meninggalkan Al Quran. Secara lengkap ayat tersebut berbunyi, Berkatalah Rasul (Muhammad SAW); Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tak diacuhkan (Qs Al-Furqan [25]: 30).
Sejak perjumpaan fisik itu, komunikasi penulis dengan Buya terus berlanjut. Buya kerap mengirim pesan yang tak lain tautan (link) tulisan ataupun bahan-bahan pemikiran yang menjadi kegelisahan beliau, khususnya terkait dengan isu keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Bahkan, ketika penulis turut membidani lahirnya sebuah inisiatif sederhana yang memimpikan Indonesia lebih damai melalui kisah korban dan mantan pelaku terorisme bernama Aliansi Indonesia Damai (Aida), Buya berkenan didaulat sebagai pelindung di lembaga ini.
Dalam hemat penulis, ada beberapa hal yang menjadi pemikiran dan keteladanan Buya. Pertama, nalar kritis terkait keislaman. Bagi Buya, Islam dengan dua kitab sucinya, Al Quran dan sunah, penuh dengan nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan, dan kemajuan. Di mana semua nilai-nilai agung yang ada hanya bisa didapat manakala umat Islam memiliki pemikiran kritis. Persoalannya adalah, sebagaimana disampaikan Buya dalam salah satu paparannya, umat Islam acapkali meninggalkan nilai-nilai keagungan Al Quran dan sunah.
Singkat kata, untuk kebaikan, kemajuan, dan kebutuhan umat Islam, Al Quran dan sunah telah menyediakan segalanya. Umat Islam hanya perlu memahami dan mengamalkan nilai-nilai agung yang ada dalam dua kitab suci ini. Inilah yang dahulu pernah dilakukan oleh umat Islam, yakni generasi Salafus Shalih dengan segala kemajuan dan keunggulan mereka.
Dalam konteks seperti ini, menurut penulis, garis pemikiran keislaman Buya bercorak reformis. Di mana solusi umat Islam untuk bisa bangkit dan maju seperti umat yang lain sesungguhnya terdapat dalam Al Quran dan sunah, bahkan sudah pernah dipraktikkan oleh generasi Salafus Shalih. Umat Islam hanya membutuhkan nalar kritis untuk bisa mengungkap nilai-nilai kemajuan Islam yang terkandung dalam Al Quran dan sunah.
Bagi Buya, Islam dengan dua kitab sucinya, Al Quran dan sunah, penuh dengan nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan, dan kemajuan.
Dalam sejarah pemikiran Islam modern, ada kemiripan di antara semangat pemikiran Buya dengan tokoh seperti Gamal Al-Banna yang kesohor dengan gagasan fikih barunya, Rasyid Ridha-Muhammad Abduh dengan tafsir Al-Manar-nya. Di mana tokoh-tokoh ini meyakini bahwa letak persoalan dari keterbelakangan umat Islam karena menjauh dari nilai-nilai Al Quran. Solusinya tak lain adalah kembali kepada nilai-nilai keagungan yang ada dalam kedua kitab suci tersebut.
Menghormati keberagaman
Kedua, NKRI untuk pluralisme kebangsaan. Menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk bangsa yang plural seperti Indonesia menjadi pilihan final pemikiran kenegaraan Buya yang terus dipertahankan hingga akhir hayatnya. Bersama segenap tokoh lintas agama, Buya senantiasa menyuarakan pentingnya semua pihak untuk saling menghormati keberagaman sekaligus mempertahankan NKRI. Walaupun sebelumnya Buya sempat berpandangan tentang pentingnya negara Islam di Indonesia (sebagaimana kerap diakui sendiri oleh Buya dalam banyak kesempatan), mengingat umat Islam merupakan mayoritas di negara ini.
Dalam hemat penulis, perjalanan pemikiran Buya terkait kenegaraan seperti di atas sejatinya dijadikan sebagai model terbaik untuk mengupayakan mereka yang belum menerima NKRI agar menerima pandangan kenegaraan paling realistis ini. Mengingat di satu sisi, tidak sedikit mereka yang berpandangan pentingnya negara Islam di Indonesia, mengingat umat Islam memang mayoritas di negeri ini. Di sisi lain, perubahan pemikiran kenegaraan Buya dari negara Islam ke NKRI menunjukkan bahwa harapan perubahan menuju NKRI senantiasa terbuka lebar di kalangan mereka yang mendukung Indonesia menjadi negara Islam.
Baca juga: Negeri Impian Buya Syafii Maarif
Dari sudut pandang hukum Islam (fikih), bentuk negara NKRI, negara Islam, atau bentuk negara lain sama-sama dimungkinkan. Mengingat Al Quran dan sunah tidak mengharamkan atau mewajibkan bentuk negara tertentu secara eksplisit (manthuqun bihi) dan diterima secara mufakat oleh para ulama. Kalaupun para pendiri bangsa lebih memilih NKRI daripada negara Islam atau bentuk negara lainnya bukan karena hal ini dipahami sebagai perkara wajib laiknya shalat dan ibadah lainnya. Pun demikian, kalaupun pendiri bangsa tidak memilih negara Islam atau bentuk negara lain (di luar NKRI) sebagai bentuk Indonesia mereka bukan karena bentuk-bentuk negara tersebut dipahami sebagai perkara haram laiknya minuman keras atau bangkai.
NKRI lebih dipilih oleh para pendiri bangsa karena alasan lebih banyak maslahatnya (kebaikan, yaitu persatuan) daripada mafsadatnya (keburukan, yaitu perpecahan). Inilah yang penulis maksud di atas bahwa NKRI adalah pilihan yang paling realistis. Ini pula lebih kurang yang membuat tokoh-tokoh Islam akhirnya menerima usulan pembuangan tujuh kata dalam UUD 1945 yang sempat disahkan pada 14 Juli (Solahudin, NII Sampai JI: 2011; 57).
Oleh karena itu, perubahan pemikiran kenegaraan Buya dari negara Islam ke NKRI adalah keberpihakan terhadap kemaslahatan, persatuan, dan pluralisme kebangsaan. Perubahan pemikiran Buya ini sejatinya juga memberikan harapan nyata bagi para elite bangsa untuk bekerja lebih keras agar NKRI diterima oleh mereka yang belum menerimanya. Upaya-upaya yang ada sejatinya dilakukan melalui dialog daripada hal-hal yang bersifat kekerasan, mengingat hal ini terkait dengan keyakinan bahkan bercorak keagamaan.
Ketiga, kemanusiaan dan kebersamaan. Buya senantiasa menekankan pentingnya berpegangan kepada nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan. Kemanusiaan adalah nilai universal yang melekat pada setiap orang, apa pun agama, keyakinan, suku, dan warna kulitnya. Sementara kebersamaan adalah hubungan atau relasi yang sejatinya dibangun oleh setiap orang dengan orang lain, antara satu bangsa dan bangsa lain, antara satu agama dan agama lain dan seterusnya.
Inilah lebih kurang yang sering disebut oleh Buya sebagai sikap batin yang tulus dan murni. Hingga selalu ada penghormatan yang setara terhadap umat manusia. Selalu ada pemuliaan yang sama terhadap mereka yang berbeda sekalipun.
Dengan sikap batin yang tulus dan murni seperti di atas, Buya tak pernah canggung berhubungan baik dengan pihak mana pun, baik dari kalangan elite penguasa maupun rakyat jelata, baik dari kalangan yang satu agama maupun berbeda agama, termasuk dengan kalangan muda yang berbeda jauh secara umur. Sebagai contoh, walaupun merupakan tokoh Muhammadiyah, beliau tidak merasa canggung untuk memuji tokoh-tokoh muda NU seperti Ulil Ashar Abdallah dan Zuhairi Misrawi yang sekarang menjadi duta besar kesohor itu. Buya sesekali juga menghubungi penulis.
Keempat, praktik pemikiran. Inilah hal paling langka dari Buya. Banyak konsep pemikiran yang lahir dari banyak pemikir di dunia. Tetapi sangat sedikit bahkan cenderung langka pemikiran-pemikiran agung yang dijalankan sendiri oleh tokoh yang bersangkutan. Buya adalah termasuk di antara tokoh yang langka ini.
Baca juga: Ahmad Syafii Maarif
Ketika menyuarakan pentingnya nalar keislaman yang bersifat kritis, Buya membumikannya dalam karya-karyanya. Pun demikian dengan pluralisme, Buya senantiasa mewujudkannya dalam menghadapi persoalan-persoalan kebangsaan, khususnya terkait dengan hak-hak kaum minoritas. Sementara dalam konteks kemanusiaan dan kebersamaan, Buya senantiasa mencontohkannya dalam bentuk sikap-sikap kesehariannya, seperti kesederhanaan, menghormati mereka yang berbeda, menyayangi rakyat biasa, dan seterusnya.
Kini umur fisik Buya telah berakhir per 27 Mei 2022, tubuhnya terkubur di Kulon Progo. Namun, pemikiran dan keteladanan Buya harus senantiasa hidup dan berkelanjutan. Mengingat pemikiran dan keteladanan beliau tak lain adalah nalar kritis, pluralisme kebangsaan, dan kemanusiaan.
Nalar kritis adalah dimensi eksistensial seseorang. Pluralisme adalah urat nadi keindonesiaan. Sementara kemanusiaan adalah nurani kehidupan. Semua ini harus terus berkelanjutan. Inilah pemikiran juga keteladanan dari Buya Ahmad Syafii Maarif. Selamat jalan Buya. Terima kasih atas semua pencerahan dan keteladananmu.
Hasibullah Satrawi, Warga NU; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Ketua Pengurus Aliansi Indonesia Damai (AIDA)