Kartini bukanlah sekadar pahlawan emansipasi perempuan Indonesia. Lebih besar dari itu, ia adalah pahlawan perubahan bangsa dan negara kita.
Oleh
Budi W Soetjipto
·6 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mural pahlawan nasional RA Kartini tergambar di sebuah dinding gudang di kawasan Bhakti Jaya, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (15/4/2022).
Setiap tanggal 21 April, kita memperingati Kartini. Umumnya kita memperingatinya dengan memakai busana berbagai daerah. Kita mengenal RA Kartini sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia, yang mengangkat derajat kaum perempuan menjadi setara dengan kaum pria. Namun, sesungguhnya, perjuangan Kartini tak sekadar emansipasi; Kartini mengobarkan semangat perubahan di kalangan masyarakat Indonesia yang saat itu sedang terjajah.
Walau saat itu Kartini tidak berpendidikan tinggi, dia sadar sepenuhnya bahwa perubahan membutuhkan kekuasaan. Dalam literatur manajemen perubahan, ini dikenal dengan Teori E, yakni perubahan bersifat top-down dan prosesnya harus direncanakan dan diterapkan dengan perantaraan struktur dan sistem yang berlaku. Struktur dan sistem yang berlaku saat itu adalah adat istiadat Jawa yang mengungkung dan membatasi perempuan untuk berkembang.
Perempuan hanya dianggap sebagai konco wingking dan hanya boleh bersekolah hingga berusia 12 tahun. Ya, meski Kartini bersekolah di Europes Lagere School, sekolah elite pada zaman itu karena hanya diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa, timur asing, atau pribumi dari tokoh terkemuka, tetap saja ia tak bisa lanjut dan harus tinggal di rumah hingga ada yang melamarnya untuk menjadi istri. Kalau Kartini menyerah dengan mengikuti Teori E, situasi tak akan berubah.
Akan tetapi, Kartini bukanlah perempuan pada umumnya. Ia seorang yang koppig atau keras kepala dan persisten. Meski harus tinggal di rumah, Kartini rajin belajar sendiri, membaca, dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda, salah satunya bernama Rosa Abendanon.
Ia pun rajin menulis yang dimuat oleh majalah perempuan di Belanda bernama De Hollandsche Lelie. Mengacu pada delapan langkah John Kotter untuk melakukan perubahan, apa yang dilakukan Kartini merupakan kombinasi langkah pertama dan kedua, yaitu create urgency dan form a powerful coalition.
Kartini sadar bahwa orang-orang di luar sana belum tentu tahu kondisi yang dihadapi para perempuan di Jawa. Dengan menulis dan berkorespondensi, Kartini tak hanya membeberkan fakta yang ia alami, tetapi juga menumbuhkan urgensinya di kalangan perempuan Eropa, khususnya Belanda.
Kartini ingin mata dunia terbuka bahwa perempuan Indonesia, utamanya di Jawa, belum punya kebebasan untuk maju dan berkembang. Ketika kawan-kawan Kartini di Eropa kemudian setuju dengan pandangan situasinya, mereka pun mendukung perjuangan Kartini yang menjadi sebuah koalisi kuat baginya.
Koalisi ini amat penting bagi Kartini karena ia tak bisa berjuang sendirian. Kartini tak mungkin mampu melawan tradisi Jawa seorang diri. Ia butuh koalisi untuk pertama-tama meyakinkan sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang juga Bupati Jepara, agar ia diizinkan untuk keluar dari pingitan. Suatu tujuan yang sederhana, tetapi vital karena, dengan keluar dari pingitan, Kartini dapat bertemu dan belajar dari banyak orang.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga melintasi mural Kartini di bawah jembatan layang Palmerah, Jakarta, Rabu (20/4/2016).
Yang menjadi salah satu momentum dukungan terhadap Kartini terjadi saat kepala sekolahnya, Baron van Dietmar, datang berkunjung ke kediaman ayahnya menemani Asisten Residen Jepara yang baru, Ovink-Soer, dan istri untuk memperkenalkan diri. Meski sedang dipingit, Kartini nekat keluar untuk menyuguhkan minuman hangat agar bisa menemui dan berkenalan dengan mereka. Sejak saat itu, Kartini dan kedua adiknya dekat dengan Marie, istri sang Asisten Residen.
Dari Marie, pemikiran dan semangat perubahannya semakin membara. Kartini semakin memiliki visi perubahan yang jelas, yaitu mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dan kaum papa, serta semakin memiliki kesempatan dan mampu menyampaikan visi dan sekaligus cita-citanya kepada dunia luar. Inilah langkah ketiga dan keempat dari delapan langkah Kotter: create a vision for change dan communicate the vision.
Meski dipingit, Kartini tetap mampu menyampaikan visi perubahannya melalui tulisan-tulisannya. Namun, bagaimanpun juga, pertemuan tatap muka akan lebih efektif karena terjadi pertukaran ide dan pengetahuan secara langsung.
Pertukaran ini amat penting bagi Kartini yang usianya masih sangat muda sehingga minim pengetahuan dan pengalaman. Dengan pertemuan tatap muka, Kartini dapat menyampaikan kegundahannya secara langsung dan mendapatkan umpan balik secara langsung pula. Umpan balik tersebut sekaligus ia gunakan untuk menyempurnakan visi perubahannya. Jadi, boleh dikatakan langkah ketiga dan keempat ini berjalan secara paralel.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Poster Raden Adjeng Kartini menghiasi tembok rumah di Jalan Halim Perdana Kusuma, Kota Tangerang, Minggu (12/4/2020).
Ayahnya sebetulnya masih ragu untuk melepas tiga bersaudari tadi dari pingitan. Akan tetapi, melihat cita-citanya yang telah terartikulasi dengan jelas di tulisan-tulisannya, tekadnya yang bulat dan dukungan koalisi yang kuat yang dimotori Marie Ovink-Soer, akhirnya sang bupati pun memberi ”kelonggaran” kepada kakak-beradik itu. Langkah kelima pun terlaksana: remove obstacles karena ayahandanyalah yang selama ini dipandang sebagai halangan terbesar Kartini untuk maju.
Ayahandanyalah yang memiliki kewenangan memberikan izin Kartini dan adik-adiknya keluar dari pingitan. Ketika sang ayah telah memberikan ”kelonggaran” tadi, ayahlah yang menjadi garda terdepan, bahkan ketika keluarga sang bupati sendiri menunjukkan ketaksetujuan mereka. Dengan kata lain, izin dari sang ayah bukanlah suatu trial-and-error, melainkan suatu keputusan yang dipikirkan dengan matang dan dilandasi oleh keyakinan hatinya.
Tak heran apabila kemudian sang bupati mengambil peran sentral dalam mengatasi berbagai halangan di hadapan Kartini. Ia yang semula menjadi penghalang justru sekarang menjadi pendukung utama Kartini meraih kemenangan-kemenangan kecil (short-term wins, langkah keenam dari delapan langkah perubahan Kotter) berupa semakin banyaknya tulisan-tulisan Kartini yang terbit di berbagai media cetak di Belanda. Puncaknya adalah ketika ayahanda mengizinkan Kartini melanjutkan sekolah di Belanda.
Di sinilah semangat perubahan memperoleh momentum terbesarnya yang membuat kerabat sang bupati menentang keras karena takut mengganggu kemapanan yang selama ini mereka nikmati. Namun, dengan bijaksana, sang ayah, Bupati Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, mengatakan bahwa perubahan itu pasti terjadi, tergantung siapa yang memulainya. Artinya, apabila mereka tak mau berubah, kemajuan zamanlah yang akan mengubah mereka. Daripada dipaksa berubah, lebih baik berubah duluan, kan?
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Mural tokoh kebangkitan perempuan Indonesia RA Kartini menghiasi kolong tol di jalan RC Veteran Raya, Jakarta Selatan, Selasa (21/4/2020).
Sayangnya, sebelum keinginannya untuk melanjutkan sekolah terwujud, sang ayah keburu sakit dan Kartini dipaksa menerima pinangan Bupati Rembang Raden Mas Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, yang sebenarnya sudah memiliki tiga istri. Meski sudah kepepet, Kartini tak kehilangan akal. Ia mengajukan beberapa syarat, salah satunya adalah diizinkan mendirikan sekolah bagi kaum perempuan dan rakyat miskin demi menjaga momentum perubahan atau Kotter menyebutnya build on change (langkah ketujuh).
Beruntung Bupati Rembang adalah sosok yang properubahan dan syarat-syarat yang Kartini ajukan semuanya diterima. Perubahan pun semakin deras mengalir. Namun, ternyata Tuhan berkata lain. Baru kurang lebih satu tahun menikah, Kartini wafat hanya empat hari setelah ia melahirkan putranya. Sang pelopor perubahan itu telah pergi di usia yang amat belia. Namun, semangat perubahan Kartini telah mengakar dalam di budaya masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.
Inilah langkah terakhir Kotter: anchor the changes in culture. Langkah inilah yang membuat semangat perubahan yang diinisiasi Kartini dapat berlanjut hingga kini. Langkah ini pulalah yang membuat perubahan bergeser sumbunya dari Teori E ke Teori O.
Apa itu Teori O? Teori ini menjelaskan fenomena perubahan yang berawal dari bawah, perubahan yang sekaligus membangun kapabilitas manusianya karena, untuk dapat berubah, individu tak bisa hanya sekadar mau berubah, tetapi juga harus mampu berubah.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Patung Kartini yang terletak di jantung kota Jepara, Jawa Tengah, 2007.
Kartini tak hanya mendorong perubahan ke atas dengan mendobrak kemapanan, tetapi juga mendorong perubahan ke bawah dengan membangun kapabilitas dan kemampuan kaum perempuan dan kaum miskin untuk berubah. Sekolah yang Kartini bangun bagi rakyat Rembang merupakan cikal bakal berkelanjutannya semangat perubahan Kartini dan merupakan momentum pergeseran perubahan ke Teori O.
Alhasil, Kartini bukanlah sekadar pahlawan emansipasi perempuan Indonesia. Lebih besar dari itu, ia adalah pahlawan perubahan bangsa dan negara kita. Meski hanya hidup selama 25 tahun, dampak inisiatif dan upaya perubahan dari Kartini kita rasakan hingga ribuan tahun kemudian. Perubahan inilah yang harus kita kenang dan banggakan saat kita merayakan Hari Kartini.
Budi W Soetjipto, Dosen FEB UI, anggota Dewan Pembina ISMS, dan Wakil Rektor Universitas Pertamina