Program Merdeka Belajar menghargai keberagaman murid, tetapi pendekatan dengan menyeragamkan pelaksananya (guru) justru membuat guru ”tidak merdeka”. Karena itu, guru perlu dibantu.
Oleh
SRI MARPINJUN
·6 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Gerakan Merdeka Belajar yang dibawa Mas Menteri Nadiem adalah penegasan ulang pentingnya pembelajaran yang sesuai dengan minat dan level kemampuan peserta belajar yang dahulu dipromosikan oleh Ki Hajar Dewantara. Sayang sekali ide ini sudah mulai tercemar oleh pendekatan yang kurang tepat dalam pelaksanaannya. Merdeka Belajar menghargai keberagaman sasaran (murid), tetapi pendekatan pelaksanaannya menyeragamkan pelaksananya (guru).
Sebagaimana dipaparkan dalam media resmi Kemendikbudristek, kebijakan Merdeka Belajar diturunkan menjadi sub-sub kebijakan, antara lain, kebijakan Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar. Kebijakan ini diklaim dapat mengatasi ketertinggalan belajar (learning loss) akibat pandemi. Karena itu, kebijakan berikutnya adalah mengharapkan semua sekolah di Nusantara telah melaksanakan kurikulum baru ini pada 2024. Pertanyaannya adalah bagaimana strategi kementerian mengejar pelaksanaan kurikulum baru di 2024?
Strategi instruksional kementerian
Nusantara ini amat luas, ragam dan jumlah peserta didik dalam program Merdeka Belajar sungguh sangat besar. Membuat peserta didik di Nusantara menikmati Merdeka Belajar dalam dua tahun ke depan menjadi tantangan besar untuk diselesaikan oleh Kemendikbudristek dan jajarannya.
Kemendikbudristek menggunakan strategi lama yang dipakai selama ini, yaitu dengan sistem percontohan. Kemendikbudristek merekrut sebagian kecil sekolah menjadi model bagi sekolah lainnya. Di era ini sekolah model dinamakan sekolah penggerak dan guru yang menjadi model dinamakan guru penggerak. Para kepala sekolah/guru penggerak dilatih kurikulum baru, setelah itu mereka dituntut melaksanakannya agar menjadi model bagi sekolah lain yang belum mengakses program sekolah/guru penggerak.
Guru itu beragam konteks tempat kerjanya dan kemampuan mengajarnya. Seharusnya pendekatan kepada sekolah/guru penggerak pun disesuaikan dengan konteks masing-masing. Yang terjadi adalah sekolah/guru penggerak dimobilisasi masuk dalam pelatihan puluhan jam tentang kurikulum baru secara masif dengan metode spoon feeding alias instruksi, seolah mereka ini belum pernah mengajar sama sekali.
Akibatnya, banyak guru bukannya mendapatkan kemerdekaan malah bingung dan tertekan. Seringnya kurikulum berganti membuat mereka sulit bergerak maju karena di saat belum paham kebijakan yang lama sudah harus berganti melaksanakan kebijakan baru.
Memang ada dampak positif sistem Merdeka Belajar bagi para sekolah/guru yang sejak lama secara mandiri mengembangkan pembelajaran berpusat kepada anak. Instruksi yang mereka terima menjadi kesempatan akselerasi. Sayangnya sekolah seperti ini tidak banyak.
Strategi instruksional oleh atasan ke bawahan seperti ini apakah pernah dievaluasi? Strategi instruksional jelas tidak memerdekakan yang diinstruksi. Sudah lama ada fenomena sekolah/guru ”tergantung petunjuk juklak-juknis atasan”. Mereka seperti hanya peduli kepada hal-hal administratif. Pokoknya semua dokumen yang akan diperiksa atasan tersedia. Mereka punya mental takut disalahkan atasan sehingga sering menghalalkan segala cara agar tampak benar di mata atasan, seperti copy paste dokumen-dokumen dari sekolah lain.
Jika pengabdian para guru ke atasan, bagaimana nasib murid-muridnya? Fenomena salah arah pengabdian para guru ini sungguh fatal. Hanya karena posisi tawar para guru sebagian besar masih lemah, lalu mereka takut kehilangan pekerjaannya. Mereka menganggap pengawas penentu nasib mereka.
Apakah Kemendikbudristek tidak melihat fenomena itu? Seharusnya pemerintah pada posisi yang berterima kasih karena sekolah/guru membantu tugas pemerintah mencerdaskan bangsa. Pemerintah harus menyadari ini. Coba bayangkan apa jadinya jika para guru ini mogok bersama!
Jika pengabdian para guru ke atasan, bagaimana nasib murid-muridnya? Fenomena salah arah pengabdian para guru ini sungguh fatal.
Namun, pemerintah sungguh tidak peka. Jika guru bingung dan ragu dalam melaksanakan kebijakan Kurikulum Merdeka, jawab atasan adalah: masuk aplikasi Merdeka Mengajar, nanti ada jawabannya di sana. Bukan rahasia lagi bahwa di jaman pembelajaran digital ini banyak guru gaptek (gagap teknologi) dan miskin kuota atau malah tak memiliki gawai sama sekali. Kalau punya gawai, sering tak ada koneksi internet. Jawaban dari masalah-masalah ini tentu tak ada di aplikasi tersebut di atas.
Saya sesak napas mendengar curhatan dan melihat nasib para guru kita ini. Sejak dahulu guru tidak sungguh-sungguh dimuliakan. Sudah status guru banyak yang masih swasta, gaji rendah, beban kerja banyak, masih diperlakukan sebagai ”orang suruhan” pembuat kebijakan. Kita terus mengarahkan jari telunjuk ke arah guru ketika pendidikan melempem, tetapi tak pernah menyadari ketiga jari yang menunjuk diri kita sendiri.
Dengan menyadari penuh bahwa sekolah/guru adalah penentu utama hasil pendidikan nasional, sebaiknya kita benar-benar memuliakan mereka. Saya usul gerakan bantu guru yang sebenarnya strategi baru untuk memudahkan para guru menjalankan profesinya sebaik mungkin, berangkat dari level kemampuan mereka masing-masing. Jika guru diperlakukan dengan penuh penghargaan, mereka akan dengan mudah menghargai murid-murid di sekolah mereka.
Kita hentikan memandang guru sebagai orang suruhan pembuat kebijakan pendidikan. Ingatlah kita bergantung kepada mereka untuk reproduksi bangsa. Jika guru diminta mendengarkan murid, kita juga harus mendengarkan guru. Mereka punya pikiran dan perasaan juga. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menghormati para gurunya.
Jika guru diharap memenuhi hak hidup murid, kita pun perlu memenuhi hak hidup para guru. Kita dukung para guru hidup layak. Saat mengajar guru sering mengabaikan masalah pribadi dan mengutamakan masalah murid-muridnya. Nah, masalah guru harus jadi masalah kita supaya mereka mengajar dengan tenang, gembira, dan akhirnya mampu membantu murid berkembang.
Jangan sampai ada guru yang miskin. Pemerintah daerah dan DPRD perlu menetapkan alokasi anggaran untuk guru tidak tetap agar selalu mendapat insentif setiap bulan. Masyarakat yang mampu diminta berpartisipasi, misalnya untuk membangun ”lumbung sembako guru” demi menjamin guru tidak perlu mencari pekerjaan tambahan untuk makan keluarga mereka.
Jangan sampai ada guru yang miskin. Pemerintah daerah dan DPRD perlu menetapkan alokasi anggaran untuk guru tidak tetap agar selalu mendapat insentif setiap bulan.
Alih-alih menginstruksikan guru melaksanakan kebijakan, lebih baik mengaktifkan pendampingan guru per sekolah. Sebaiknya para pengawas menjadi pendamping para guru menyukseskan pembelajaran. Pengawas jangan berharap ditakuti atau dipatuhi. Pengawas sebaiknya menjadi tempat curhat para guru.
Pengawas sesungguhnya dapat menjembatani komunikasi antara pembuat dan pelaksana kebijakan. Misalnya ada kebijakan kurikulum baru, pengawas datang mendampingi guru berdiskusi untuk mengevaluasi dan merefleksikan praktik mereka selama ini oleh mereka sendiri. Pengawas membantunya menemukan referensi untuk solusi yang dibutuhkan. Jadi, guru merasa percaya diri karena apa yang mereka lakukan tidak dimentahkan terus dan disuruh mengganti dengan yang baru oleh pengawas. Mereka merdeka ketika melakukan solusi yang sesuai konteks. Mereka tetap merasa aman karena mengetahui para pengawas merestui mereka.
Pemerintah perlu merekrut pengawas yang kompeten, bukan asal menaruh orang di posisi itu. Jangan diulang praktik kebijakan menaruh pegawai yang mau pensiun menjadi pengawas.
Terakhir dan terpenting adalah bahwa gerakan bantu guru tentu mensyaratkan kemauan para guru untuk selalu profesional dan meningkatkan profesionalismenya. Gerakan bantu guru hanya efektif apabila para guru bersikap mandiri, asertif, dan aktif menyampaikan pengalaman berikut masalah dan kebutuhannya. Singkat kata, gerakan bantu-guru itu kolaboratif antara pembuat kebijakan, pemikir dan praktisi pendidikan, serta para guru sendiri dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Sri Marpinjun, Inisiator dan Promotor Gerakan Bantu Guru, Konsultan PAUD Independen