Tragedi Keantariksaan pada Orbit Geostasioner 123 Bujur Timur
Ketika wisata antariksa penerbangan sub-orbital hingga misi penjelajahan Mars guna membangun peradaban baru semakin ramai didengungkan, Indonesia tengah meneguk pil pahit dalam upaya menggapai antariksa.

Didie SW
Euforia masyarakat dunia menyambut space race 4.0 nyatanya tidak diikuti di Nusantara. Ketika wisata antariksa penerbangan sub-orbital hingga misi penjelajahan Mars guna membangun peradaban baru semakin ramai didengungkan, Indonesia tengah meneguk pil pahit dalam upaya menggapai antariksa.
Konferensi pers Menko Polhukam Mahfud MD, 13 Januari 2022, menjelaskan, Pemerintah Indonesia wajib membayar sekitar Rp 819 miliar sebagai imbas rangkaian kekalahan arbitrase internasional. Avanti Communication Group dan Navayo selaku dua operator satelit berhasil membuktikan wanprestasi oleh Pemerintah Indonesia melalui forum arbitrase perihal kasus satelit Kementerian Pertahanan.
Arbitrase dengan Avanti yang menyewakan satelit Artemis rampung lebih awal pada 9 Juli 2019. Forum London Court of International Arbitration (LCIA) memutuskan Pemerintah Indonesia membayar ganti kerugian Rp 515 miliar. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) pada 22 Mei 2021 melengkapi kesengsaraan. Pemerintah Indonesia wajib membayar Rp 304 miliar kepada Navayo. Kedua hasil serupa, yakni kalah, hanya berbeda jumlah.
Angka fantastis yang menggegerkan hingga Presiden Jokowi memerintahkan pengusutan tuntas kasus satelit Kemenhan (13/1/2021). Sehari berselang, Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah penyidikan diiringi komitmen Panglima TNI akan sinergi penegakan hukumnya.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) pada 22 Mei 2021 melengkapi kesengsaraan.
Orbit dan hukum antariksa
Berada 35.786 kilometer nun jauh di atas, satelit pada orbit geostasioner mengelilingi Bumi dengan kecepatan menyamai periode rotasi Bumi. Alhasil, satelit mampu menjangkau suatu area setahun penuh. Orbit geostasioner strategis bagi kepentingan komunikasi dan pertahanan seiring perkembangan teknologi satelit.
The Outer Space Treaty of 1967 selaku payung rezim hukum antariksa tidak mengatur hak alokasi slot orbit geostasioner. Pengaturan hak tersebut merupakan domain International Telecommunication Union (ITU) dengan negara sebagai aktor. Artinya, perusahaan swasta dapat mengirimkan satelit ke orbit geostasioner hanya jika negaranya memiliki hak.
ITU mengatur suatu negara berhak menguasai slot orbit geostasioner secara terus-menerus selama mampu mempertahankan kehadiran satelit. Seandainya terjadi kekosongan pada slot orbit geostasioner, negara diberikan waktu maksimal tiga tahun guna mengisi kembali. Perhitungan kekosongan dimulai sejak satelit meninggalkan slot orbit, bukan mengacu tanggal kontrak sewa satelit berakhir ataupun masa hidup (lifespan) satelit.
Baca juga : Audit BPKP Perkuat Dugaan Pelanggaran Hukum di Kasus Satelit Orbit 123
Keantariksaan Indonesia menjumpai situasi genting saat Satelit Garuda-1 mengalami malafungsi. Pada 19 Januari 2015, satelit ini keluar dari orbit geostasioner 123 Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan. Mengacu batas waktu tiga tahun, penting untuk segera mengisi kekosongan agar hak eksklusif Indonesia tak hilang.
Mitigasi logis ialah melangkah secara paralel. Pertama, Indonesia segera meluncurkan satelit ke orbit geostasioner sebelum jangka waktu tiga tahun terlewat. Kedua, mengingat belum tentu peluncuran satelit akan tepat waktu, Indonesia perlu menyewa satelit lain guna membentengi orbit geostasioner 123 BT. Faktanya, satelit Artemis milik Avanti dikontrak guna mengisi kekosongan sementara.
Satelit Artemis menempuh perjalanan panjang, dari orbit di atas Afrika Tengah menuju Sulawesi. Misi ini tergolong berisiko dari perspektif hukum antariksa, yaitu The Liability Convention of 1972. Inggris selaku negara di mana Avanti Communications Group bernaung (state registry) bertanggung jawab jika terjadi kegagalan misi.
Sebagai contoh sederhana, seandainya satelit Artemis menabrak satelit lain dalam perjalanan menuju orbit di atas Sulawesi, Inggris bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian nyata beserta potensi pendapatan berdasarkan masa hidup satelit.
Mengacu batas waktu tiga tahun, penting untuk segera mengisi kekosongan agar hak eksklusif Indonesia tak hilang.
Tanggung jawab berlanjut jika serpihan tabrakan (space debris) merusak satelit lain. Teknologi dewasa ini mampu melacak serpihan secara real time sehingga pertanggungjawaban semakin transparan. Bagaimana negara dan operator satelit nasionalnya mengurus klaim ganti kerugian merupakan persoalan internal mereka.
Tak heran biaya sewa satelit Artemis sedemikian tinggi berkaca pada ilustrasi risiko hukum. Sewa satelit Artemis yang telah berumur sangat mahal jika studi kelayakan mengacu pertimbangan komersial semata. Seyogianya pertimbangan dilakukan secara holistik dengan memperhatikan hukum antariksa dan peraturan ITU.
Terdapat peraturan ITU lain yang perlu mendapatkan atensi. Seandainya negara gagal mengisi slot orbit geostasioner dalam tiga tahun, maka negara antrean selanjutnya pada daftar tunggu berhak mengambil alih slot. ITU tak mengizinkan nega- ra pemilik slot orbit geostasioner memindahkan atau menjual hak ke negara lain. Mekanisme yang berlaku untuk dapat slot orbit geostasioner ialah mengurut sesuai antrean.
Satelit Artemis hanya beroperasi hingga November 2017 akibat sengketa pembayaran sewa satelit antara Avanti dan Pemerintah Indonesia, yang berujung di LCIA. Berdasarkan hitungan matematika sederhana, tenggat Indonesia mengisi slot ialah November 2020.
Sembari bersih-bersih melalui jalur hukum, pemerintah perlu memastikan apakah Indonesia masih berhak atas slot orbit geostasioner 123 BT. Sempat beredar kabar burung perpanjangan waktu diberikan kepada Indonesia mengacu kondisi tertentu. Rakyat berhak mengetahui dan kejujuran diperlukan guna menentukan langkah mitigasi selanjutnya.
Baca juga : Terkait Pengadaan Satelit Orbit 123 BT, Penyidik Geledah PT Dini Nusa Kusuma dan Sita Barang Bukti
Asa Indonesia
Kata tragedi begitu erat becermin dari Rp 819 miliar uang rakyat yang terbuang sia-sia, sementara Indonesia berpotensi kehilangan semua, yakni slot orbit geostasioner 123 BT ataupun satelit baru. Hal terakhir merujuk kepada masalah dalam proyek pengadaan satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan) tahun 2015.
Pengalihan slot kepada negara lain menjadi pintu masuk kehadiran asing di atas Sulawesi dengan jangkauan Nusantara hingga ASEAN. Satelit berteknologi L-band beroperasi pada frekuensi 1-2 GHz berfungsi ideal untuk komunikasi, navigasi, hingga pengintaian dalam segala cuaca. Ancaman nyata bagi pertahanan dan keamanan nasional jika asing mengoperasikan teknologi tersebut.
Tidak heran, siapa pun pemilik (baru) orbit geostasioner 123 BT akan mempertahankannya. Mengacu skenario Indonesia telah kehilangan hak orbit geostasioner 123 BT, sedikit opsi tersisa ialah menghubungi negara pemilik guna menyewa slot beserta satelit. Jika berjalan baik, Indonesia bisa tetap ”memiliki” slot, tetapi biaya sewa akan lebih mahal serta tanpa kontrol absolut. Sebaliknya, penolakan mungkin terjadi jika tidak sesuai dengan kepentingan nasional negara pemilik slot atau kedahuluan negara lain.
Presiden Jokowi perlu bergegas menemukan solusi dengan pendekatan bilateral (G to G), termasuk memaksimalkan pengaruh dari momentum singkat presidensi G-20.
Baik keberhasilan maupun kegagalan akan menentukan posisi tawar Indonesia dalam kancah geopolitik. Inisiasi AUKUS serta meningkatnya tensi di Laut China Selatan patut diimbangi melalui dimensi antariksa. Presiden Jokowi perlu bergegas menemukan solusi dengan pendekatan bilateral (G to G), termasuk memaksimalkan pengaruh dari momentum singkat presidensi G-20.
Akhir kata, kasus satelit pertahanan ibarat fenomena gunung es. Masih banyak hal yang perlu disiapkan mengingat antariksa turut jadi medium pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) demi kesejahteraan rakyat. Disrupsi lambat laun akan hadir, terdekat upaya pemanfaatan orbit rendah Bumi. Bangsa ini butuh banyak ahli hukum dan kebijakan antariksa guna mewujudkan kepentingan nasional.
Kolaborasi pemerintah dengan akademisi spesialis hukum antariksa jadi solusi di tengah kelangkaan SDM. Semoga peleburan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional ke Badan Riset dan Inovasi Nasional tidak mengorbankan karier peneliti hukum dan kebijakan antariksa.
Ridha Aditya Nugraha Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya; Alumnus European Space Agency ECSL Summer Course 2015.