Ukraina
Sejarah bukan serangkaian peristiwa masa lalu. Sejarah adalah narasi orang masa kini tentang masa lampau untuk kepentingan masa kini.

Ariel Heryanto
Ukraina berantakan digempur Rusia. Warga sipil terbunuh, termasuk anak-anak. Yang masih hidup terancam maut. Jutaan yang lain terkatung-katung di negeri asing sebagai pengungsi tanpa disertai keluarga selengkapnya.
Sanksi ekonomi Eropa-Amerika terhadap Rusia melumpuhkan sebagian bisnis elite Rusia. Rakyat Rusia ikut terkena dampaknya, misalnya akses informasi dan transaksi keuangan daring. Kita yang berada jauh dari wilayah perang menanggung akibat naiknya harga-harga kebutuhan hidup.
Mengapa Rusia menyerbu Ukraina? Jawabnya beraneka dan banyak yang saling bertentangan. Apa pun alasannya, serangan brutal militer Rusia layak dikecam dan dihentikan. Dampaknya akan jauh lebih mengerikan jika perang berlanjut dan melebar di luar Ukraina.
Baca juga: Ilmuwan Berserikat
Saya bukan ahli tentang Rusia atau Ukraina. Tetapi dari sejumlah pustaka yang pernah saya baca, terbayang cukup jelas betapa panjang dan rumit hubungan kedua masyarakat. Maka, patut disayangkan jika diskusi tentang perang Rusia-Ukraina (2022) direduksi semata-mata sebagai bagian dari konflik Rusia lawan NATO sejak akhir Perang Dunia II.
Berkali-kali Ukraina memperjuangkan kemerdekaan nasional dan kedaulatan penuh. Berkali-kali usaha itu jatuh dan bangun. Sukses yang sempat tercapai tak pernah tuntas dan berusia panjang. Sepanjang sejarahnya, berkali-kali Ukraina diserang berbagai tetangganya. Berkali-kali terbelah perang saudara. Semua itu terjadi sebelum dan sesudah ia terseret dalam dua kali Perang Dunia.
Sebelum Sumpah Pemuda diikrarkan di Indonesia (1928), Ukraina sempat menjadi republik menyusul revolusi Rusia (1917). Ukraina salah satu negara yang ikut mendirikan PBB (1945). Ia menjadi anggota PBB pertama yang mensponsori pembahasan pertama di Dewan Keamanan PBB tentang nasib kemerdekaan RI yang terancam mantan penjajahnya (1946).
Setelah merdeka dari Uni Soviet (1991) Ukraina terombang-ambing dua kiblat pemerintahan yang bertolak belakang. Presiden Yanukovych (2010-2014) yang pro-Rusia digantikan Presiden Poroshenko (2014-2019) yang anti-Rusia. Namun, rakyat menganggap keduanya bagian dari kelas elite yang korup. Terpilihnya Presiden Volodymyr Zelenskyy (2019) dari luar lingkar elite politik dan elite bisnis merupakan harapan baru bagi rakyat pemilihnya yang pro-demokrasi.
Ada faktor lain yang memperumit sengketa Rusia-Ukraina. Uni Soviet, Rusia, maupun Ukraina mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan. Perubahan itu sedikit banyak diikuti perubahan pemahaman tentang sejarah dan batas wewenang antara Rusia dan Ukraina. Pejabat NATO sendiri tidak semuanya seragam atau konsisten dalam serangkaian negosiasi dan kesepakatan dengan Uni Soviet tentang pembagian batas wewenang masing-masing pasca-Perang Dunia II.
Baca juga: Blusukan
Singkatnya, sulit mengukur sejauh mana Rusia atau NATO layak disalahkan atau dibenarkan dalam krisis mutakhir di Ukraina. Kebanyakan konflik besar dan berkepanjangan di mana pun bukan kisah pihak serba baik/benar lawan pihak lain yang serba jahat/salah. Terlepas rumitnya sengketa Rusia atau NATO, rakyat Ukraina punya cita-cita sendiri yang layak dihormati.
Vladimir Putin menggunakan sejarah masa lampau dan geopolitik masa kini sebagai dalih menyerbu Ukraina. Semua itu disanggah berbagai pihak lain. Sejarah tidak pernah tunggal walau setiap negara membakukan sebuah versi resmi dan menindas versi-versi lain.
Sejarah bukan serangkaian peristiwa masa lalu. Sejarah adalah narasi orang masa kini tentang masa lampau untuk kepentingan masa kini. Bagi yang berminat, sejarah sengketa Rusia atau Ukraina bisa diperdebatkan lebih jauh. Masalahnya lain ketika debat berubah menjadi serbuan militer.
Presiden Ukraina ini berdiri tegak menghadapi gempuran maut Rusia. Ia menolak tawaran Amerika untuk lari dari Ukraina dan menjalankan pemerintahan dalam pengasingan.
Kini perhatian dunia selayaknya terpusat pada upaya menghentikan perang dan meringankan derita para korban dan pengungsi. Memperpanjang debat mana yang lebih bersalah, Rusia atau NATO, bisa mubazir. Debat elitis itu mengabaikan rakyat jelata, korban perang di kedua pihak. Juga mengabaikan hak rakyat Ukraina menentukan nasib sendiri, entah sesuai atau bertentangan dengan Rusia atau NATO.
Di medan perang Ukraina bukan tandingan Rusia. Seperti dulu Indonesia ketika digempur agresi Belanda pasca-proklamasi 1945. Atau Timor Timur ketika diserbu Indonesia, Irak dan Afghanistan digempur Amerika Serikat, atau Palestina menghadapi agresi Israel. Tapi sejarah penuh kejutan.
Di luar dugaan Rusia, Ukraina tidak takluk dalam dua hari. Seminggu setelah Ukraina diserbu Rusia, dunia dikejutkan oleh sosok Zelenskyy yang akrab dipanggil Vova. Presiden Ukraina ini berdiri tegak menghadapi gempuran maut Rusia. Ia menolak tawaran Amerika untuk lari dari Ukraina dan menjalankan pemerintahan dalam pengasingan.
Protes anti-perang Rusia marak di berbagai kawasan dunia, termasuk di RRC. Semua itu mungkin tak dipedulikan Putin. Namun, ia tak bisa mengabaikan kecaman rakyatnya sendiri. Ribuan ilmuwan Rusia menulis petisi anti-perang. Rakyat Rusia dari berbagai latar belakang turun ke jalan di puluhan kota Rusia tanpa izin resmi. Ribuan demonstran ditahan, tetapi demonstrasi tidak terhenti. Media independen dibungkam.
Protes global anti-perang Rusia punya alasan beraneka. Tak semua peduli amat pada pertikaian antara elit Rusia dan NATO. Bukannya sengketa Rusia-NATO dianggap tidak ada atau tidak penting. Gejolak dunia dihayati dan dimaknai berbeda-beda. Dunia tidak sesempit pertikaian Rusia dan NATO.
Dunia memang timpang. Yang kuat menindas yang lemah. Namun, di mana pun tak pernah ada kelompok elite sekuat apa pun yang secara mutlak mampu mengendalikan sepenuhnya kehidupan kelompok yang lebih lemah. Di Rusia, Putin dan seluruh aparat negaranya tidak mampu sepenuhnya mengendalikan kemauan rakyatnya. Apalagi di Ukraina. Yang sama terjadi di sejumlah negara NATO.
Kecilnya virus Covid-19 tak teramati mata kasat. Namun, ia mampu mengobrak-abrik peradaban dunia abad ini. Tidak semua yang kecil bisa dijadikan boneka mainan yang besar. Juga rakyat Ukraina, Rusia, atau Ero-Amerika di bawah penguasa mereka. Dalam sejarahnya, Ukraina berkali-kali ditabrak kekuatan lebih besar. Berkali-kali ia jatuh dan bangkit kembali.
Ariel Heryanto,Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia