Setelah mengalami kemandekan lebih dari enam tahun,revisi UU yang merupakan payung besar tata kelola penyiaran ini kembali bergulir. DPR kembali menempatkan rencana revisi UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 sebagai prioritas.
Oleh
MASDUKI
·5 menit baca
Januari ini, DPR kembali menempatkan rencana revisi UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 sebagai prioritas legislasi nasional. Setelah mengalami kemandekan lebih dari enam tahun, revisi UU yang merupakan payung besar tata kelola penyiaran ini kembali bergulir. Proses legislasi revisi UU ini tertunda lama karena perbedaan pandangan terkait model manajemen frekuensi digital terestrial. Pada 2020, kontroversi masalah ini mencapai antiklimaks. Pemerintah dan DPR menitipkan pengaturan digitalisasi penyiaran pada UU Cipta Kerja No 11/2020.
Setelah pengesahan UU Cipta Kerja, pertanyaan yang muncul adalah: sejauh mana urgensi dan relevansi kita untuk melakukan revisi UU Penyiaran?
Tulisan ini menyodorkan tiga agenda prioritas. Pertama, revisi UU Penyiaran penting untuk mengisi kekosongan regulasi yang kuat dalam mengakomodasi fenomena penyiaran berbasis internet dan distribusi konten siaran di medsos. Kedua, perlunya payung regulasi yang mendorong percepatan reformasi tata kelola lembaga penyiaran publik (LPP). Ketiga, memperkuat Komisi Penyiaran Indonesia sebagai regulator independen.
Tulisan ini menyodorkan tiga agenda prioritas.
Berbasis internet
Indonesia memiliki penetrasi internet tertinggi di Asia, bahkan pengguna medsos terbesar. Tradisi berbagi konten (audio, video, dan teks) menjadi perilaku sosial baru di masyarakat ketika mengakses media. Keperkasaan siaran yang dipancarluaskan dengan pemancar terestrial mulai rontok, digantikan layanan penyiaran dalam jaringan (berbasis internet).
Infrastruktur teknologi broadband yang semakin baik makin memanjakan masyarakat untuk memperoleh konten on demand secara mudah dan murah. Sementara pengelola televisi komersial analog kian agresif mengembangkan layanan digital (internet dan medsos).
Secara sadar, mereka mencoba melakukan konvergensi, meleburkan tradisi produksi dan distribusi tradisional di ranah terestrial ke tradisi baru berbasis platform digital.
Mengikuti logika media digital, sejumlah korporasi televisi nasional kini membangun bisnis OTT secara penuh, bukan semata sebagai layanan tambahan atau kepanjangan layanan terestrial. Dalam jangka menengah, diprediksi pendapatan bisnis dari televisi berbasis internet akan melebihi bisnis terestrial. Saat ini, jalur terestrial masih dominan, tapi bisnisnya terus menurun.
Dari sisi konten, kiat melihat tren pembalikan logika sumber informasi gaya hidup, akurasi, dan kemasan berita. Berbagai percakapan digital dan konten yang dibuat warganet justru jadi rujukan media arus utama mengembangkan isi siaran. Pelaku penyiaran kini semakin melebar dan sulit dikendalikan.
Mereka membentang dari penyedia konten individual, penyedia lapak, pengelola teknologi broadband, produser dan kru televisi terestrial yang memproduksi ulang tayangan dari internet. Upaya mengontrol konten pada televisi terestrial sepertinya tak berguna. Tayangan serupa bisa dengan mudah beredar di jalur medsos, tanpa kendali regulasi.
Bangunkan ”gajah tidur”
Di negara-negara demokrasi maju seperti Inggris dan Jerman, LPP adalah pilar utama dalam melayani siaran yang berkualitas. LPP berada di garda depan menu siaran untuk mengawal demokratisasi.
Regulasi medianya menempatkan penyiaran publik sebagai pemain utama, didukung penuh pendanaan berbasis publik, alokasi frekuensi, dan manajemen profesional. Di Inggris, BBC dapat hak istimewa mengelola kanal digital dibandingkan media komersial. Pengambil kebijakan meyakini solusi mengatasi krisis penyiaran bukan semata memperbaiki perilaku buruk di televisi komersial, tetapi menata ulang konfigurasi pemain televisi, dengan menempatkan LPP sebagai pilar utama penyiaran.
Merujuk UU No 32/2002 Pasal 4, pemegang mandat LPP di Indonesia adalah RRI dan TVRI. Setelah lebih dari 20 tahun, media warisan Orde Baru ini belum tampak jadi pemain utama yang diperhitungkan, baik oleh kompetitor maupun publik. Indikasinya tidak hanya rating penonton yang rendah, tapi juga absennya mereka sebagai rujukan berbagai percakapan isu publik nasional.
Sepanjang 20 tahun terakhir, keduanya justru dilanda berbagai krisis manajemen, keuangan, dan konflik kepemimpinan berkelanjutan. Kiprah LPP lokal sebagai pemain tingkat daerah juga tak signifikan.
LPP di Indonesia ibarat ”gajah yang terus tertidur panjang” akibat berbagai persoalan internal. Upaya inovasi teknologi layanan digital mulai dilakukan, seperti membuat aplikasi RRI Play Go di RRI, tetapi sebatas eksperimentasi teknologi untuk memperluas jangkauan khalayak. Tanpa inovasi konten yang baik dan pengelolaan khalayak digital, inovasi ini cuma kepanjangan dari siaran analog yang tak diminati publik.
Regulator independen
Selain masalah penyiaran publik, persoalan pokok penyiaran pascareformasi 1998 adalah kian tergerusnya kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator independen yang jadi amanat reformasi. Pascapenetapan UU No 32/2002, gugatan asosiasi penyiaran komersial untuk mengurangi kewenangan regulatif KPI terhadap mereka dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
Terbaru, UU Cipta Kerja membonsai kewenangan partisipatif KPI dalam proses perizinan frekuensi siaran. Kini kewenangan KPI hanya supervisi isi siaran, khususnya siaran analog. Persoalan kelembagaan KPI membentang tidak hanya soal kewenangan, tapi juga proses perekrutan komisioner yang rawan politisasi, kompetensi individual komisioner terhadap isu penyiaran, hingga pendeknya masa jabatan dan anggaran. Dalam supervisi siaran sebagai mandat terakhir, lembaga ini tak punya dukungan sumber daya memadai.
Menghadapi gurita bisnis radio dan televisi komersial di jalur terestrial dan internet, dan untuk mendukung akselerasi reformasi LPP, posisi KPI loyo.
Menghadapi gurita bisnis radio dan televisi komersial di jalur terestrial dan internet, dan untuk mendukung akselerasi reformasi LPP, posisi KPI loyo. Besar pasak daripada tiang. Ambisi besar, tak berbanding kemampuan. Di negara maju, KPI-nya sangat kuat. Ia berwenang mengatur penyiaran dari hulu ke hilir. Dari perizinan, supervisi konten, hingga literasi khalayak. Di Indonesia, lembaga ini pelan-pelan mati suri.
Memperhatikan ketiga agenda itu, sebuah UU Penyiaran baru mutlak lahir. Semangat revisi UU Penyiaran bukan hanya memastikan transisi penyiaran analog ke digital, melainkan juga mengatur hutan belantara penyiaran berbasis, melakukan mitigasi dan solusi atas kondisi darurat yang dihadapi dua pilar utama demokrasi penyiaran di Indonesia, yaitu Komisi Penyiaran dan LPK.
Masduki Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia; Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media)