Arus urbanisasi besar-besaran pasca-Lebaran tampaknya tak akan terbendung. Pemerintah pusat dan pemda harus bekerja sama, bermitra dengan swasta, mengembangkan pusat pertumbuhan baru untuk meredam pendatang ke Ibu Kota.
Oleh
NIRWONO JOGA
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Pemerintah telah menyiapkan pelbagai strategi menghadapi pergerakan arus mudik Lebaran tahun ini, setelah dua tahun puasa tidak bisa mudik akibat pandemi Covid-19. Tahun ini, sekitar 85,5 juta perantau diperkirakan pulang kampung halaman, meningkat 40 persen dari jumlah pemudik pada 2019, sebelum pandemi.
Namun, di tengah kesiapsiagaan pemerintah menghadapi puncak Lebaran, pemerintah asal pemudik dan pemerintah tujuan pendatang seringkali tidak menyiapkan strategi menghadapi arus balik pemudik berserta para pendatang baru yang akan menyerbu Ibu Kota. Di tengah kondisi ekonomi nasional yang masih lesu, mereka akan kembali ke kota yang menjanjikan kesejahteraan. Arus urbanisasi besar-besaran pasca-Lebaran tampaknya tak akan terbendung.
Urbanisasi dalam arti luas dan benar adalah ”proses menjadi kota”, bukan perpindahan masyarakat dari desa ke kota atau dari luar ke dalam kota. Pemahaman yang keliru berakibat kepada pengambilan kebijakan penanganan yang salah kaprah. Para pendatang sering dianggap miskin dan marjinal, serta biang keladi penyebab persoalan kota. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, cerita sukses (seringkali dimanipulasi) dan penampilan mewah simbol kesuksesan di kota (walau terkadang semu yang ditampilkan di layar kaca dan media sosial) telah menyihir para pendatang untuk terus berbondong-bondong menyerbu kota mengadu nasib. Hal ini diperkuat pada kenyataan pahit sulitnya mencari kerja yang layak di kampung sendiri, apalagi selama pandemi Covid-19. Keterbatasan lapangan kerja yang disediakan pemerintah daerah, penghasilan rendah, dan tidak menentu, serta bayang-bayang masa depan yang suram menjadi pendorong/penyemangat kuat buat mereka bertekad (baca: nekat) merantau ke kota.
Para pejabat berwenang pun berpesan, jika datang ke kota harus membawa uang dan memiliki keahlian atau keterampilan. Jika tidak, mereka harus bersiap dirazia sejak turun di terminal bus, stasiun kereta, pelabuhan, hingga ke kamar kos. Jika kurang beruntung, bersiaplah untuk dipulangkan kembali ke kampung halaman. Pengurus RT/RW bersama petugas kelurahan dan kecamatan harus bekerja keras dan bergerak cepat mengumpulkan data akurat para pendatang.
Kedua, urbanisasi merupakan konsekuensi logis perubahan struktural ekonomi akibat masifnya pembangunan infrastruktur kota. Itu artinya tersedia lapangan kerja yang besar mulai dari pekerja kasar (kuli) tanpa keterampilan khusus hingga jabatan manajer yang mensyaratkan keahlian tersendiri. Selain itu terbuka ruang usaha informal seperti warung makan para kuli hingga kos-kosan buat pekerja kasar dan kantoran.
Pemerintah Ibu Kota dan pemerintah daerah sekitar harus bekerja sama, bermitra dengan BUMN, BUMD, dan pengusaha swasta bersinergi mendistribusikan pengembangan kawasan industri dan kawasan permukiman baru (properti) sebagai magnet baru untuk meredam para pendatang menyerbu Ibu Kota. Pembangunan infrastruktur jalan, pengembangan transportasi massal, serta penyediaan hunian vertikal terpadu bertujuan untuk mengendalikan peluberan kota akibat urbanisasi.
Urbanisasi merupakan konsekuensi logis perubahan struktural ekonomi akibat masifnya pembangunan infrastruktur kota.
Ketiga, pemerintah kota perlu mengantisipasi fenomena perpindahan kelas menengah ke pinggiran kota atau kota tetangga, tetapi tetap bekerja di Ibu Kota. Mereka menjadi para pelaju (komuter) yang sebagian besar pengguna kendaraan pribadi (motor, mobil) akibat sistem transportasi massal yang belum bisa diandalkan serta tersedianya (dimanjakan) infrastruktur jalan tol yang semakin banyak. Kemacetan lalu lintas semakin parah dan memburuknya kualitas udara, serta ancaman kesehatan saluran pernapasan akut merupakan imbas pahit yang terpaksa dialami warga akibat urbanisasi yang tak terkendali.
Kota-kota pendukung Ibu Kota harus ditingkatkan kualitas sarana prasarananya mendekati standar Ibu Kota. Kualitas infrastrukur jalan, sistem transportasi massal terintegrasi, permukiman layak huni, dan mendorong perbanyakan hunian vertikal, serta pengembangan kawasan terpadu ramah lingkungan menjadi sebuah keharusan.
Keempat, Ibu Kota harus ditingkatkan kapasitas daya tampung warga (termasuk penambahan warga pendatang), efisiensi dan efektivitas penggunaan lahan kota yang sangat terbatas secara cerdas (wajib hunian vertikal, fokus kawasan terpadu), serta integrasi menyeluruh layanan transportasi massal (sistem manajemen, kontruksi fisik), dan transportasi berbasis aplikasi.
Kota dikembangkan dengan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan, yakni memenuhi kebutuhan kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi masa depan (Gro Bruntland, 1987). Kota tanpa kemiskinan dan kelaparan, kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetaraan jender (pilar sosial); pemanfaatan energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi-industri-inovasi-infrastuktur, kesenjangan berkurang, kemitraan untuk mencapai tujuan (pilar ekonomi); serta ketersediaan air bersih dan sanitasi layak, kota dan permukimam berkelanjutan, konsumsi dan produksi berkelanjutan, penanganan dan perubahan iklim, ekosistem kelautan, dan ekosistem daratan (pilar lingkungan).