Pemerintah menerbitkan larangan ekspor batubara. Larangan ini dipicu oleh banyaknya eksportir batubara yang tak memenuhi kewajiban DMO mereka untuk menjual 25 persen dari produksinya ke dalam negeri (PLN).
Oleh
IRMAN FAIZ
·4 menit baca
Didie SW
-
Belakangan ini, istilah Domestic Market Obligation (DMO) dan larangan ekspor batubara menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Pasalnya, pemerintah menerbitkan larangan ekspor batubara sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022.
Larangan ini dipicu oleh banyaknya eksportir batubara yang tak memenuhi kewajiban DMO mereka untuk menjual 25 persen dari produksinya ke dalam negeri (PLN). Hingga 1 Januari 2022, hanya 35.000 metrik ton dari 5,1 juta metrik ton penugasan pemerintah dipenuhi pelaku usaha batubara. Rendahnya angka pemenuhan ini mengancam ketersediaan pasokan listrik pada 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan daya sekitar 11.000 Mega Watt (MW).
Harga batubara dunia yang meroket hingga sempat menyentuh level 270 dollar AS /metrik ton awal Oktober 2021, menjadi disinsentif bagi eksportir untuk menjual produksi ke dalam negeri pada harga sesuai skema DMO yaitu 70 dollar AS/metrik ton.
Lalu apa DMO itu sebenarnya? DMO merupakan skema yang mengatur harga jual dan jumlah batubara yang dijual ke domestik dalam rangka penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Skema ini diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 1395 K/30/MEM/2018.
Latar belakang keputusan ini adalah kondisi harga batubara yang terus meningkat dari sekitar 68 dollar AS/metrik ton pertengahan 2017, menjadi 100 dollar AS/metrik ton pada awal 2018. Hal ini menggerus kinerja keuangan PLN, karena sekitar 40-50 persen biaya bahan bakar non- minyak PLN dari batubara.
Dari sisi pengusaha, terdapat dua isu utama yang harus ditinjau.
Dengan adanya DMO, biaya itu bisa lebih terkendali sehingga mendukung keberlangsungan kinerja keuangan PLN, dan ketersediaan kebutuhan batubara domestik terjamin.
Dari sisi pengusaha, terdapat dua isu utama yang harus ditinjau. Pertama, harga DMO yang saat itu lebih rendah dari pasar membuat eksportir batubara merugi. Kedua, kemampuan serapan domestik yang mayoritas hanya dapat menyerap batubara kalori rendah, menimbulkan isu tersendiri. Pengusaha batubara yang mayoritas output-nya berkalori tinggi kesulitan memenuhi volume DMO yang ditentukan.
Untuk isu harga, DMO mungkin dapat dikatakan sebagai skema lindung nilai bagi pelaku usaha di tengah harga yang fluktuatif. Harga batubara justru terus mengalami penurunan sejak Agustus 2018 dari 115 dollar AS/metrik ton, menjadi di bawah 70 dollar AS sejak Juni 2019 dan berada pada titik terendah lima tahun terakhir sekitar 40 dollar AS/metrik ton pada Agustus 2020.
Dari sisi volume penjualan, aturan DMO 25 persen perlu ditinjau berdasarkan kalori batubara yang diproduksi sehingga persentase kewajiban tak bersifat satu untuk semua kelompok pengusaha. Belakangan muncul pula wacana menjadikan harga DMO fleksibel mengikuti harga pasar, dengan skema subsidi dari pemerintah lewat Badan Layanan Umum (BLU) yang dibentuk khusus.
Wacana ini memang menguntungkan pengusaha batubara dalam kondisi saat ini. Artinya, pengusaha tetap dapat menjual batubara pada harga tinggi di domestik. Namun, bukan tak mungkin jika harga batubara ke depan kembali menurun, justru akan merugikan pengusaha batubara. Selain itu, beban fiskal pemerintah tentunya akan meningkat untuk melakukan subsidi terhadap selisih harga DMO dan harga pasar ke depan.
Berdasarkan perhitungan penulis dari laporan keuangan PLN tiga tahun terakhir, kenaikan harga batubara 1 dollar AS/metrik ton, berpotensi meningkatkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik Rp 0,3 triliun-Rp 1 triliun per tahun. Jika faktor lain dianggap tetap, dengan selisih harga batubara dunia dan DMO yang mencapai 100 dollar AS/metrik ton dapat meningkatkan angka subsidi pemerintah Rp 30 triliun-Rp 100 triliun per tahun.
Dalam tiga tahun terakhir subsidi yang dibayarkan pemerintah untuk listrik di luar wacana perubahan harga DMO ini sekitar Rp 50 triliun per tahun. Di tengah tren subsidi energi dalam anggaran negara yang menurun dan digeser ke belanja produktif, tentunya ini sebuah kemunduran jika diimplementasikan.
Dari sisi makroekonomi, harga batubara yang terus meningkat turut mendorong nilai ekspor Indonesia. Ekspor batubara bulanan yang biasanya 2 miliar dollar AS, meningkat menjadi 3-4 miliar dollar AS sejak kuartal III tahun lalu. Pangsa batubara terhadap total ekspor turut meningkat dari sekitar 11-13 persen, menjadi 17-19 persen pada periode sama. Melihat tren peningkatan ini, momentum itu seharusnya dapat dimanfaatkan.
Larangan ekspor batubara secara keseluruhan memang bukan solusi yang ideal. Kinerja ekspor yang baik tahun lalu akibat peningkatan harga komoditas telah sukses menjadi bantalan dalam menahan tekanan dari ketidakpastian sektor keuangan global. Nilai tukar rupiah terlihat bergerak stabil. Stabilnya nilai tukar tentunya berdampak baik bagi aktivitas bisnis terutama yang banyak memiliki eksposur biaya dalam valuta asing. Jika larangan ekspor dilanjutkan, risiko untuk stabilitas eksternal akan lebih besar tahun ini, ditambah lagi ketidakpastian keuangan global masih tinggi.
Irman FaizAnalis Makro ekonomi Bank Danamon Indonesia.