”Learning Loss” di Masa Pandemi
Pandemi dikhawatirkan mengakibatkan learning loss bagi pendidikan di Indonesia, kondisi di mana berkurangnya pengetahuan siswa secara akademis.

Dengan situasi pandemi Covid-19 dan pembelajaran jarak jauh yang berlangsung hampir dua tahun, banyak pengamat pendidikan dan pemberitaan di Indonesia yang mengkhawatirkan telah terjadi learning loss bagi siswa Indonesia.
Harian Kompas mengungkapkan, learning loss adalah ”berkurangnya pengetahuan dan keterampilan secara akademis”. Keadaan ini memperlihatkan bahwa siswa dianggap kehilangan pembelajaran atau tidak belajar apa-apa akibat terganggunya proses pembelajaran dalam dunia pendidikan.
Hal ini sebenarnya amat disayangkan karena menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia hanya mengandalkan belajar untuk nilai, mengejar target kurikulum, dan ini diperparah lagi dengan tidak meratanya teknologi komunikasi serta informasi.
Parahnya, pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencoba ”mengatasi” learning loss ini dengan penyelenggaraan Asesmen Nasional (AN) dan merombak kurikulum pendidikan dengan pemikiran dari para birokrat di Jakarta untuk dijalankan di seluruh negeri (top-down) tanpa ada proses gotong royong atau kolaborasi dari guru-guru yang mengajar di kelas-kelas.
Tidak ada evaluasi dan diskusi mendalam apa itu learning loss. Benarkah terjadi learning loss? Dan, apakah pendidikan Indonesia berada dalam krisis?
Belum lagi masalah koneksi yang lemah sehingga mengunduh materi pembelajaran pun menjadi sulit.
Pembelajaran di masa krisis
Finlandia kembali menunjukkan contoh menarik. Dalam diskusi ”Mengajar dalam Situasi Darurat”, Jumat (18/3/2022), Ilona Taimela menceritakan pengalamannya yang unik dalam mengajari anak-anak Finlandia dalam kamp tahanan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Konteksnya adalah anak-anak yang berada dalam kamp tahanan ini akan dikembalikan ke Finlandia nantinya, tetapi karena pandemi korona, prosesnya sedikit tertunda.
Namun, apa pun latar belakang penyebab anak-anak ini berada Suriah, sesuai konvensi PBB—bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dasar—maka Pemerintah Finlandia melalui Kementerian Luar Negeri memberikan pendidikan bagi anak-anak Finlandia di Suriah melalui Yayasan Life-long Learning.
Proyek ini berlangsung sejak April 2020 sampai September 2021 dan Ilona beserta timnya mengajar sekitar 23 anak Finlandia yang berusia 3-19 tahun dalam tahanan ini, dengan kontak telepon genggam para ibu siswa. Metode pembelajaran hanya dengan komunikasi melalui Whatsapp, pesan tulisan, suara, foto/gambar, dan emoji.
Baca juga:Menggali Muatan Pendidikan dalam Kurikulum Merdeka
Tantangannya tentu saja banyak, terutama terkait dengan situasi di daerah kamp tahanan, seperti cuaca panas terik, badai pasir, dan juga sering terjadi patroli penjaga yang dapat mengambil telepon genggam para ibu ini jika ketahuan.
Belum lagi masalah koneksi yang lemah sehingga mengunduh materi pembelajaran pun menjadi sulit. Ditambah lagi latar belakang anak-anak itu sendiri. Para siswa dan ibunya pun berbicara dalam bahasa Inggris, Arab, dan Finlandia. Ilona mengajar dengan nama samaran dan nomor telepon lain yang aman serta dilindungi Pemerintah Finlandia.
Dengan berbagai tantangan tersebut, dalam 1,5 tahun, para siswa menunjukkan perkembangannya. Mereka lebih memahami konteks bacaan dalam bahasa Finlandia dan matematika dasar dari perkalian sampai pembagian. Ilona pun sering membacakan buku cerita dan puisi kepada siswanya. Dan, untuk wilayah kamp tahanan, tanpa hiburan apa pun, materi belajar dan cerita Ilona merupakan hiburan dan sumber informasi yang berharga bagi para siswa dan juga para ibu di Suriah tersebut.

Pentingnya peran guru
Pengajaran dalam situasi darurat ini berhasil karena Ilona memang pendidik senior yang paham perbedaan konteks budaya. Tenaga pengajar atau gurunya mumpuni dan tujuan pendidikannya jelas.
Tujuannya adalah anak-anak Finlandia harus membangun kebiasaan dan rutinitas sehari-hari untuk belajar sebelum kembali ke Finlandia.
Gurunya pun paham akan prinsip-prinsip pedagogi: pentingnya belajar untuk anak, menyiapkan keterampilan dan pengetahuan, bersifat sukarela tidak dipaksa, fleksibel dengan keadaan dan sesuai kemampuan individu siswa, interaktif, serta memberikan harapan positif untuk masa depan.
Guru mempersiapkan materi pembelajaran sebaik-baiknya, tetapi tetap beradaptasi jika siswa menemukan kesulitan. Di akhir minggu, biasanya pada hari Jumat, guru akan mendengarkan hasil kerja siswa.
Saat ada siswa berumur 13 tahun yang tidak mau mengerjakan tugas yang diminta, guru menanyakan kepada sang ibu, topik apa yang disukai anak.
Ternyata dia ingin mengetahui kehidupan binatang-binatang besar, seperti gajah dan jerapah. Maka, Ilona akan mencarikan cerita atau gambar-gambar gajah dan jerapah untuk memotivasi pembelajaran siswanya. Ini merupakan contoh nyata pengajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa atau disebut student-center learning.
Ilona sebagai guru juga memperlihatkan bahwa siswa juga memiliki ruang untuk bertanya, bukan hanya memberikan jawaban.
Ilona sebagai guru juga memperlihatkan bahwa siswa juga memiliki ruang untuk bertanya, bukan hanya memberikan jawaban. Guru juga dapat menunjukkan proses belajarnya. Apabila ia tidak tahu jawabannya, ia dan siswa akan mencoba mencari pemecahan masalah bersama-sama. Bersikap adaptif dan fleksibel.
Akhirnya tujuan pembelajaran dapat dicapai. Siswa membangun struktur rutinitas belajar dalam kesehariannya. Belajar sesuatu dan memahami hal baru setiap hari serta di akhir masa pelajaran, walau waktunya tidak pasti, anak-anak lebih memahami konsep membaca dan berhitung dengan alamiah.
”Learning loss”?
Dalam kaitan pendidikan di masa krisis, baik dalam konflik perang di suatu negara ataupun dalam situasi pandemi, hendaknya kita semua (siswa, pendidik, dan orangtua) bisa melihat situasi ”darurat” dalam konteks besar. Bukan lagi nilai/peringkat yang dipentingkan, melainkan apakah dalam belajar siswa itu paham apa yang dipelajarinya.
Berpikir kritis apa yang sebenarnya menjadi tujuan belajar. Apabila tidak pergi ke sekolah, apakah anak-anak sudah mengerjakan tugasnya? Apakah anak mau berinteraksi? Apakah anak bertanggung jawab?
Apa hal atau kebiasaan baru yang muncul? Dalam keseharian saja, para siswa di masa pandemi semestinya tahu apa gunanya memakai masker dan pentingnya mencuci tangan serta menjaga jarak. Semua hal ini merupakan pembelajaran juga.
Padahal, guru juga pasti kepayahan beradaptasi dengan model pengajaran jarak jauh.
Menyebutkan learning loss selama periode pembelajaran jarak jauh juga merendahkan upaya para guru untuk mengajar di masa pandemi. Padahal, guru juga pasti kepayahan beradaptasi dengan model pengajaran jarak jauh.
Pendidikan bukan hanya soal mentransfer ilmu, melainkan juga memperlihatkan komunikasi manusia yang sesungguhnya, yaitu rasa kasih sayang dan saling menghormati.
Apabila kita hanya memikirkan hasil akhir, nilai dan peringkat, mungkin pendidikan Indonesia seperti kehilangan arah, tetapi pasti ada banyak hal yang kita pelajari di masa pandemi ini.
Belajar di masa darurat dalam kondisi tidak optimal dan hanya menggunakan Whatsapp saja di Suriah itu bisa menunjukkan hasil positif. Mengapa sekolah di Indonesia yang tidak dalam situasi darurat perang masih mengeluh mengenai learning loss? Banyak yang harus dibenahi dalam pendidikan Indonesia, tetapi selama dua tahun masa pandemi tentu banyak yang dipelajari. Ini bukan learning loss!
Ratih D Adiputri, Pengajar di Universitas Jyväskylä, Finlandia

Ratih D Adiputri