Penyaliban Kristus, Sungguhkah Tak Terelakkan?
Sebagaimana permufakatan jahat terhadap Yesus bukan tidak terelakkan, perang-agresi-kekerasan bukan fenomena yang tidak terelakkan. Tragedi kemanusiaan bisa dicegah. Kita bisa memilih.
”Kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga sebab matahari tidak bersinar” (Lukas 23: 45). Demikian penginjil Lukas menggambarkan suasana saat tragedi penyaliban Kristus terjadi.
Kegelapan datang ketika manusia memilih melakukan yang jahat. Sebuah pertanyaan: apakah Yesus, demi tergenapinya karya keselamatan Allah, harus melalui semua itu, yakni mengalami perendahan, sengsara, wafat disalib? Apakah Allah Bapa yang Mahabaik itu menghendaki Putra-Nya menjalani kengerian sedemikian itu demi cinta-Nya kepada manusia?
Adalah John Duns Scotus (1266-1308), teolog Fransiskan asal Skotlandia pada abad pertengahan, yang mengajarkan bahwa inkarnasi Putra adalah ”rencana A” Allah sejak semula. Kristus hadir ke dunia bukan sebagai ”rencana B” Allah karena kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Lihat juga: Misa Jumat Agung di Gereja Katedral Bogor
Berbeda dengan Anselmus ataupun Aquinas, Scotus percaya bahwa Allah akan tetap menjelma sekalipun manusia tidak jatuh ke dalam dosa. Cinta Allah-lah yang meniscayakan penjelmaan-Nya ke dunia, bukan kedosaan manusia.
Atas dasar cinta itu pulalah, syarat ”pengorbanan darah” demi pemulihan relasi antara manusia dan Allah yang rusak karena dosa dipandang tidak masuk akal. Mengapa cinta mengharuskan pengorbanan keji demikian? Allah yang mengharuskan kekejian dialami Sang Putra bukanlah Allah yang Mahabaik dan Maharahim. Penebusan darah bukan syarat bagi Allah untuk mencintai manusia. Sengsara dan kurban Kristus disalib persis terjadi karena manusia menolak Dia dan memilih untuk menyalibkan Dia.
Belajar dari refleksi Scotus, penyaliban bukan kehendak Allah. Ini hasil permufakatan manusia. Ini pilihan manusia dan bukan hal yang tidak dapat dielakkan.
Maka, belajar dari refleksi Scotus, penyaliban bukan kehendak Allah. Ini hasil permufakatan manusia. Ini pilihan manusia dan bukan hal yang tidak dapat dielakkan. Manusia semestinya bisa memilih dan melakukan hal yang lain. Kisah penjelmaan tidak harus menyertakan sengsara dan salib.
Sayang sekali, manusia di Jerusalem kala itu, imam-imam kepala, orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat, sebagian rakyat, memilih untuk menolak Kerajaan yang diwartakan-Nya, menolak keselamatan yang ditawarkan-Nya, menolak Dia yang datang dalam nama Tuhan, dan menghendaki kematian-Nya. Dan, kegelapan pun meliputi daerah itu.
Perang dapat dihindari
Hari-hari belakangan ini, ketika kita melihat melalui media, kehancuran di Mariupol, tubuh-tubuh tak bernyawa yang tergeletak berserak sepanjang setengah mil di jalanan Kota Bucha, pinggiran Kiev, penguburan-penguburan massal yang dilakukan; ketika kita mendengar bagaimana perang dan tragedi kemanusiaan terus berlanjut di Yaman, dan ini sudah berlangsung tujuh tahun; kalau kelaparan mulai mendera di Afghanistan; ketika serangan-serangan terhadap warga sipil terus berlanjut di Myanmar, atau nasib orang-orang Rohingya yang terkatung-katung di lautan, itu semua sepenuhnya pilihan manusia. Sebagaimana penyaliban Kristus, berbagai tragedi itu adalah pilihan manusia, bukan kehendak Allah.
Sepanjang zaman, manusia terus mengulang-ulang kesalahan yang sama. Manusia menciptakan bencana pada kehidupan. Manusia melakukan tindakan brutal terhadap sesamanya. Dan, ketika Allah mau terlibat ke dalam kehidupan manusia, masuk ke tengah-tengah sejarah manusia, manusia memilih untuk melakukan kekejian terhadap Dia.
Baca juga: Rusia-Ukraina Sepakati Koridor Kemanusiaan
Sebagian pun beranggapan bahwa perang dan tragedi kemanusiaan yang tengah terjadi di Ukraina, misalnya, sebagai tidak terelakkan, sudah diprediksi, sepenuhnya dapat dipahami. Bahkan, invasi Rusia dianggap dapat ”dibenarkan” (justifiable kalau bukan justified) atas nama perimbangan kekuatan-kekuatan global atau keterkaitan sejarah.
Namun, tidak hanya para intelektual, bahkan para elite politik pada dekade-dekade belakangan ini telah meyakini bahwa perang bukannya tidak dapat dihindari. Setelah berabad-abad manusia menerima perang begitu saja dan perdamaian dipandang sebagai kondisi sementara nan genting, kini orang sudah berpikir bahwa perang itu jahat (evil) dan terhindarkan (avoidable).
Dalam Homo Deus: The Brief History of Tomorrow (2015), sejarawan Yuval Noah Harari menulis, untuk pertama kali dalam sejarah, ketika pemerintah-pemerintah, korporasi-korporasi, dan individu-individu swasta mempertimbangkan masa depan yang segera, kebanyakan dari mereka tidak menganggap perang sebagai peristiwa yang mungkin terjadi.
Perang tidak lagi dipahami sebagai hukum alam (force of nature) atau bagian inheren dari kondisi manusiawi (human condition), tetapi pilihan dan keputusan manusia. Perang adalah suatu kemungkinan (possibility) dan bukan hal yang tak terhindarkan (inevitability). Pemikir dari zaman Yunani kuno pun memahami hal ini, demikian hasil kajian Matthew A Sears (www.theglobeandmail.com).
Perang tidak lagi dipahami sebagai hukum alam ( force of nature) atau bagian inheren dari kondisi manusiawi ( human condition), tetapi pilihan dan keputusan manusia.
Mempelajari tulisan sejarawan Thucydides dengan memperbandingkannya dengan sumber-sumber lain mengenai perang Peloponnesian antara Athena dan Sparta (431-405 SM), Sears mendapati faktor kenekatan ekspansionis pemimpin Athena, Pericles, sebagai serangan yang mengakibatkan perang. Ada opsi lain yang tersedia untuk mengembangkan pengaruh Athena selain opsi perang melawan Sparta.
Akibat perang sebenarnya telah disadari jauh lebih merugikan daripada menguntungkan: kehancuran, kematian, bencana kemanusiaan. Jumlah korban jiwa invasi Rusia belum dapat diverifikasi.
Namun, perang di Ukraina telah menambah angka pengungsian atau keterpindahan paksa, yang menurut data UNHCR telah mencapai 82,4 juta di seluruh dunia pada 2021. Hanya dalam rentang enam pekan sejak agresi Rusia, lebih dari 4 juta orang telah mengungsi ke luar Ukraina, dengan 6,5 juta pengungsi dalam negeri (https://data2.unhcr.org/en/situations/ukraine).
Sejauh ini, penerimaan negeri-negeri sekitar terhadap pengungsi Ukraina patut diapreasi. Dunia melihatnya sebagai perlakuan yang berbeda dibandingkan perlakuan negeri-negeri itu terhadap para migran dari Timur Tengah atau Afrika. Namun, sampai berapa lama penerimaan ini dapat berlangsung?
Panggilan untuk memilih kehidupan
Umat Kristiani di seluruh dunia memasuki Trihari Suci. Inilah saat yang disediakan gereja untuk merenungkan realitas sekaligus panggilan kemanusiaan. Manusia diciptakan dalam keagungan keserupaan dan segambaran dengan Allah.
Keagungan ini adalah anugerah yang memampukan kita memandang dan berlaku melampaui batas-batas. Manusia mampu berimajinasi, berkreasi, menciptakan kemajuan, menyelenggarakan peradaban. Manusia bisa mengusahakan mimpi mengenai hidup bersama yang damai-sejahtera. Dalam teologi Kristiani, manusia bisa menjadi pengikut-Nya dalam jalan menuju kepenuhan Kerajaan Allah.
Namun, manusia ternyata bisa merancang dan melakukan kekejian yang menghancurkan kemanusiaan dan seluruh kehidupan di bumi ini. Dengan perang, manusia memilih ”semangat” Kain yang membunuh sudaranya (Kejadian 4: 8), demikian kata Paus Fransiskus dalam wawancara setelah kunjungan ke Malta baru-baru ini.
Peperangan, yang sering kali beranjak dari gagasan sia-sia, telah meminggirkan agenda-agenda mendesak: pemulihan planet yang rusak, atau usaha-usaha mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama, atau upaya-upaya untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi saat ini dan mendatang.
Baca juga: Renungan Paskah: Kebangkitan Iman dan Kemanusiaan
Menyongsong Paskah yang adalah kemenangan hidup atas maut, kebaikan atas kejahatan, pengampunan atas brutalitas, orang Kristiani dipanggil untuk memohon rahmat Tuhan agar dapat berdiri bersama Dia, berjalan di jalan-Nya, memilih sikap sedia mengikuti Dia, Sang Guru, seperti Simon dari Kirene yang turut memanggul salib, seperti para perempuan yang setia mengikuti dan merenungkan jalan salib-Nya, seperti penjahat yang bertobat yang turut disalibkan bersama-Nya.
Betul bahwa perbedaan-perbedaan pendapat akan selalu ada. Kontraposisi akan selalu menyertai sejarah kehidupan bersama umat manusia. Meski demikian, kegelapan Jerusalem yang menyalibkan Kristus 2.000 tahun lampau bukannya tidak terhindarkan. Sebagaimana permufakatan jahat terhadap Yesus bukan tidak terelakkan, perang-agresi-kekerasan bukan fenomena yang tidak terelakkan. Tragedi kemanusiaan bisa dicegah. Kita bisa memilih terang alih-alih kegelapan untuk dunia dan kemanusiaan kita.
M Dam Febrianto SJ, Project Director Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia; IG: martinus_dam_febrianto/?hl=en