”Tolong Jangan Korbankan Kami!”
Sesudah dua Paskah kita rayakan dalam keterbatasan pandemi, Paskah tahun ini sebetulnya telah menyembulkan pengharapan. Pandemi mereda, muncul fajar kehidupan baru. Namun, dunia justru diselimuti ancaman konflik besar.
”Mereka membunuh siapa saja yang ditemui!”
Kata-kata ini menggambarkan kekejian perang di Bucha, Ukraina, dan juga membuat kita merenungkan lebih dalam mengenai makna Paskah, perayaan yang erat terhubungkan dengan kekejian dan kematian, tetapi juga kekuatan yang mengatasi kematian.
Sesudah dua Paskah kita rayakan dalam keterbatasan pandemi, Paskah tahun ini sebetulnya telah menyembulkan pengharapan. Pandemi mereda, muncul fajar kehidupan baru. Namun, dunia justru diselimuti ancaman konflik besar.
Perang Rusia-Ukraina memakan banyak korban, memperparah krisis pangan dan energi global. Kelaparan telah meningkat 18 persen selama pandemi, dari 720 juta orang menjadi 811 juta orang. Menurut PBB, perang Rusia-Ukraina menambah orang yang kelaparan 7,6 juta-13,1 juta. Krisis pangan mengakibatkan krisis sosial di beberapa negara Afrika dan memperparah krisis kemanusiaan di Afghanistan.
Perang Rusia-Ukraina memakan banyak korban, memperparah krisis pangan dan energi global.
Kenaikan harga pangan dan bahan bakar di Indonesia juga membuat banyak orang menjerit. Kalau tidak ditangani, perang Rusia-Ukraina ini bisa menyemai ideologi kerdil yang menular lebih cepat dan berbahaya dari virus korona.
Pandemi Covid-19 telah membunuh 6 juta orang dan ini terjadi bukan terutama karena pilihan keliru manusia. Namun, perang dan konflik bisa membunuh lebih banyak orang lagi dan ini terjadi terutama karena pilihan-pilihan manusia yang picik serta melupakan kemanusiaan itu sendiri.
Beberapa tahun terakhir, Paus Fransiskus telah memperingatkan munculnya Perang Dunia ketiga yang tidak langsung meledak, tetapi bertahap dengan perdagangan senjata, terorisme, dan pelbagai tindak kekerasan dalam kultur kematian. Visi kemanusiaan telah digantikan kepentingan politik sempit dan kerdil yang tampak dalam ketidakmampuan menangani persoalan lewat dialog dan introspeksi diri.
Ketergesa-gesaan menggunakan kekuatan kasar (brute power) adalah kemunduran peradaban luar biasa. Di Indonesia, masyarakat juga sedang dibuat gaduh dengan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Masalah sensitif berkenaan dengan politik sebagai ”kekuasaan” ini telah mencederai perasaan banyak orang.
Bersyukur Presiden sudah menegaskan, pemilu tetap digelar 2024. Kekuasaan seharusnya di tangan rakyat—bukan direkayasa segelintir politisi—dan untuk kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan. Di sinilah kita menemukan makna Paskah.
Paskah berkenaan dengan hidup yang nyata, yang ruwet karena tali-temali kuasa, yang menimbulkan aneka korban. Sengsara dan wafat Yesus di Kalvari tidak bisa dipisahkan dari kuasa politik agama kerdil untuk kepentingan sendiri.
Di hadapan kuasa seperti ini, figur Yesus menjadi ancaman, justru karena Dia menampilkan nilai-nilai yang sebaliknya, yaitu kebebasan dan keluhuran manusia dari godaan materi, kuasa, dan prestise.
Paskah berkenaan dengan hidup yang nyata, yang ruwet karena tali-temali kuasa, yang menimbulkan aneka korban.
Kehidupan Yesus adalah daya penebusan, justru karena telah dipersembahkan secara total demi pembebasan dan datangnya Kerajaan Allah, yaitu kenyataan di mana nilai-nilai Ilahi menjadi pedoman.
Yesus tak ragu melawan kolusi kekuatan mammon (uang yang berkuasa seperti dewa dan sesembahan berhala), politik, dan pemahaman agama yang kerdil. Peristiwa Paskah didahului oleh kematian Yesus di salib, konsekuensi dari persembahan hidup pada Kasih Allah.
Tindakan kasih Allah
Paskah bukanlah glorifikasi kematian, melainkan tindakan kasih Allah dan undangan-Nya agar kehidupan dibela, dirawat, dan dikembangkan sehingga mendapat makna yang lebih penuh. Kematian Yesus sebagai korban harus dimaknai dalam kerangka besar kehidupan: ”Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10).
Dalam peristiwa Paskah, Bapa menanggapi pengorbanan Kristus dengan membangkitkan-Nya. Kebangkitan Yesus bukan mukjizat yang mengagumkan atau intervensi istimewa Allah agar Yesus tetap hidup, melainkan agar Dia menjadi Tuhan yang hidup, agar dunia mendapat kehidupan baru ”dalam segala kelimpahannya”.
Dalam dunia yang diancam perang dan krisis, peristiwa Paskah juga mengingatkan kita mengenai peran para korban, yang memiliki kekuatan tersendiri untuk membela kehidupan utuh dan lestari, yang mengatasi kematian itu sendiri.
Kekuatan ini terlihat dalam sikap tidak balas dendam dari Yesus yang bangkit, juga dalam sikap para murid-Nya, dan banyak korban sepanjang sejarah. Sikap pengampunan menghentikan lingkaran kekerasan.
Mungkin sangat ganjil bahwa sesudah Guru mereka dibunuh dengan keji dan tidak adil, para murid Yesus tidak diliputi keinginan balas dendam. Tantangan para murid Yesus adalah mengatasi ketakutan, kekecewaan, dan kesedihan. Ini terjadi karena penderitaan dan wafat Yesus itu tidak memiliki ruang untuk balas dendam.
Baca juga Penyaliban Kristus, Sungguhkah Tak Terelakkan?
Penderitaan Yesus adalah bagian dari penyerahan diri penuh kasih pada Bapa untuk menebus kehidupan. Dengan demikian, kalau ada rasa marah dan balas dendam, tujuan ini akan hilang. Maka, dalam konteks dunia yang sedang krisis sekarang, pesan Paskah yang penting adalah memberi ruang pada korban, mendengarkan jeritan mereka sebagai dasar bertindak kolektif, bukan kalkulasi untung rugi, apalagi harga diri dan kepentingan diri.
Kalau kita sungguh-sungguh bertemu dan mendengarkan para korban yang beraneka, kita akan berubah. Dunia akan berubah. Kita akan bangkit dari visi picik dan sempit, dari ketakutan dan kemarahan, jadi energi baru membangun kehidupan.
Para murid Yesus berubah hidupnya ketika mereka benar-benar mendengarkan Yesus, Sang Korban, yang bangkit, yang dengan lembut menyapa dan menguatkan mereka untuk mengampuni dan memupuk relasi yang menghidupkan.
Paskah adalah tuntutan Allah untuk bertanggung jawab memelihara kehidupan yang telah ditebus.
Kalau dunia tidak mengambil sikap ini, destruksi, pembunuhan, dan konflik akan terus menyebar. Paskah mengundang kita agar sebelum bertindak, kita berani bertanya: siapa yang akan menjadi korban tindakan kita?
Kemudian berani mendengar jeritan mereka: ”Tolong jangan korbankan kami!”
Jika demikian, Paskah bukanlah fantasi, melainkan hidup yang nyata. Paskah adalah tuntutan Allah untuk bertanggung jawab memelihara kehidupan yang telah ditebus.
A Bagus Laksana, SJ, Rektor Universitas Sanata Dharma