Seminggu mendatang, loncatan-loncatan barongsai disertai keplakan cenceng pengiringnya akan menghidupi sesaat jantung lama kota-kota Indonesia, tak jauh dari toko pecinan dan kelenteng pendampingnya. Sinar ”China” Indonesia akan berkedip-kedip sebelum tertelan untuk satu tahun oleh sinar cahaya budaya-budaya etnis Indonesia lainnya. Ya, orang China Indonesia akan merayakan hari identitasnya: tahun baru Imlek.
Melampaui kemeriahan Imlek, saya tidak yakin kita mengetahui betapa pelik situasi kelompok etnis yang tersebar di seluruh Nusantara ini. Saya sendiri telah lama termasuk yang ”bodoh”, hingga saya bertemu dengan seorang ”China” yang ”lain”: Sidik Martowidjojo, yang mengisahkan bagaimana kechinaannya diombang-ambingkan sejarah.
Pelukis yang kini tersohor ini masih asyik mengeksplorasi keindahan kaligrafi China, pada 1967, ketika, akibat sepak kasar sepatu bot pemerintah zaman itu, dia seketika harus kehilangan separuh dari cakrawala kulturalnya: dilarang mempergunakan bahasa Mandarin dan kaligrafinya. Seolah-olah asas kulturalnya, hasil didikan sekolah China, tidak lagi selaras dengan asas keindonesiaannya. Dia harus menunggu sampai pengujung rezim Orde Baru untuk boleh tampil kembali sebagai pelukis gaya China yang cemerlang, yang kini resmi diakui di China, meskipun dia asing, sebagai salah satu pelukis besar budaya China.
Ratusan ribu orang ”keturunan” telah mengalami nasib serupa kala itu. Terlihat di sini bagaimana identitas dapat dimanipulasi dengan seenaknya oleh penguasa. Memang ada saja yang berkata bahwa integrasi dipermudah dengan kebijakan Orde Baru itu: orang China berhenti berbahasa dan berpikir ”China”.
Namun, apakah ini memang lebih baik? Dan bukankah tak sedikit di antara orang China, terutama di kalangan elite, yang acuan kulturalnya berubah total: oleh karena tak boleh berasas budaya China, mereka merangkul asas kultural Amerika, termasuk bahasa dan anutan kepercayaan terkait.
Yang mana yang lebih asing? Lingkungan pecinaan tradisional atau estate eksklusif dihuni keluarga yang anaknya berbahasa Inggris satu sama lainnya layaknya bahasa ibu.
Yang mana yang lebih asing? Lingkungan pecinaan tradisional atau estate eksklusif dihuni keluarga yang anaknya berbahasa Inggris satu sama lainnya layaknya bahasa ibu. Kebijakan asimilasi paksa telah menciptakan kebalikannya: separasi kultural yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Pengalaman tahun 1967 ini sebenarnya bukanlah pengalaman pahit pertama orang ”China”. Dasar historis dari diskriminasi sudah panjang. Pada era Belanda berlakulah pengotakan rasial antara Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Pada waktu Orde Lama, orang ”China” dilarang berdagang di perdesaan, lalu yang berwarga negara asing di antaranya—meskipun tak sedikit adalah anak keturunan ”pribumi” dan tak bisa berbahasa Mandarin—dipulangkan ke ”negeri leluhur”.
Singkatnya, kebijakan pemerintah yang bersusulan satu dengan yang lain tak henti- hentinya mengobrak-abrik identitas orang ”China”: di sini dilainkan, di sana disuruh membaur, di sana lagi disuruh ”menyumbang” atas nama ras, keadilan sosial, bangsa, agama, dan lain-lainnya.
Baca juga: Tahun Baru dan 10 Tahun Berudar Rasa
Seolah-olah kenyataan historis kehadiran mereka di Indonesia, dan keindonesiaannya, hendak dinafikan atau sebaliknya wajib dibuktikan pada setiap saat walaupun mereka sudah ribuan tahun bercokol di Nusantara ini. Seakan-akan mereka ditakdirkan untuk terus asing di Bumi Pertiwi yang mereka turut suburkan itu.
Syukurlah sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), kebijakan-kebijakan terkait identitas sudah tercerahkan. Diskriminasi dilawan. Pengajaran bahasa Mandarin diizinkan kembali. Ekspresi umum identitas etnis dan religius diakui sesuai ajaran tersirat Pancasila. Maka, rumah besar Indonesia kini kian terbuka bagi semua anaknya, termasuk yang lama diabaikannya.
Barongsai bisa melompat kian tinggi dan menyambut girang tahun baru Imlek dan macan airnya.