Badut Viral dan "Attention Economy"
Dalam konteks bisnis, lebih baik bisa berarti produk yang lebih berkualitas, layanan prima, kemasan yang lebih kuat melindungi produk, pengiriman tepat waktu atau lebih cepat, dan sebagainya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F19%2Fd0f8128b-5786-4dbc-a917-1fb0b2d8591c_jpg.jpg)
Badut jalanan pulang di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (19/4/2021).
Baru-baru ini dua bocah cilik berusia 11 dan 13 tahun viral di media sosial. Dua anak perempuan ini mencari tambahan uang dengan menjadi badut di sebuah perempatan ramai di Jakarta. Menjadi badut belakangan ini memang menjadi salah satu "profesi" untuk memperoleh uang dari pengendara mobil dan motor saat berhenti di lampu merah. Tapi mengapa hanya dua bocah ini yang viral padahal mungkin ada puluhan bahkan ratusan badut di Jakarta?
Usut punya usut ternyata ketika kedua anak perempuan ini membuka topeng badutnya, ada yang merekam wajah mereka dan para netizen menganggap wajah mereka cantik. Wajah itulah yang menarik perhatian publik sehingga menjadi viral. Wajah cantik sesungguhnya hanyalah salah satu faktor yang menarik perhatian orang.
Faktor-faktor lain, misalnya, cara berpakaian, cara berbicara, bentuk tubuh dan potongan rambut. Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, dua penulis buku perilaku organisasi ternama, menyebutnya salient stimuli, yaitu faktor-faktor yang mampu menarik perhatian orang. Salient stimuli ini belum tentu dengan sengaja ditampilkan oleh yang punya stimulus; kedua bocah ini bahkan tak menyadari kalau mereka memilikinya.
Artinya, yang menentukan suatu stimulus itu salient, menarik perhatian, atau tidak adalah, orang lain. Banyak orang berusaha kuat menampilkan stimulus agar menarik perhatian namun tak berhasil. Sementara banyak orang yang berpenampilan apa adanya justru berhasil. Masih kata Kreitner dan Kinicki, stimulus dapat menjadi salient bila tersimpan kuat di ingatan (memori) kita.

Herbert Simon, seorang pemenang Nobel mengatakan bahwa kapasitas memori otak manusia itu terbatas sementara data dan informasi yang kita terima setiap hari amat banyak sehingga terjadi apa yang kita kenal sebagai bottleneck, dimana tak semua data dan informasi yang kita terima dapat kita simpan di memori kita. Hanya data dan informasi yang istimewa saja yang mungkin tanpa sengaja terekam dan tersimpan di benak kita. Simon bahkan menyebutnya kemiskinan perhatian (poverty of attention) untuk menggambarkan terbatasnya perhatian yang bisa kita berikan.
Tidak seperti kemiskinan yang kita kenal, kemiskinan perhatian bisa menjadi kabar baik karena memiliki nilai ekonomi. Kembali ke kisah dua badut cilik tadi, begitu wajah mereka menjadi salient stimulus dan viral, maka mereka pun memperoleh manfaat. Nama mereka dikenal karena diundang ke berbagai acara televisi dan podcast yang disertai honor yang jumlahnya cukup besar untuk ukuran kehidupan keluarga mereka. Mereka juga acap menerima hadiah dari para netizen.
Saking terkenalnya, mereka kini tak perlu jadi badut lagi. Dengan kata lain, uang mengikuti perhatian (money follows attention), tapi tidak sebaliknya. Karena adanya nilai ekonomis dari sebuah perhatian, maka muncul istilah attention economy. Yang menjadi persoalan, attention economy tak terbagi adil, bahkan cenderung njomplang (attention inequality).
Ada orang atau produk yang memperoleh perhatian yang luar biasa besarnya, namun banyak orang atau produk yang tak memperoleh perhatian sama sekali. Persoalan lainnya, pendulum perhatian ini dapat bergerak cepat dan tiba-tiba tanpa seorang pun tahu kapan dan mengapa. Artinya, ketika seseorang atau suatu produk memperoleh perhatian yang amat besar maka bersiap-siaplah untuk suatu waktu orang atau produk tersebut kehilangan perhatian sama sekali. Itulah yang terjadi pada Norman Kamaru.

Semula Norman anggota Brimob namun karena tenar sinkronisasi bibir (lip sync) menyanyikan lagu India sambil berjoget, dia keluar dari kepolisian untuk berkarir di dunia hiburan. Sayangnya, bandul ketenarannya bergerak cepat. Tak sampai lima tahun setelah viral, namanya hilang bak ditelan bumi.
Di sisi lain, dengan maraknya media sosial, perebutan perhatian semakin menjadi-jadi. Kita semakin dibanjiri data dan informasi yang membuat otak kita lelah. Ya lelah karena kapasitas memori tak bertambah bahkan cenderung berkurang sejalan dengan usia, namun data dan informasi datang bak tsunami. Begitu dahsyatnya sapuan tsunami ini, sampai-sampai rentang perhatian (span of attention) kita pun harus kita bagi-bagi.
Kalau kita nonton tayangan di media sosial, kini rentang perhatian kita mungkin hanya 10-15 menit. Selebihnya kita tak akan tonton lagi kecuali data dan informasi yang kita sajikan benar-benar bernilai. Lalu, seperti apakah stimulus yang memiliki nilai ekonomi itu? Sesungguhnya, kuncinya cuma dua. Yang pertama lebih baik. Wajah kedua badut cilik tadi dianggap cantik yang artinya lebih baik dari rata-rata wajah anak Indonesia.
Dalam konteks bisnis, lebih baik bisa berarti produk yang lebih berkualitas, layanan prima, kemasan yang lebih kuat melindungi produk, pengiriman tepat waktu atau lebih cepat, dan sebagainya. Lebih baik juga bisa berarti lebih murah, baik harga produk maupun ongkos kirim.
Teman kita bilang enak, kalau kita tak bilang enak kok jadi aneh.
Kita lihat bagaimana platform lokapasar berlomba-lomba menawarkan diskon kepada konsumen. Bila patokan lebih baiknya jelas, maka mudah bagi perusahaan untuk mengukur. Sayangnya tak semua terukur karena kualitas acap terkait selera. Misalnya saja bila kita menjual makanan.
Apa ukuran makanan berkualitas? Apakah yang dimasak secara higienis? Apakah yang dibuat dari bahan-bahan yang tak membahayakan kesehatan? Apakah yang enak rasanya? Faktanya tak banyak usaha kuliner yang menawarkan makanan yang dimasak secara higienis dan atau yang dibuat dari bahan-bahan yang tak membahayakan kesehatan itu dibanjiri pembeli. Yang diminati pembeli tentunya yang enak rasanya, tapi apa tolok ukur enak? Tak ada yang tahu.
Faktanya, makanan yang enak meski tak dimasak secara higienis dan atau yang dibuat dari bahan-bahan yang membahayakan kesehatan malah laku. Fakta lainya, rasa bisa bergeser. Makanan yang dulu dianggap enak, sekarang tak lagi diminati. Masih ingat odading yang sempat viral dua tahun lalu? Kini lapak odadingnya sepi peminat. Uniknya, ada makanan yang terasa enak karena ikut-ikutan: teman kita bilang enak, kalau kita tak bilang enak kok jadi aneh.
Kunci kedua adalah berbeda. Nah ini lebih abstrak lagi karena personal atau pribadi. Ada yang mencoba membuat perbedaan secara fisik, misal bentuk, warna, ukuran, kemasan dan sebagainya. Namun ada pula yang membuat perbedaan berbau ilusi. Lho kok ilusi? Ya karena tak ada yang bisa menjelaskan mengapa berbeda. Misalnya saja lagu-lagu almarhum Didi Kempot yang begitu melegenda hingga ia dijuluki The Lord of Broken Heart.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F04%2F10%2F20200410_NAPER_A_web_1586514859_jpg.jpg)
Musisi campursari, Didi Kempot.
Kata orang, lagu-lagunya digemari karena menyuarakan rasa patah hati, padahal banyak sekali lagu tentang patah hati, lalu mengapa lagu-lagu Didi Kempot yang lebih digemari? Bedanya di mana? Tak ada yang bisa menjelaskan dengan gamblang. Ya karena perbedaan juga bisa karena rasa (feeling) yang tak sama dengan rasa makanan (taste). Ketika apa yang kita tawarkan klik dengan perasaan konsumen, maka produk kita bisa laku keras. Salah satu artis papan atas bisa jadi contoh.
Pengikutnya (subscriber) kini melebihi 20 juta. Setiap tayangan videonya ditonton ratusan ribu bahkan juta orang. Seperti apa sih videonya? Secara kualitas mungkin biasa-biasa aja, tapi kontennya itu yang mungkin klik dengan penonton. Perasaan itulah yang acap berbau ilusi: bisa dirasakan tapi tak nyata. Hanya orang-orang tertentu yang bisa merasakan (personal).
Namun perlu kita tahu bahwa perhatian punya sisi gelap. Dengan memperoleh perhatian, kita seolah berada di bawah mikroskop; banyak orang memperhatikan kita. Mereka yang memperhatikan tak semua punya niat baik. Tak jarang mereka menperhatikan karena ingin mengambil keuntungan (mengeksploitasi) atau bahkan ingin menjatuhkan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F05%2F05%2F20190728DRA09_1588655188_jpg.jpg)
Didi Kempot musisi campursari
Mengambil keuntungan di sini bukan win-win solution (sama-sama untung), tapi win-loose atau zero-sum solution dimana kita rugi mereka untung atau kita untung kecil mereka untung jauh lebih besar. Yang lebih parah lagi, mereka memperhatikan kita untuk mencari celah menjatuhkan kita. Maklum, tak semua orang suka kita jadi pusat perhatian karena bisa saja kita dianggap pesaing yang mengambil pangsa pasar mereka. Dengan kata lain, menjadi pusat perhatian jangan membuat kita terlena. Pepatah mengatakan, "Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa."
Artinya, menjadi pusat perhatian malah harus membuat kita waspada. Ingat pepatah lain yang mengatakan, "Tak ada gading yang retak." Jangan sampai retak tadi menjadi sasaran untuk menjatuhkan kita yang berakibat ketenaran kita hanya seumur jagung; keuntungan yang kita raih tak sebanding dengan kerugian yang kita alami. Bukan lagi attention economy, melainkan attention disaster. Semoga ini tak terjadi pada kita.
Budi W. Soetjipto adalah Anggota Dewan Pembina ISMS, Dosen FEB UI, dan Wakil Rektor Universitas Pertamina
Email: bsoetjipto@gmail.com

Budi W. Soetjipto