Sekolah adalah lembaga pewarisan budaya yang efektif. Sudah saatnya sekolah bergerak memberi kontribusi nyata bagi pemajuan budaya untuk menguatkan pendidikan.
Oleh
KURNIAWAN ADI SANTOSO
·4 menit baca
Waktu itu kita marah kepada Malaysia. Berkali-kali budaya Indonesia diklaim sebagai budaya Malaysia. Ada reog ponorogo, wayang kulit, lagu Rasa Sayange, batik, rendang, angklung, tari Pendet dan tari Piring, dan Kuda Lumping yang tercatat dalam akta budaya Negeri Jiran. Kita protes kepada pemerintah Malaysia. Namun Malaysia membantah mengklaim. Mereka sekadar mencatatkan di warisan budaya negaranya.
Dari peristiwa klaim budaya itulah kita pun sadar budaya sendiri harus dijaga, dirawat, dan dilestarikan. Pemerintah kemudian menginventarisasi budaya-budaya adiluhung dari Sabang hingga Merauke. Kemudian sebagian kebudayaan didaftarkan ke UNESCO dan telah mendapat pengakuan sebagai warisan budaya Indonesia seperti batik, angklung, gamelan, wayang kulit, noken, subak bali, tari Saman, dsb.
Meski begitu, adanya globalisasi serta makin terbukanya pandangan masyarakat terhadap budaya luar membuat sebagian budaya daerah hampir punah. Statistik Kebudayaan 2016 yang dirilis Kemendikbudristek mencatat total kesenian yang diperkirakan akan punah mencapai 167. Antara lain adalah seni pertunjukan sebanyak 30 buah, seni rupa (1), seni musik (33), seni tari (58), teater (6), kriya (1), tradisi lisan (1), sastra lisan (5), permainan rakyat (4), tutur (20), beladiri tradisional (4), dan tradisi (2).
Di sinilah agenda pengarusutamaan kebudayaan (mainstreaming culture) menjadi penting. Seperti tercermin dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Pasal 7 yang berbunyi “pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah melakukan pengarusutamaan kebudayaan melalui pendidikan untuk mencapai tujuan pemajuan kebudayaan”. Jadi, semua insan yang terkait pendidikan, dapat kembali merangkai hubungan pendidikan dan kebudayaan.
Kemendikbudristek mengajak sekolah untuk kembali melekatkan kebudayaan dalam pendidikan. Ini merupakan upaya sadar bahwa pendidikan dan kebudayaan bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Pendidikan harus berbudaya, dan kebudayaan harus ada dalam pendidikan.
Kita tahu di masa Sekolah Taman Siswa, kebudayaan sangat diperhatikan. Kesenian daerah digali dan kemudian ditingkatkan untuk dikembangkan. Misalnya, tembang dan dolanan diajarkan untuk memperhalus budi anak. Pun tari-tarian diajarkan tiap hari Rabu di pendapa Taman Siswa. (Soeratman, 1985:86).
Mengenai masalah kebudayaan, Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa kebudayaan itu buah budi manusia yang beradab. Kebudayaan juga merupakan buah perjuangan manusia. Maka, kebudayaan harus dimajukan dan diperkaya.
Kebudayaan itu buah budi manusia yang beradab. Kebudayaan juga merupakan buah perjuangan manusia. Maka, kebudayaan harus dimajukan dan diperkaya.
Selanjutnya, Ki Hajar menawarkan solusinya dengan asas “Trikon”, yakni kontinuitas, konvergen, dan konsentrisitas. Kontinuitas, dalam arti secara terus-menerus dan berkesinambungan mengembangkan kebudayaan asli. Sedang konvergen berarti secara selektif dan adaptatif memadukan kebudayaan sendiri dengan kebudayaan asing yang dipandang perlu untuk kemajuan bangsa. Lalu konsentris, yakni menuju ke arah kesatuan budaya dunia dengan tetap memiliki kepribadian sendiri di dalam lingkungan kemanusian sedunia (Dewantara 2013a: 97).
Ki Hajar juga mengemukakan solusi mengenai kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia, yakni dengan mengutamakan asimilasi. Kita pilih yang baik dari budaya luar, lalu diperbaiki dengan cara menambah, mengurangi, atau mengubah, hingga jadi budaya yang baru milik kita. Dan dapat memperkaya kebudayaan sendiri.
Bergerak
Lalu bagaimana greget sekolah saat ini untuk memajukan kebudayaan? Sistem pendidikan kita yang telanjur mementingkan aspek kognitif menjadikan pembelajarannya menyisihkan aspek keterampilan dan afektif. Alhasil, pembelajaran seperti seni budaya menjadi terabaikan.
Pada kurikulum sekolah yang sebenarnya dibuat penuh oleh sekolah karena kita pakai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan belum terlihat menuju arah memajukan budaya. Dalam visi misi sekolah tak lebih copy paste edit dari tahun ke tahun tanpa membubuhkan unen-unen kebudayaan. Jelaslah di sini sekolah belum melaksanakan ajakan Kemendikbudristek itu.
Memang pada mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya (SBdP) Kurikulum 2013, peserta didik dikenalkan pengertian budaya, jenis budaya, unsur-unsur budaya, macam-macam budaya di daerah-daerah, serta cara merawatnya. Sayangnya kompetensi yang dicapai peserta didik lebih pada pengetahuan dan sikap untuk menumbuhkan karakter bangsa, belum sampai pada anak dapat melakukan budaya dan dilibatkan langsung dalam usaha melestarikannya.
Sayangnya kompetensi yang dicapai peserta didik lebih pada pengetahuan dan sikap untuk menumbuhkan karakter bangsa, belum sampai pada anak dapat melakukan budaya dan dilibatkan langsung dalam usaha melestarikannya.
Nah, sudah saatnyalah sekolah bergerak memberi kontribusi nyata bagi pemajuan budaya untuk menguatkan pendidikan. Setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan sekolah. Pertama, sekolah hendaknya punya visi misi memajukan budaya. Sekolah bersama komite, tokoh masyarakat, dan perwakilan pemerintah desa duduk bareng menggali potensi kearifan lokal daerah. Nanti tiap sekolah akan punya budaya lokal yang diunggulkan.
Kedua, sekolah menuangkan visi misi pemajuan budaya dalam kurikulum pembelajaran. Ini dibantu narasumber bisa dari dinas pendidikan setempat atau perguruan tinggi. Budaya lokal yang diangkat dimasukkan ke dalam mapel muatan lokal. Pada dasarnya mapel muatan lokal berisi mapel yang ditujukan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah (Depdikbud, 1987).
Ketiga, sekolah menggandeng seniman/budayawan sebagai pengajar. Seniman bisa membantu sekolah yang kekurangan guru seni dan fasilitas kesenian, sehingga siswa bisa mengakses kegiatan artistik melalui interaksi secara langsung.
Keempat, mengadakan festival budaya tiap tahun. Sekolah bekerjasama dengan dinas pendidikan setempat untuk menyelenggarakan festival budaya yang pesertanya adalah sekolah se-kabupaten. Festival ini sebagai unjuk kebolehan siswa serta upaya membangkitkan memori kolektif masyarakat akan kekayaan seni budaya kita.
Akhir kata, sekolah adalah lembaga pewarisan budaya yang efektif. Dari sanalah kita sesungguhnya bisa menegakkan eksistensi budaya nusantara seraya memajukannya.
Kurniawan Adi Santoso, Guru SDN Sidorejo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur