Mengeluarkan surat edaran dan menggalakkan kampanye peduli lingkungan memang baik dilakukan. Namun, tanpa didukung keterlibatan faktor lain—terutama pendidikan di keluarga dan sekolah—upaya itu tak akan berjalan optimal.
Oleh
SIDIK NUGROHO
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Pada 19 Mei 2022 Kompas merilis berita yang mendapat perhatian banyak kalangan: ”Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 triliun”. Di berita itu dilaporkan, data diperoleh dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2020.
Ada beberapa data yang perlu diperhatikan. Pemborosan makanan yang dilakukan tiap individu rata-rata besarnya Rp 2.141.614 tiap tahun. Kalau ditotal, sampah makanan yang terbuang di 199 kabupaten/kota di Indonesia dapat mencapai nilai Rp 330,71 triliun dalam setahun. Berdasarkan penelitian Barilla Center for Food & Nutrition, nilai indeks kehilangan dan kemubaziran pangan Indonesia masuk kategori buruk.
Data di atas pun membuat pemerintah mengambil tindakan. Di berita itu disebutkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan surat edaran kepada pemerintah daerah untuk menggalakkan hidup minim sampah. Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah KLHK, juga mengatakan perlunya kampanye mengubah gaya hidup masyarakat untuk selalu menghabiskan makanan.
Yang perlu dipertanyakan dan dikaji, sudah sampai sejauh mana imbauan dalam surat edaran itu (nanti) berhasil menyadarkan masyarakat? Kemudian, dalam mengampanyekan gaya hidup menghabiskan makanan—atau secara lebih luas lebih peduli pada kelestarian lingkungan—bagaimana aspek pendidikan diturutsertakan?
DIONISIO DAMARA UNTUK KOMPAS
Orangtua turut menemani anak-anaknya memunguti sampah, seperti sampah plastik, puntung rokok, dan daun kering. Melalui kegiatan seperti ini, anak diajak untuk peduli dan mencintai lingkungannya.
Membangun kesadaran
Sampah adalah persoalan serius. Uang Rp 330 triliun yang ”terbuang” di berita itu baru satu jenis, yaitu sampah makanan. Kalau semua jenis sampah yang dibuang dirupiahkan, hasilnya mungkin akan sangat fantastis dan membuat kita lebih tercengang. Kesadaran membuang sampah pada tempatnya menjadi vital dalam upaya melestarikan lingkungan.
Mengeluarkan surat edaran dan menggalakkan kampanye memang baik dilakukan. Namun, tanpa didukung keterlibatan faktor lain—seperti keterlibatan pendidikan di keluarga dan sekolah—upaya itu tidak akan berjalan optimal.
Di keluarga, waktu masih kecil, seorang anak mesti diberi toilet training yang benar. Itu salah satu pelajaran paling awal untuk menyadarkan pentingnya kebersihan. Kebanyakan anak sekarang menggunakan popok. Apabila sudah lepas popok, di usia 2 hingga 3 tahun anak perlu diajari menyiram kotorannya setelah buang air. Hal itu kelihatannya sepele. Namun, toilet training yang tidak tuntas akan merugikan orang lain. Saya—barangkali juga Anda—beberapa kali menemukan kloset yang masih berisi kotoran manusia di toilet tempat-tempat publik, seperti sekolah, pusat perbelanjaan, ataupun lainnya.
Di keluarga, waktu masih kecil, seorang anak mesti diberi toilet training yang benar. Itu salah satu pelajaran paling awal untuk menyadarkan pentingnya kebersihan.
Sebelum menyadari kebersihan lingkungan—yang notabene berada di luar dirinya—seseorang perlu menyadari kebersihan dirinya sendiri, badannya sendiri. Setelah menyadari hal itu, barulah anak-anak diajarkan untuk membiasakan membuang sampah pada tempatnya. Di sinilah sekolah turut mengambil bagian, selain keluarga.
Selama belasan tahun menjadi guru, saya merasakan tugas mendidik jauh lebih berat daripada mengajar. Siswa biasanya mudah mengerti dan memahami apa itu sampah organik, sampah anorganik, atau jenis-jenis pencemaran lingkungan. Namun, membiasakan siswa untuk membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan kelas, atau tidak membuang-buang makanannya, itu sering kali lebih susah.
Upaya menyadarkan siswa tentang sampah perlu ketelatenan dan keteladanan guru. Kalau di sekolah, siswa sudah dibentuk kesadarannya, di masyarakat pun ia akan menjadi contoh dan teladan.
ABDULLAH FIKRI ASHRI
Gambar berisi ajakan menjaga lingkungan terpajang di tembok SDN Paoman IV, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (25/5/2019). SDN Paoman IV termasuk dalam 26 SD di Indramayu yang menerapkan kurikulum pendidikan lingkungan hidup tematik mangrove. Tahun ini, ditargetkan sebanyak 42 SD menerapkan hal serupa.
Pendidikan tepat sasaran
Hamish Daud, suami penyanyi Raisa Andriana, tahun lalu ketahuan memungut sampah di teras depan sebuah mart, lalu memasukkan sampah itu ke tong sampah. Seseorang memvideokannya dan mengunggah video itu. Video itu viral, tindakannya dipuji-puji banyak orang. Begitulah, masyarakat membutuhkan keteladanan.
Di sekolah, pendidikan untuk menjaga kelestarian lingkungan pun mesti disertai keteladanan atau contoh. Verba docent, exempla trahunt, kata pepatah Latin. Artinya, kata-kata mengajar, (tetapi) contoh atau tindakan menjadi teladan. Keteladanan guru, dengan demikian menjadi mutlak.
Selain dengan memberi contoh atau teladan, pendidikan untuk kelestarian lingkungan bisa pula diprogram dan dikemas dengan menarik. Hal itu bisa diawali dari pemahaman bahwa sampah bisa difungsikan kembali dengan cara dijual ataupun didaur ulang.
Selain dengan memberi contoh atau teladan, pendidikan untuk kelestarian lingkungan bisa pula diprogram dan dikemas dengan menarik.
Dalam sebuah kesempatan, sekolah tempat saya mengajar dahulu pernah berpartisipasi dalam Global Entrepreneurship Week, sebuah acara internasional yang berinisiatif membangkitkan semangat kewirausahaan (entrepreneurship) di kalangan pelajar dan pemuda. Saat berpartisipasi di acara itu, modal kami dalam membuat business plan adalah sampah. Selama beberapa pekan, anak-anak mengumpulkan sampah yang laku dijual di sekolah.
Setelah menjual sampah kepada pengumpul rongsokan, kami pun mendapat modal untuk membuat berbagai macam produk makanan yang bisa dijual. Ada yang berjualan sate, jus buah, es krim, dan lainnya. Ada juga yang membuat berbagai kerajinan dari sampah yang didaur ulang. Selama beberapa hari sekolah, kami mengadakan bazar, orangtua siswa dan warga sekitar kami undang untuk menyaksikan sekaligus berbelanja.
Dari kegiatan itu, siswa pun jadi memiliki pemahaman bahwa sampah tertentu masih bisa dimanfaatkan, bahkan mendatangkan keuntungan ekonomis. Kegiatan itu pun menjadi pembelajaran tematik yang melibatkan beberapa mata pelajaran seperti IPS (perihal mengelola sampah), Matematika (perihal menghitung modal dan memproyeksikan keuntungan), juga Seni Budaya dan Keterampilan (perihal membuat berbagai kerajinan dari sampah daur ulang).
Demikianlah, pendidikan semestinya ikut ambil bagian dalam persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini dengan program yang tepat sasaran, partisipatif, dan praktis, termasuk dalam upaya pelestarian lingkungan. Kalau cuma menjejalkan pengetahuan, kita tidak akan ke mana-mana; kelestarian lingkungan akan jadi sekadar angan.