Substansi Agama
Pengalaman keagamaan yang paling asali adalah keheningan dan kedamaian. Dalam keheningan orang bisa mendengarkan Tuhan, bisa merenungkan sabda Tuhan, bisa mengenal dirinya yang berbeda dengan orang lain.
Sesungguhnya agama dan pemeluknya berada dalam satu entitas yang saling mengandaikan. Pengalaman yang paling primordial dari agama adalah keheningan dan kedamaian
Kasus Ferdinand Hutahaean hanyalah sebutir debu di hamparan kisah kelabu tentang masalah agama yang tak pernah menemui titik akhirnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat sensitif dan rentan dengan masalah agama.
Agama terlihat hadir dengan dua wajah yang kontra. Di satu sisi agama oleh sebagian orang mengajarkannya dengan penuh keteduhan, cinta kasih, dan pemaaf. Sementara di lain pihak, agama oleh sebagian orang diajarkannya dengan penuh kebencian dan provokasi. Khotbah, ceramah dan dakwah dari para pemuka agama menjadi cerminan dari wajah agama itu sendiri.
Baca juga: Memahami Keyakinan Agama
Agama apapun di dunia ini, dia hadir dan atau diadakan oleh manusia untuk memberi ingat pada manusia akan tujuan dari kehidupannya yang di dalamnya ada pandu yang memberi arah untuk sampai pada tujuan itu. Artinya agama adalah sebuah sarana yang mamberi arah sekaligus kesadaran pada manusia. Tetapi agama juga sekaligus sebentuk keyakinan yang dimaterialisasikan dalam sebuah institusi untuk mengorganisir keyakinan itu sendiri.
Sampai di sini kita bisa melihat ada ironinya bahwa keyakinan privat seseorang diinstitusikan, yang seharusnya tidak perlu. Isi dari setiap keyakinan itu adalah kebenaran yang menghidupkan, cinta yang menggairahkan, dan rasa yang menampakkan solidaritas. Agama harus menjadi peneduh sekaligus menghidupkan dan memberi arah pada jalan benar dan suci (Kleden, 2021).
Keintian agama
Pertanyaan paling mendasar dari segala pengalaman keagamaan kita adalah, apa yang menjadi substansi dari agama itu sendiri? Apa yang menjadi keintian dari diadakannya dan dihadirkannya sebuah agama bagi manusia?
Substansi agama yang paling primordial adalah keheningan dan kedamaian. Dalam arti yang paling primordial, agama adalah tempat pelarian dari kekacauan dunia (fuga mundi). Agama menjadi tempat pelarian dari kegaduhan dan maksiat dunia karena orang merasa bahwa hanya dalam hening dan damai Tuhan hadir di sana untuk memberikan ajaran dan pesannya. Dunia dengan segala ingar bingarnya adalah tempat dosa. Dunia sosial adalah dosa, maka orang harus pergi dari dunia dan mengasingkan diri untuk menemukan keheningan dan kedamaian. Inilah substansi agama yang paling primordial.
Substansi agama yang paling primordial adalah keheningan dan kedamaian. Dalam arti yang paling primordial, agama adalah tempat pelarian dari kekacauan dunia.
Menjadi jelas bagi kita sekarang bahwa, pengalaman keagamaan yang paling asali adalah keheningan dan kedamaian. Dalam keheningan orang bisa mendengarkan Tuhan, dalam keheningan orang bisa merenungkan sabda Tuhan. Dan dalam keheningan pula orang bisa mengenal dirinya yang berbeda dengan orang lain yang adalah karya terbesar dari Yang Tertinggi (Allah).
Demikianpun dalam hal kedamaian. Rahim dari agama adalah kedamaian itu sendiri. Anak kandung dari agama adalah kedamaian itu sendiri. Agama hanya bisa bersanding dengan kedamaian karena di dalam kedamaian itu segala keutamaan dan kesejatian hidup menjadi hadir. Keutamaan dan kesejatian hidup yang dimaksud adalah kasih, cinta, maaf, ugahari, toleransi, simpati dan empati, serta peduli dan tolong menolong. Agama hanya bisa dikatakan agama kalau dia hadir dengan wajah yang demikian ini.
Agama di Indonesia
Untuk mencerna agama di Indonesia, kita bisa saja kesulitan untuk mulai dari mana. Hal ini terjadi karena agama selalu hadir dengan dua wajah biner yang saling bertolak belakang. Agama seringkali hadir dengan wajah yang kasar dan beringas yang sangat provokatif dan berpotensi menghancurkan keadaban bersama.
Dalam konteks kita di Indonesia pertanyaan yang selalu muncul di sanubari kita adalah mengapa agama di Indonesia sering sekali hadir dalam ruang gaduh, bising, dan malah sering mencederai sesamanya, ciptaan yang lain tanpa ada rasa bersalah malah dianggap sebagai bagian dari ibadah? Inilah ironi dalam agama. Inilah irasionalitas destruktif dari agama.
Mengapa agama di Indonesia sering sekali hadir dalam ruang gaduh, bising, dan malah sering mencederai sesamanya, ciptaan yang lain tanpa ada rasa bersalah malah dianggap sebagai bagian dari ibadah?
Hemat saya ada sesat pikir yang sangat mendasar di sini. Orang tercabut dari akar keagamaannya yang seharusnya membawah keheningan dan kedamaian. Orang tercabut dari misi asali dari agama itu sendiri untuk menebar dan menciptakan keheningan dan kedamaian di seluruh dunia. Agama menjadi kerdil, Tuhan menjadi kecil, ruang surga menjadi sempit, orang yang beragama menjadi egois. Ini terjadi karena orang tercabut dari akar primordialnya tanpa disadari. Surga yang diwartakan menjadi palsu.
Agama akhirnya tidak lagi menjadi tempat pelarian dari segala kegaduhan kebisingan dan kemaksiatan dunia, karena agama sendiri sudah menjadi bagian dari itu semua. Dia sudah menjadi kotor oleh pemeluknya sendiri. Agama menjadi gerah yang membuat orang tidak lagi merasa hening dan damai di dalamnya. Malah sekarang orang mulai lari dari agama untuk mencari ketengan dan kedamaian di luar agamanya.
Agama menjadi kehilangan kesejatiannya. Agama menjadi hanya sebuah lembaga sosial tempat orang berkumpul dan hanya untuk berkumpul dan tidak lagi untuk merasakan keheningan dan kedamaian. Kesejatian agama sedang pudar. Substansi agama sedang berjarak dari realitas sosial manusia. Padahal kesucian dan kesejatian sebuah agama terbukti dari penampakan kehidupan sosialnya yang damai, pemaaf, penuh cinta, dan mengejar kebaikan bersama berdasarkan pada deskripsi empirik hic et nunc.
Baca juga: Politisasi dan Komodifikasi Agama
Kalau memang demikian, apa yang masih tersisa dari agama? Pertanyaan ini kiranya menjadi bahan permenungan bersama, karena kita semua yang adalah orang-orang beragama mempunyai kebebasan untuk menghadirkan wajah agama di tengah dunia dengan cara kita masing-masing. Kendatipun demikian, dengan cara apapun kita menghadirkan agama di dalam konteks dan dunia kita masing-masing, pesan utama dari setiap pengalaman kegamaan kita adalah, janganlah kita tercabut dari akar keagamaan kita yakni menghadirkan keheningan dan kedamaian. Hanya dengan cara ini kita bisa memelihara kebersamaan di Indonesia ini dan memberi jaminan akan umur panjang kebersamaan kita di bawah payung merah putih Indonesia.
Dony Kleden, Rohaniwan Katolik dan Pemerhati Masalah Sosial Politik