Kegaiban yang Menggoda Keimanan
Bahkan tak hanya itu, mereka juga mendatangi situs-situs atau tempat-tempat yang dianggap sakral dan angker. Secara sengaja mereka melakukan kesurupan di sana.
Tepat di depan pelinggih Ratu Niang di kompleks Pura Melanting, Pulaki, Buleleng, Bali, seorang gadis berdiri. Bangunan suci yang letaknya di sayap kanan area persembahyangan itu, pada Sabtu pekan lalu, tidak seramai biasanya. Nourma, begitulah ia dipanggil, tampak rileks saja menyaksikan pemandangan di hadapannya. Seorang ibu bertubuh gempal tiba-tiba menari dengan lembut. Lalu terdengar suara-suara, ”ngiring ngaturang ngayah ring Ratu Niang...”. Marilah kita menari untuk menunjukkan rasa bakti ke hadapan Ratu Niang.
Spontan beberapa perempuan berdiri dan menari. Ketika para perempuan mulai larut dalam irama, seorang lelaki yang sejak tadi memegang erat beberapa benda pusaka, mungkin berupa keris, mulai menangis, seperti ada beban yang begitu berat menghantam tubuhnya. Tangannya menunjuk ke arah pelinggih atau bangunan suci Ratu Niang. Aku menduga ia sedang (ingin) menunjukkan kegaiban yang hadir siang itu, terutama yang memancar dari benda pusaka di tangannya.
Entah apa yang ada dalam pikirannya, tiba-tiba ia memanggil Nourma. Perempuan yang tampak asing dengan tata cara peribadatan tersebut dengan langkah lunglai bersimpuh di hadapan lelaki berkeris itu. Pelan si lelaki mengulurkan tangannya dan menyentuh ubun-ubun Nourma. Dalam sekejap, perempuan bertubuh kurus itu meradang. Ia berteriak-teriak dalam bahasa Indonesia, yang mudah dipahami.
Baca juga: Mengatasi Gangguan Kesehatan Jiwa pada Dewasa Muda
Aku ingat antara lain ia mengatakan, ”Tidak. Tidak. Aku tidak mau pergi. Aku mau dia....” Selebihnya ia meraung. Bahkan, sesekali kakinya menendang orang-orang yang memeganginya. Dua orang, barangkali orang yang dianggap memiliki ilmu kebatinan tinggi, mencoba mengerahkan mantra-mantra. Namun, Nourma tetap meradang. Aku berpikir, kasihan dia. Tak lama kemudian, seseorang lelaki lain yang bertubuh lebih gempal dari perempuan penari tadi muncul dalam lingkaran. Ia bersiap merapal doa.
Oh, alangkah kagetnya aku. Lelaki itu merapal doa-doa dalam agama berbeda dari tata cara peribadatan di Pura Melanting hari ini. Sungguh ini di luar kelaziman. Tetapi entah mengapa, Nourma tiba-tiba lunglai setelah lelaki tadi memegang kepalanya sambil terus mengucapkan doa. Ia tampak letih sekali. Beberapa lelaki dengan sigap menggotongnya ke balai-balai di belakang halaman area peribadatan.
Dengan penuh keingintahuan aku coba bertanya kepada seseorang yang tadi turut membantu Nourma.
”Mengapa mengucapkan doa yang berbeda?” kataku penasaran.
”Oh, dia memang penganut agama lain,” kata orang itu.
”Mengapa dia turut dalam rombongan bersembahyang di Ratu Niang?” kataku lagi.
Pelan-pelan orang itu mengatakan bahwa Nourma berasal dari Jawa. Selama ini jiwanya seperti kosong dan sakit-sakitan. Suatu hari, katanya, dia bermimpi didatangi seorang tua dan memintanya untuk bersembahyang di Pura Melanting, Buleleng, Bali. Sebelum mengetahui di mana letak Pura Melanting, Nourma mencoba mencari penyembuhan kepada beberapa orang di Bali. Bertemulah ia dengan satu kelompok spiritual yang kemudian mengantarkannya ke Pura Melanting.
Sejak itu, katanya, Nourma mudah kerasukan. Ia sering meraung-raung, bahkan kerap menelajangi dirinya sendiri dan berlari-lari di halaman. Orang Bali mengidentifikasi ini sebagai bebainan, suatu kondisi di mana seseorang kemasukan roh atau spirit yang membuatnya sakit. Bahkan, bebainan dihubung-hubungkan dengan serangan mental yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan menggunakan kuasa kegelapan. Biasanya secara populer disebut dengan guna-guna atau menggunai-gunai karena sakit hati.
Aku punya beberapa teman perempuan di masa remaja dulu, yang mengalami kondisi serupa. Bahkan, salah seorang di antaranya menjadi gila sampai hari ini. Biar kusebut saja namanya, Rose. Ia teman sekolah di SMP hingga SMA. Kedua orangtuanya adalah guru yang cukup dikenal di kota kami. Sebelum benar-benar menyelesaikan pendidikannya di sebuah sekolah pendidikan keperawatan di Denpasar, Rose dipinang oleh seorang lelaki yang telah beristri. Kalau tidak salah, ia akan dijadikan istri ketiga.
Mendengar kisah itu, kedua orangtuanya mulai meradang. Rose dipanggil pulang kampung ke negara, tetapi ia memilih kawin lari. Banyak yang menduga Rose telah diguna-gunai oleh lelaki beristri dua tadi. Singkat cerita, karena orangtuanya tidak setuju dengan pernikahan itu, maka dengan segala cara Rose dan ”suami” yang belum sah itu dipisahkan. Bukan tidak mungkin orangtua Rose mencari obat penawar guna-guna ke dukun. Sayangnya, Rose kacau. Ia sering menjerit-jerit seorang diri dan menanggalkan seluruh pakaiannya, bahkan berlari ke luar rumah.
Lantaran kondisinya dianggap tidak sehat, ”suaminya” mengembalikan Rose kepada orangtuanya. Saat itu, banjar di wilayah orangtua Rose tinggal mulai menyebut Rose sebagai orang gila. Sudah berbagai cara, konon, dilakukan orangtua Rose, termasuk mengirimkan ke RSJ Bangli, tetapi temanku itu tak kunjung membaik. Ia tetap dicap ”gila” sampai sekarang dan dipasung orangtuanya di rumah. Keadaannya sangat menyedihkan, berbalik 360 derajat saat dia tumbuh sebagai remaja cantik di kelasku.
Fenomena bebainan banyak terjadi di Bali, terutama menimpa para perempuan muda. Mereka berada dalam situasi sangat rentan secara sosial dan keluarga. Di sekolah mendapatkan tekanan dari guru dan teman; di rumah dari orangtua dan lingkungan sosial. Kondisi inilah juga yang bisa menjadi jawaban mengapa setiap kali terjadi kesurupan massal pada siswa di sekolah. Bila anak-anak berada dalam kondisi serupa, jika satu anak mengalami kesurupan, maka bisa dengan cepat menjalar kepada anak-anak lainnya.
Lagi-lagi aku pernah menyaksikan hal serupa di halaman Candi Ratu Boko, Yogyakarta. Suatu hari sebuah sekolah mengadakan perkemahan di halaman candi itu. Sore hari, entah di hari ke beberapa, kebetulan aku berkunjung ke area candi. Tanpa kuduga, terdengar sebuah teriakan seorang siswa perempuan. Jeritan itu disertai dengan gedebuk tubuh yang membentur tanah. Tak lebih dari 3 menit, jeritan-jeritan lain terdengar. Bahkan, para perempuan yang sedang ramai-ramai di kamar mandi pun akhirnya menjerit pula. Mereka semuanya mengalami kesurupan.
Barangkali harus mulai kupisahkan pengertian kerauhan (kedatangan) di pura dengan kesurupan atau kerasukan yang bisa terjadi di berbagai tempat dan kesempatan. Kerauhan telah menjadi tradisi para leluhur orang Bali sejak masa lalu. Mereka umumnya, memaknai kerauhan sebagai kehadiran roh para dewa, bhetara, leluhur, atau roh yang telah disucikan. Sering kali kerauhan bahkan diciptakan, maka muncullah istilah ngerauhan, umat secara sengaja mendatangkan Ida Bethara atau leluhur. Prosesi itu dibutuhkan untuk memberi semacam ”legitimasi” terhadap ritual upacara yang telah dilakukan. Prosesi itu juga bukti bahwa selain kekuatan skala (nyata), benar-benar ada kekuatan niskala (spiritual).
Kekuatan niskala itulah yang kemudian sering kali secara populer disebut gaib. Sesuatu yang tidak bisa dilihat secara kasatmata, tetapi bisa dirasakan kehadirannya. Bukankah salah satu sifat Tuhan itu Mahagaib? Bethara atau leluhur itu memang tidak disamakan dengan Tuhan, tetapi percikan roh ketuhanan karena itu ia juga memiliki sifat gaib.
Simak video: Pemudik Pura-pura Kesurupan demi Lolos Penyekatan
Kira-kira dalam lima tahun terakhir, muncul fenomena kerauhan dalam kelompok-kelompok spiritual kecil di Bali. Mereka sering kali melakukan ritual-ritual yang berbeda dengan pedoman peribadatan baku yang telah digariskan oleh majelis umat Hindu. Mereka suka bersembahyang di berbagai pura, tetapi selalu dibarengi dengan aksi kerauhan oleh beberapa pengikutnya. Sayangnya, aksi-aksi kerauhan itu tidak dalam rangka memperdalam kondisi spiritualitas masing-masing, tetapi justru ingin menunjukkan kesaktian dirinya. Bahwa dengan segenap upacara yang sering kali mereka lakukan, maka kesaktian telah hadir menjadi kekuatan spiritual baru.
Bukti terhadap kekuatan itu biasanya disebut ngiring tapak Ida Bethara (menjadi pengikut dari kekuatan Ida Bethara). Di sini, pencarian spiritual manusia terjebak pada kegaiban. Mereka terpesona pada kegaiban Tuhan sehingga ingin menggunakannya sebagai kekuatan penyembuhan, misalnya. Aku melihat kegaiban telah menjadi penggoda paling utama dari iman kebenaran.
Manusia terjebak dalam sirkuit kesaktian, yang dia pikir identik dengan kebenaran.
Secara tanpa sadar, terjadi mistifikasi terhadap kekuatan gaib, yang diidentifikasi sebagai salah satu sifat Tuhan. Lantaran itu, pencarian terhadap kebenaran, yang mengutamakan prilaku mulia di hadapan Tuhan dan semua makhluk, tak akan pernah tercapai. Manusia terjebak dalam sirkuit kesaktian, yang dia pikir identik dengan kebenaran.
Sesungguhnya pembacaan terhadap terminologi kerauhan bisa bergeser menjadi kesurupan pada kelompok-kelompok spiritual tadi. Mereka menggunakan kondisi kesurupan sebagai medium memperoleh kesaktian. Maknanya menjadi berbeda dengan keinginan ngerauhan di tengah sebuah upacara. Pada kasus yang kedua, seperti telah disebut tadi, ngerauhan benar-benar dilandasi oleh keinginan membuktikan keberadaan kekuatan niskala yang ada di sekitar kita.
Kupikir dalam cara mereka melakukan peribadatan, mereka yang mengantarkan Noerma pergi ke Pura Melanting, termasuk dalam kategori kelompok spiritual yang suka kesurupan di pura-pura. Entahlah, apakah perilaku mereka bisa dikategorisasi sebagai kelompok yang memiliki kesenjangan spiritual setelah seluruh kebutuhan ekonominya tercukupi. Yang jelas, kelompok semacam ini semakin sering dan suka bersembahyang ke pura-pura di berbagai pelosok. Bahkan, tak hanya itu, mereka juga mendatangi situs-situs atau tempat-tempat yang dianggap sakral dan angker. Secara sengaja mereka melakukan kesurupan di sana.
Baca juga: Depresi Meningkat, Kesadaran Kesehatan Jiwa Masih Minim
Ilmu psikologi atau psikiatri melihat kelompok ini sebagai kelompok yang rentan terhadap prilaku “menyimpang”. Mereka adalah orang-orang “baru” memiliki kesadaran spiritual setelah aspek kebutuhan ekonominya terpenuhi. Padahal ketika mereka mulai suka bersembahyang, mereka telah menumpuk segala persoalan sosial sebelumnya. Oleh sebab itu peneliti psikologi LK Suryani menyebut mereka adalah kelompok yang tertekan secara sosial, baik dalam keluarga maupun banjar.
Psikologi melihat kondisi ini adalah kondisi kelainan mental dan bukan oleh suatu sebab yang religius. Jadi sebenarnya kerasukan dalam perjalanan bersembayang para kelompok spiritual baru itu, dalam skala tertentu sama dengan kesurupan anak-anak sekolah secara massal. Hanya bungkusnya yang berbeda, bukan?
Nourma adalah korban dari prilaku kelompok spiritual baru. Dia tidak akan tersembuhkan oleh laku peribadatan, tetapi penanganan secara medis yang intensif, termasuk mengirimnya kepada ahli kesehatan jiwa.