Menjadi ujian sejarah, apakah Rusia dan AS bisa menyelesaikan krisis Ukraina melalui perundingan atau penggunaan senjata. Banyak kalangan sangat mengharapkan penyelesaian damai.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Spekulasi tentang kemungkinan bahaya konfrontasi militer atas krisis Ukraina terdengar semakin kencang dan mencemaskan. Tanda bahaya perang terlihat kian jelas.
Apalagi, upaya penyelesaian melalui meja perundingan selalu menemui jalan buntu. Rusia terus memobilisasi mesin perang dan menyiagakan sekitar 100.000 personel pasukan ke dekat garis perbatasan Ukraina. Pasukan Ukraina mengambil posisi berhadap-hadapan dengan pasukan Rusia. Ukraina disebut-sebut lebih siap menghadapi pasukan Rusia dibandingkan tahun 2014.
Ketegangan dilaporkan meningkat cepat karena Amerika Serikat (AS) dan sekutunya pekan ini mulai menyiagakan ”kekuatan yang dibutuhkan” untuk membantu Ukraina jika sampai diserang Rusia. Konsolidasi kekuatan militer AS dilakukan setelah proses perundingan dengan Rusia tentang penyelesaian krisis Ukraina menemui jalan buntu.
Posisi Rusia dan AS secara diametral memang berbeda dan bertentangan. Rusia menolak keras Ukraina bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), musuh Pakta Warsawa di era Perang Dingin. Sebaliknya, AS dan negara Barat lain mendukung keras keinginan Ukraina bergabung dengan NATO. Dukungan itu dikatakan tak bisa ditawar-tawar. AS menegaskan, keanggotaan NATO bersifat terbuka.
Segera terbayang Ukraina sebagai negara dan bangsa berdaulat terjepit di tengah pertarungan kepentingan Rusia dan AS. Sungguh memprihatinkan, sebagai negara dan bangsa berdaulat, Ukraina tampak kehilangan kemandirian dalam menentukan pilihan, termasuk politik luar negeri. Campur tangan Rusia dan AS mengancam kedaulatan negeri itu.
Krisis Ukraina berawal dari intervensi Rusia yang menolak keinginan negara tetangganya itu bergabung dengan NATO. Intervensi Rusia itu mengundang campur tangan AS sebagai pemimpin NATO. Dalam krisis Ukraina, terlihat pertarungan pengaruh yang terus berlangsung antara Rusia dan AS meski Perang Dingin sudah berakhir tiga dasawarsa lalu.
Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet tidak ingin kehilangan pengaruh atas negara bekas pecahan Uni Soviet, seperti Ukraina. Sebaliknya, AS ingin menarik sebanyak-banyaknya bekas pecahan Uni Soviet ke dalam aliansinya.
Menjadi ujian sejarah, apakah Rusia dan AS bisa menyelesaikan krisis Ukraina melalui perundingan atau penggunaan senjata. Banyak kalangan sangat mengharapkan penyelesaian damai. Namun, tak sedikit pula yang tetap khawatir tentang kemungkinan terjadinya konflik militer secara terbuka. Rusia selama beberapa pekan terakhir menyiagakan sekitar 100.000 personel militer di perbatasan Ukraina.
Sudah muncul spekulasi tentang Rusia menginvasi Ukraina, seperti tahun 2014. Rusia juga dinilai mendukung gerakan separatis di wilayah timur Ukraina. Jika sampai terjadi konflik senjata lagi, ancamannya diperkirakan jauh lebih runyam. Tak hanya karena persenjataan Ukraina bertambah hebat, tetapi juga tentang kemungkinan militer AS dan negara Barat lain mendukung Ukraina.