Indonesia mesti konsekuen dengan pengalihan FIR dari Singapura, antara lain dengan meningkatkan kecakapan sumber daya manusia dan berinvestasi dalam infrastruktur navigasi udara, yang lebih kokoh lagi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Selasa (25/1/2022) ini Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong akan menandatangani persetujuan pelayanan ruang udara atau FIR.
Lokasi FIR (flight information region) berada di kawasan Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Kedua kepala pemerintahan juga akan menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (DCA) dan Perjanjian Ekstradisi di antara kedua negara.
Kita merasa lega atas dicapainya ketiga kesepakatan itu, khususnya yang menyangkut FIR, yang sebelumnya oleh berbagai kalangan di Indonesia dirasakan sebagai satu realitas yang mengganjal dan mengusik rasa kedaulatan negara. Jika pesawat Indonesia akan terbang di wilayah sendiri, semisal dari Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, ke Pekanbaru, Riau, atau juga ke Natuna, Batam, dan di kawasan Malaka, harus minta izin kepada otoritas penerbangan Singapura.
Indonesia dulu belum memiliki sistem yang memadai. Atas dasar itu, pengelolaan FIR didelegasikan kepada Singapura, yang ditetapkan dalam pertemuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) di Dublin, Irlandia, Maret 1946.
Dengan perjanjian itu, seperti dilaporkan CNBC pada 18 Februari 2021, Singapura menguasai 1.825 kilometer wilayah udara Indonesia, mencakup Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, dan Natuna. Setelah berlangsung puluhan tahun, hal ini dipandang mengganggu rasa kedaulatan, dan masuk akal untuk dirundingkan kembali.
Kita lega dengan kesepakatan tentang FIR oleh Indonesia dan Singapura. Bagi Indonesia, hal ini merupakan capaian signifikan dari negosiasi yang dilakukan sejak 1990-an. Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Riyanto, hal itu merupakan buah langkah konkret pemerintah dalam mewujudkan mandat nasional dan internasional.
Mandat nasional tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Mandat internasional tertuang dalam Annex 11 Konvensi Chicago tahun 1944 dan Keputusan ICAO pada Pertemuan Ketiga Navigasi Penerbangan Asia Pasifik tahun 1993. Setelah ada kesepakatan, wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna yang sebelumnya masuk FIR Singapura akan menjadi bagian dari FIR Jakarta.
Tercapainya kesepakatan tentang FIR ini mencerminkan itikad baik kedua negara untuk terus memelihara hubungan baik, serta saling menghormati kepentingan dan kedaulatan masing-masing. Sebagai tetangga dengan wilayah udara lebih besar, kita juga bisa mengakomodasi kebutuhan Singapura yang memiliki wilayah udara kecil, tetapi membutuhkan keleluasaan besar untuk mendukung kebutuhan penerbangan sipil dan latihan militer.
Oleh sebab itu, mengiringi kesepakatan FIR juga ada kesepakatan DCA. Sebaliknya, di sisi Singapura, kesepakatan FIR juga mencerminkan pengakuan atas kedaulatan Indonesia atas wilayah udaranya yang sah.
Indonesia mesti konsekuen dengan pengalihan FIR dari Singapura, antara lain dengan meningkatkan kecakapan sumber daya manusia dan berinvestasi dalam infrastruktur navigasi udara, yang lebih kokoh lagi.