Kini pasar modal menjadi opsi yang kian menarik dalam penggalangan dana. Namun ada sejumlah tantangan penting bagi industri pasar modal untuk terus melanjutkan kinerja unggulnya.
Oleh
PAUL SUTARYONO
·5 menit baca
Meski diterpa pandemi Covid-19, pasar modal Indonesia telah menorehkan kinerja kinclong di 2021. Bagaimana tantangan pasar modal pada 2022? Data Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 9,21 persen dari 5.979,07 per Desember 2020 menjadi 6.562,90 per Desember 2021. Kapitalisasi pasar saham IHSG naik 18,12 persen dari Rp 6.968,94 triliun menjadi Rp 8.231,80 triliun.
Nilai perdagangan, frekuensi transaksi, dan volume transaksi naik masing-masing 45,7 persen, 91,3 persen, dan 81 persen. Jumlah perusahaan yang tercatat (listed) naik 7,43 persen dari 713 menjadi 766. Perusahaan yang menawarkan saham perdana (initial public offering/IPO) naik 5,88 persen dari 51 menjadi 54. Ini pencapaian kuantitatif tertinggi dibandingkan negara ASEAN lain, seperti Thailand 37, Malaysia 29, Singapura 8, dan Filipina 5.
Tantangan 2022
Ada beberapa tantangan pasar modal pada 2022. Pertama, selama ini umumnya dalam menggalang dana (fund raising) sebagai tambahan modal kerja, perusahaan akan lebih suka mengajukan kredit ke bank daripada di pasar modal. Di pasar modal, perusahaan dapat menerbitkan IPO saham, obligasi dan sukuk, baik oleh pemerintah maupun oleh korporasi.
Namun, kini pasar modal menjadi opsi yang kian menarik dalam penggalangan dana. Jumlah dana sebagai hasil penerbitan saham melonjak 862,30 persen dari Rp 26,34 triliun per Desember 2020 menjadi Rp 253,47 triliun per November 2021. Luar biasa!
Jumlah dana hasil penerbitan obligasi dan sukuk pemerintah juga naik 6,04 persen dari Rp 760,66 triliun menjadi Rp 806,63 triliun. Untuk obligasi korporasi, naik 6,91 persen dari Rp 85,27 triliun ke Rp 91,16 triliun dan sukuk korporasi naik 68,41 persen dari Rp 7,09 triliun ke Rp 11,94 triliun.
Ini menjadi tantangan penting bagi industri pasar modal untuk terus melanjutkan kinerja unggulnya. Sebaliknya, tantangan serius bagi industri perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit di tengah persaingan di era normal baru.
Meski diterpa pandemi Covid-19, pasar modal Indonesia telah menorehkan kinerja kinclong di 2021.
Kedua, saham yang mampu menjadi bintang dan penopang utama kinerja pasar modal di 2021 adalah saham bank digital dan saham sektor teknologi. Terdapat 10 saham berkapitalisasi pasar terbesar di BEI.
Mereka ialah Bank Central Asia (BBCA) tetap menjadi nomor wahid Rp 899,91 triliun (naik 7,83 persen), Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Rp 621,75 triliun (21,62 persen), Telkom Indonesia (TLKM) Rp 400,21 triliun (22,05 persen), Bank Mandiri (BMRI) Rp 327,83 triliun (11,15 persen), dan Astra International (ASII) Rp 230,76 triliun (turun 5,39 persen).
Kinerja itu dibayangi Bank Jago (ARTO) Rp 221,70 triliun (374,92 persen), Chandra Asri Petrochemical (TPIA) Rp 158,49 triliun (39,02 persen), Unilever Indonesia (UNVR) Rp 156,80 triliun (turun 44,08 persen), Elang Mahkota Teknologi (EMTK) Rp 139,63 triliun (81,23 persen), Bank Negara Indonesia (BBNI) Rp 125,88 triliun (9,43 persen) (Kontan, 3/1/ 2022).
Tanpa diduga, bank digital anyar dari bank papan bawah, seperti Bank Jago (ARTO), mampu mengungguli bank papan atas, seperti BNI, dalam kapitalisasi pasar. Selain Bank Jago, terdapat pula Bank Agroniaga (AGRO), Bank Neo Commerce (BBYB), Bank Capital (BACA), Bank Harda Internasional (BBHI), dan Bank QNB (BKSW) yang bakal menjadi bintang. Plus BCA Digital yang segera melantai di bursa efek.
Ini menunjukkan, bank tidak hanya dituntut mampu melakukan adaptasi, tetapi juga inovasi dan transformasi digital untuk menjalankan fungsi intermediasi keuangan. Bank tradisional suka tak suka harus mengakui bank digital telah jadi pesaing berat di pasar modal.
Ketiga, menurut data BEI, jumlah investor melejit 87,66 persen dari 3,81 juta Desember 2020 menjadi 7,15 juta November 2021. Dari 7,15 juta investor itu, 80 persen dari generasi Y atau milenial (lahir 1981-1995) dan generasi Z (1996-2010). Mereka investor ritel (individu), bukan investor korporasi.
Keempat, pada dasarnya investor ritel belum menguasai seluk-beluk saham dan hanya ikut-ikutan dalam bermain saham sehingga bisa jadi akan jadi pecundang. Mereka perlu memahami analisis fundamental sebelum investasi saham.
Analisis fundamental adalah teknik analisis saham yang fokus pada beberapa faktor seperti kinerja perusahaan, persaingan usaha, industri, hingga kondisi ekonomi (makro ataupun mikro). Kekurangpahaman terhadap faktor fundamental, selain membawa potensi risiko kerugian, juga berakibat saham bank papan atas yang masuk indeks LQ45 justru kurang dilirik. Padahal, 45 saham yang masuk LQ45 merupakan saham yang likuid dan memenuhi kriteria tertentu dan akan dievaluasi setiap enam bulan.
Kelima, pasar modal harus terus melakukan sosialisasi dan edukasi terutama ke generasi Y dan Z. Literasi investasi juga penting untuk menepis laju investasi bodong alias abal-abal, baik melalui koperasi, multi level marketing (MLM), aset kripto, maupun pegawai bank yang mengaku sebagai pejabat bank.
Keenam, sebagian besar bank digital di Indonesia masih butuh tambahan modal menjadi minimal Rp 3 triliun pada akhir 2022 guna memenuhi aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lewat Peraturan OJK No 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, OJK menaikkan modal inti minimum bank dari Rp 1 triliun jadi Rp 3 triliun, efektif 17 Maret 2020. Tujuannya, untuk memperkokoh struktur, ketahanan dan daya saing perbankan.
Ketujuh, langkah untuk menambah modal inti itu akan mendorong laju konsolidasi perbankan melalui merger dan akuisisi. Tegasnya, investor asing akan memiliki kesempatan lebih luas untuk menguasai mayoritas saham bank papan bawah. Untuk itu, OJK hendaknya bisa membatasi mayoritas kepemilikan saham bank lokal oleh investor asing paling tinggi 49 persen, bukan 99 persen seperti saat ini. Ini penting agar pemerintah tetap bisa mengendalikan bank lokal.
Kedelapan, OJK telah menegaskan, bank digital dan bukan bank digital tak ada bedanya. Bedanya hanya pada bisnis model. Artinya, bank digital juga harus mengucurkan kredit lebih deras. OJK wajib mengatur dan mengawasi bank digital dengan aturan yang lebih tegas, dengan tetap membuka kesempatan berkembang.
Kesembilan, lahirnya dua indeks berbasis lingkungan, sosial, dan tata kelola, yakni Indeks ESG Sector Leaders IDX Kehati dan Indeks ESG Quality 45, pada 20 Desember 2021, jadi simbol prospek saham hijau di pasar modal pada 2022.
Kesepuluh, selain melakukan sosialisasi dan edukasi, OJK juga wajib mengantisipasi berbagai risiko kejahatan siber.
Paul Sutaryono Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI