Persimpangan Jalan G20 dan Tantangan Terkini Presidensi Indonesia
Keterbelahan negara anggota G20 akibat ketegangan geopolitik di Eropa Timur menjadi tantangan terkini Presidensi Indonesia di G20. Indonesia perlu imparsial dan bijak memerankan Presidensi G20.
Oleh
BEGINDA PAKPAHAN
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Pada 19-20 April 2022 pertemuan sejumlah menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara anggota G20 diselenggarakan di Washington DC, Amerika Serikat. Indonesia memegang Presidensi G20 di tahun 2022 ini.
Namun, ada hal luar biasa terjadi saat forum pertemuan G20 berlangsung, yaitu pada saat Wakil Menteri Keuangan Rusia Timur Maksimov berbicara, terjadi aksi walkout (meninggalkan pertemuan G-20) yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yallen, Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak, Menteri Keuangan Kanada Chrystia Freeland, Kepala Federal Reserve Amerika Serikat Jerome Powell, Gubernur Bank Sentral Inggris Andrew Bailey, dan Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde. Para pejabat Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada tersebut mengecam Rusia atas perang di Ukraina dan tidak setuju atas kehadiran dan partisipasi dari para pejabat Rusia di pertemuan G20 (Reuters, 2022).
Singkatnya, G20 belum menghasilkan komunike bersama G20 di Washington DC secara khusus (Reuters, 2022), dan saat ini posisi G20 berada di persimpangan jalan secara umum.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa saja dampak dari ketidaksepahaman negara-negara anggota dalam pertemuan G20 di Amerika Serikat bagi G20 dan apa pelbagai tantangan terkini dari Presidensi Indonesia di G20?
Pertama, ada keterbelahan di antara negara-negara anggota G20 menjadi beberapa kelompok yang diakibatkan oleh ketegangan geopolitik di Eropa Timur, khususnya krisis Ukraina. Kelompok pertama adalah Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Barat di G20 yang mengecam Rusia atas perang di Ukraina. Kelompok kedua, Rusia yang tidak menerima kecaman dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat (Reuters, 2022). Kelompok ketiga, China, Brasil, Afrika Selatan, dan India yang netral dalam menyikapi krisis Ukraina dan meminta semua pihak fokus membahas agenda penting ekonomi politik dunia, seperti penanganan pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi global, dan pembangunan berkelanjutan.
Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan negara Barat versus Rusia sudah mulai berlangsung pada saat pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara anggota G20 di Jakarta (Pakpahan, 2022). Ketidaksepahaman antara Amerika Serikat dan negara Barat versus Rusia memuncak pada saat terjadinya aksi walkout dari Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada saat pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara anggota G20 di Amerika Serikat, April 2022.
KOMPAS/KRIS MADA/TANGKAPAN LAYAR
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati (tengah) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memaparkan hasil Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) anggota G20, Rabu (20/4/2022), di Washington DC, Amerika Serikat. Meski ada ancaman boikot total, semua anggota G20 akhirnya hadir di pertemuan itu. Lobi Indonesia membuat pemboikotan hanya berlangsung parsial.
Kedua, absennya keputusan politik dan kesepakatan bersama dari negara-negara anggota G20 membuat ketidakpastian hubungan internasional dan ekonomi politik global meningkat dan nyata. Pelbagai rencana aksi dan program penanganan pandemi Covid-19 dunia, pembiayaan akses vaksin setara, dan pemulihan ekonomi global akan terhambat dan akan berjalan di tempat. Secara khusus, kerja sama multilateral melemah di tengah harapan dan upaya kerja bersama negara-negara G20 dalam rangka mendorong pemulihan perdagangan internasional, menjaga rantai pasok global, dan upaya penurunan harga pangan dan energi.
Ketiga, terbelahnya negara-negara G20 sekarang dan ke depan akan membuat ekonomi global terbelah, yaitu Amerika Serikat dan negara Barat yang sistemnya market driven economy (ekonomi pasar) versus Rusia dan negara lain yang sistemnya state capitalism (kapitalisme negara) (Reuters, 2022). Persaingan geopolitik di antara mereka akan meluas kepada perluasan pengaruh, persaingan geoekonomi, serta kompetisi pertahanan keamanan bagi negara-negara di Eropa, Asia dan Indo-Pasifik, Afrika, dan pelbagai belahan dunia lainnya.
Terdapat pelbagai tantangan terkini bagi Presidensi Indonesia di G20. Pertama, Indonesia perlu imparsial dan bijak memerankan Presidensi G20 yang sedang diembannya dalam rangka mengubah situasi dari absennya kesepakatan bersama di pertemuan G20 di Amerika Serikat menjadi adanya kesepakatan bersama di antara negara-negara anggota G20 pada pertemuan selanjutnya.
Indonesia perlu menjalankan politik luar negeri bebas aktifnya secara efektif dan efisien dalam rangka merangkul negara-negara yang sedang bersaing dan menjembatani pelbagai ketidaksepahaman di antara pelbagai kelompok negara yang sedang berseberangan di G20. Ke depan, menyesuaikan harapan dan mengelola pelbagai agenda Indonesia dan G20 menjadi relevan. Fokus terhadap prioritas agenda bersama yang sederhana dan mudah dicapai oleh G20 menjadi kunci.
Sekarang, tujuan bersama bagi Indonesia dan pelbagai negara G20 lainnya adalah G20 perlu berkontribusi positif dan nyata dalam penanganan pandemi Covid-19 di dunia (contoh: pemerataan dan kesetaraan akses atas vaksin covid-19 dan obat-obatan terkait), pemulihan ekonomi dunia (Pakpahan, 2021), penurunan harga pangan dan energi, dan upaya mitigasi dampak inflasi yang terjadi di pelbagai negara dunia. Harapannya, semua itu bisa disepakati oleh para anggota G-20 saat KTT G-20 nanti di Bali.
Kedua, pencapaian tujuan di atas tidak mudah di periode waktu yang tersisa dari tahun 2022 dan butuh kesepahaman dan komitmen politik bersama antara Indonesia yang memegang Presidensi di G20 dan pelbagai negara G20 lainnya. Indonesia perlu menjalankan diplomasi yang baik (1) untuk mendekati seluruh pihak yang bersaing dan membangun kembali kepercayaan antara Indonesia dan pelbagai kelompok terpecah; (2) untuk mencairkan situasi yang menegang dan fokus menjelaskan pentingnya kerja sama semua negara G20 dalam rangka menyukseskan prioritas agenda penting G-20, khususnya penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi dunia; dan (3) untuk menemukan titik-titik kesepahaman dan temu untuk mencapai kompromi bagi semua pihak di G20.
Ketiga, realitas politik ekonomi kontemporer di G20 dan Presidensi Indonesia di G20 sudah dibayangi oleh ketidaksepahaman antara Amerika Serikat dan negara Barat versus Rusia. Ke depan, jalan terjal akan dilalui oleh Indonesia dan negara-negara G20. Penyesuaian agenda dan efektif dalam berdiplomasi menjadi keharusan bagi Indonesia. Oleh karena itu, pemilihan sumber daya manusia yang andal/mumpuni dan pengalokasian sumber daya keuangan dan beragam sumber daya lainnya yang tepat dalam rangka mendukung Presidensi Indonesia di G20 menjadi penting. Kita tunggu perkembangan selanjutnya.
Beginda Pakpahan, Analis Politik dan Ekonomi Global; PhD dari The University of Edinburgh, UK.