Merdeka Belajar Kampus Merdeka dan Pembelajaran Reflektif
MBKM semestinya sudah mempersiapkan dan melatih mahasiswa untuk melakukan refleksi dan konseptualisasi pengalaman. Model pembelajaran reflektif ini harus mulai dilakukan sejak mahasiswa masuk perguruan tinggi.
Oleh
AGUS TRIDIATNO
·5 menit baca
”Learning is the process whereby knowledge is created through the transformation of experience” (David Kolb, 1984).
”Ratusan Ribu Mahasiswa Belajar di Luar Kampus” (Kompas, 19 Januari 2022, halaman 5). Judul tulisan tersebut menggambarkan optimisme program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Tahun 2022, MBKM ditargetkan dapat diikuti 150.000 mahasiswa (tiga kali lipat dari tahun 2021) lewat pelbagai kegiatan, seperti pertukaran mahasiswa, magang/praktik kerja, asistensi mengajar di satuan pendidikan, penelitian/riset, proyek kemanusiaan, kegiatan wirausaha, studi/proyek independen, dan membangun desa/kuliah kerja nyata tematik.
Dengan sangat optimistis, MBKM ingin ”menyiapkan mahasiswa menjadi sarjana yang tangguh, relevan dengan kebutuhan zaman, dan siap menjadi pemimpin dengan semangat kebangsaan yang tinggi” dengan memberi kesempatan mahasiswa mengalami pengalaman belajar di luar program studi selama tiga semester. Sebagaimana disebutkan dalam Buku Panduan MBKM (2020), MBKM merupakan ”salah satu perwujudan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning), yang memberi kesempatan mahasiswa untuk belajar dari pengalaman dari pelbagai kegiatan yang dipilih”.
Melalui MBKM, mahasiswa diharapkan dapat ”mengembangkan inovasi, kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa. Selain itu juga mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan melalui kenyataan dan dinamika lapangan, seperti persyaratan kemampuan, permasalahan riil, interaksi sosial, kolaborasi, manajemen diri, tuntutan kinerja, target, dan pencapaiannya.”
MBKM sejalan dengan teori experiential learning dari David Kolb sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, ”belajar adalah proses menemukan pengetahuan dengan mentransformasikan pengalaman”. Proses transformasi dilakukan melalui refleksi dan konseptualisasi pengalaman yang dalam siklus belajar (cycle of learning) Kolb terdapat pada tahap dua dan tiga dari empat tahap. Menurut Kolb, empat tahap siklus belajar tersebut adalah pengalaman konkret (concrete experience), observasi reflektif (reflective observation of the new experience), konseptualisasi (abstract conceptualization), dan eksperimentasi (active experimentation).
Dalam konteks MBKM, pengalaman yang diperoleh selama tiga semester program MBKM harus dapat ditransformasikan menjadi pengetahuan baru yang menjadi milik masing-masing mahasiswa. Pengetahuan baru itu merupakan hasil refleksi dan konseptualisasi oleh mahasiswa sendiri atas pengalaman selama mengikuti MBKM. Dengan pengetahuan baru itu, mahasiswa akan bereksperimentasi dan berinovasi dalam masyarakat, khususnya dunia kerja.
Persoalannya adalah apakah mahasiswa peserta MBKM telah siap dan terlatih untuk melakukan refleksi dan konseptualisasi pengalaman tersebut.
Pembelajaran reflektif
Mengikuti konsep experiential learning, MBKM semestinya sudah mempersiapkan dan melatih mahasiswa untuk dapat melakukan refleksi dan konseptualisasi pengalaman. Itulah yang pantas dipertanyakan. Melatih dan mempersiapkan mahasiswa untuk mampu melakukan refleksi tidaklah mudah. Tidaklah cukup dengan pelatihan atau coaching selama beberapa hari menjelang pelaksanaan MBKM saja.
Kemampuan membuat refleksi harus dilatihkan sejak mahasiswa masuk semester pertama sehingga pada waktu pelaksanaan MBKM mahasiswa sudah terbiasa dan terampil melakukan refleksi. Itu berarti mahasiswa harus dibiasakan dengan model pembelajaran reflektif selama perkuliahan.
Mengikuti konsep experiential learning, MBKM semestinya sudah mempersiapkan dan melatih mahasiswa untuk dapat melakukan refleksi dan konseptualisasi pengalaman.
Itulah sebabnya Sven Veine dkk (2020) menulis ”Reflection as a Core Student Learning Activity in Higher Education”. Refleksi merupakan kegiatan pokok di perguruan tinggi. Kegiatan belajar di perguruan tinggi bukan hanya mendengar dan mencatat penjelasan dari dosen, melainkan juga mengolah secara mandiri pengalaman belajar yang telah terjadi hingga menjadi pengetahuan otentik milik mahasiswa.
Belajar adalah kegiatan yang direncanakan dan memiliki tujuan untuk melakukan transformasi atau pembaruan dalam hal pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan. Sebelum kuliah, mahasiswa harus sudah mempersiapkan dan merencanakan apa yang akan dipelajari dalam kuliah. Setelah kuliah selesai, mahasiswa harus melihat kembali perubahan dan pembaruan yang terjadi selama kuliah, dalam hal pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan.
Kalau perubahan dan pembaruan itu tidak terjadi, berarti belajar selama kuliah gagal. Sebaliknya, apabila perubahan dan pembaruan itu terjadi, proses belajar selama kuliah berhasil. Setelah kuliah, mahasiswa dapat ”melakukan apa yang mereka ketahui dan mengetahui apa yang mereka lakukan” (They know what they do, they do what they know).
Apakah para mahasiswa kita sudah memahami dan mempraktikkan konsep belajar seperti itu? Apakah mahasiswa selalu mempersiapkan diri sebelum mengikuti kuliah, kemudian merefleksikan kembali apa yang telah dipelajari selama kuliah? Rupa-rupanya jawaban negatif yang dapat kita berikan. Kebiasaan refleksi dan konseptualisasi belum menjadi kebiasaan dan keterampilan mahasiswa kita. Begitu pula mahasiswa peserta MBKM mungkin juga belum berpikir tentang refleksi dan konseptualisasi pengalaman tersebut.
Apabila pengalaman selama MBKM tidak direfleksikan dan dikonseptualisasi, MKBM tidak akan mencapai tujuan yang telah dicanangkan. Akhirnya, MBKM tidak jauh berbeda dengan kuliah kerja nyata (KKN) yang sudah sekian puluh tahun dilakukan. Banyak mahasiswa menganggap KKN sebagai beban, menghambat kuliah, dan menghabiskan banyak biaya. Bahkan, apabila mahasiswa diberi kesempatan untuk memilih, sebagian besar mahasiswa akan memilih tidak mengikuti program KKN.
Sayang sekali, apabila program MBKM yang diharapkan dapat mencapai tujuan yang hebat ternyata tidak berhasil karena mahasiswa tidak mampu melakukan refleksi dan konseptualisasi atas pengalaman selama MBKM. Maka, model pembelajaran reflektif harus mulai dilakukan sejak mahasiswa masuk perguruan tinggi.
Latihan-latihan refleksi dapat dilakukan mengikuti saran Boud dkk (1985) dengan tiga kegiatan. Pertama, menghidupi kembali pengalaman itu dengan menuliskan kembali seluruh pengalaman itu. Kedua, memperhatikan perasaan-perasaan yang timbul sewaktu mengalami pengalaman itu. Ketiga, mengevaluasi pengalaman itu dalam konteks pengalaman sebelumnya. Hal baru apa yang diperoleh? Kemudian, hal baru tersebut diintegrasikan dalam konteks dan situasi yang lain.
Kalau setiap mata kuliah memberi kesempatan mahasiswa melakukan refleksi dan konseptualisasi atas apa yang dialami dalam perkuliahan, pasti mahasiswa akan terlatih dan terbiasa melakukan refleksi dan konseptualisasi atas pengalaman yang diperoleh. Harapannya, pada saat para mahasiswa mengikuti MBKM, mereka sudah terlatih dan terampil melakukan refleksi atas pengalaman MBKM. Dengan demikian, MBKM sangat pantas untuk dilaksanakan secara optimistis.
Agus Tridiatno, Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta