Menyoal Birokratisasi Sains pada Institusionalisasi BRIN
Integrasi kelembagaan litbang melalui BRIN merupakan bagian dari pendekatan untuk melakukan transformasi sistem administrasi dengan prinsip-prinsip profesionalisme.
Tulisan ini merupakan tanggapan dari polemik berkepanjangan dari pembentukan BRIN melalui integrasi lembaga litbang pemerintah. BRIN menjadi sebuah kasus yang unprecendented, radikal, dan unik dari banyak kasus reformasi sektor publik yang berkembang.
Tahun 1990-an misalnya, Korea Selatan melakukan reformasi kelembagaan litbang untuk penguatan otonomi dan kapasitas lembaga litbang yang ada. Namun, penulis berpendapat, pola tersebut tidak bisa menjadi rujukan bahwa reformasi di Indonesia perlu melakukan pola yang sama. Masing-masing negara adalah unik dengan perbedaan karakteristik sistem administrasi dan besaran permasalahan yang dihadapi.
Proses integrasi kelembagaan litbang ke dalam BRIN menggambarkan perubahan kebijakan yang paradigmatik. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menempatkan sains dan teknologi sebagai aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perubahan paradigmatik ini dilakukan melalui perubahan UU Sisnasiptek dari UU Nomor 18 Tahun 2002 ke UU Nomor 11 Tahun 2019, menerbitkan Perpres tentang BRIN, dan mengubah nomenklatur kelembagaan litbang di Indonesia. Pada konteks perubahan kebijakan yang paradikmatik ini, institusionalisasi BRIN sebagai bagian tindakan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma baru dalam melakukan manajemen aktivitas litbang dan inovasi.
Baca juga: BRIN Tanpa ”Brain”
Polemik muncul dipicu dari proses dan tindakan integrasi kelembagaan ke dalam BRIN dengan meleburkan entitas utama litbang yang ada dan menyatukannya ke BRIN. Satu hal yang mengemuka adalah bahwa pengelolaan aktivitas litbang digambarkan sebagai birokratisasi sains dengan mekanisme sentralisasi. Muncul tendensi opini publik bahwa sentralisasi sebagai sesuatu yang buruk dan akan menekan kebebasan ilmiah SDM litbang di Indonesia.
Tujuan keseimbangan
Kita perlu kembali pada pemahaman bahwa sentralisasi/desentralisasi tidak selayaknya dipandang sebagai sesuatu yang absolut. Sentralisasi/desentralisasi merupakan sebuah mekanisme untuk tujuan keseimbangan dalam menjalan sebuah organisasi. Tidak ada yang benar-benar sentralisasi atau desentralisasi. Derajat sentralisasi/desentralisasi merupakan pilihan mekanisme koordinasi dengan mempertimbangkan besaran isu dan permasalahan yang dihadapi.
Mengacu pada permasalahan rendahnya kapasitas dan critical mass, serta adanya masalah koordinasi antar entitas litbang, pola umum yang berkembang adalah agen dan aktor perubahan akan melakukan tindakan reformasi berbasis perspektif struktur dengan mekanisme koordinasi hirarki. Pada konteks BRIN sebagai sebuah organisasi, derajat sentralisasi dan sentralisasi perlu dikaji dari mekanisme koordinasi yang digunakan. Pertanyaan sentralisasi dan desentralisasi akan selalu muncul pada konteks bagaimana organisasi melakukan spesialisasi kerja dan membangun mekanisme koordinasi yang efektif untuk mencapai sebuah tujuan.