Selebritas, Aset Kripto, dan Sindrom Ingin Cepat Kaya
Mata uang kripto di Indonesia masih berada di rimba belantara. Sindrom ingin menjadi cepat kaya bisa menjerumuskan orang ke pilihan investasi berisiko tinggi atau bahkan penipuan.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
Sejumlah komplain tengah diajukan oleh berbagai kalangan di Amerika Serikat terhadap selebritas Kim Kardashian, mantan pemain NBA Paul Pierce, dan petinju Floyd Mayweather. Mereka dianggap mempromosikan sejumlah aset kripto, tetapi kemudian mereka dianggap ”bermain” melalui aset-aset itu. Kini mereka yang dirugikan karena asetnya anjlok 70 persen menggugat selebritas itu ke pengadilan federal Amerika Serikat.
Sebenarnya tidak hanya di Amerika Serikat, di Indonesia beberapa selebritas juga mempromosikan sejumlah produk investasi yang tergolong memiliki risiko tinggi. Mereka dengan ratusan ribu-jutaan pengikut di media sosial dengan entengnya menawarkan jenis investasi dan juga perangkat investasi tanpa mengemukakan risiko yang muncul dan kemungkinan risiko itu sangat besar. Perusahaan produk investasi mengetahui pengaruh selebritas itu dan mereka juga pintar mengolah konten yang pas untuk pengikutnya.
Kasus Kim, Paul, dan Floyd kini menjadi sorotan publik. Publik menuduh mereka yang disebut sebagai pendukung salah satu mata uang kripto berbuat curang dengan cara meraup uang tunai dari para pengikutnya. Para selebritas dituduh menjual aset mereka saat harga tinggi dan menyimpannya di dalam saku mereka sebelum harga turun. Pengacara mereka belum mau memberi komentar terkait dengan tuduhan tersebut.
Menurut salah satu analis di Financial Times, sangat disayangkan kemunculan mata uang kripto dikotori oleh orang-orang yang dikenal sebagai selebritas yang salah mempromosikan produk-produk investasi itu. Mereka menyimpan potensi risiko dan cenderung menawarkan mimpi. Gaya-gaya mempromosikan produk itu sangat sederhana dan mudah dipahami oleh pengikutnya. ”Apakah kalian sudah punya aset kripto,” tanya Kim di akun Instagram-nya dengan pengikut 250 juta ketika memperkenalkan salah satu mata uang kripto.
Selebritas dipakai menjadi bagian dari promosi berbagai produk investasi kripto karena berdasarkan survei, publik menggunakan selebritas dan sejumlah eksekutif sebagai salah satu sumber informasi. Masih menurut Financial Times, sekitar 60 orang menggunakan sumber informasi individu-individu untuk mendapatkan kabar tentang mata uang kripto. Penggunaan sumber informasi ini hampir dari separuh waktu mereka. Publik mencari validasi untuk rencana aksi-aksi mereka di tengah volatilitas mata uang kripto.
Apa yang membuat publik mudah sekali tergoda untuk mencari produk investasi yang dianggap memiliki imbal hasil besar dan menggunakan pendapat dari para selebritas itu?
Tidak hanya di Indonesia, di berbagai negara juga sama dan mudah ditemukan sifat tamak orang ingin cepat kaya dengan mudah (get rich quick) karena pengaruh kaum selebritas atau pemengaruh yang lain. Kasus penipuan di Kenya yang melibatkan sejumlah investor telah membuat mereka rugi hingga jutaan dollar AS per orang. Mereka terjebak di dalam penipuan dengan skema Ponzi bermodus aset kripto.
Di dalam industri keuangan sampai muncul skema ”get rich quick”. Skema penipuan muncul karena ada nafsu ingin cepat kaya dengan menggunakan cara-cara promosi yang unik, terutama di internet. Skema ini juga biasanya akan mengklaim bahwa calon investor tidak memerlukan keahlian khusus sehingga mereka makin mudah tertarik. Enggak pusing. Akan tetapi, skema ini seharusnya memunculkan kecurigaan karena memberikan kerangka waktu yang tidak realistis di mana orang dapat menghasilkan uang dalam jumlah besar.
Mata uang kripto menjadi ikonik dalam penipuan sekarang ini karena tengah menjadi bahan pembicaraan. Orang makin mudah terjerumus ke investasi ini. Skema ingin cepat kaya yang menampilkan Bitcoin telah menjadi obrolan yang sangat umum. Persepsi yang tidak jelas tentang Bitcoin dan pertumbuhan popularitas yang cepat telah menjadi aset yang menarik bagi tukang tipu. Para penipu menggunakan kemiripan dan citra Bitcoin untuk mempromosikan skema mereka, yang padahal tidak terkait sama sekali.
Jauh sebelum kasus-kasus ini, sebuah analisa di laman BBC mengungkap tren orang yang lebih mudah percaya dengan media sosial dan juga selebritas yang berkoar-koar di platform itu dibandingkan mempercayai konsultan finansial ataupun ahli di bidang tersebut. Mereka memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap figur-figur yang sebenarnya tidak memiliki otoritas di bidang investasi dengan risiko tinggi.
Temuan dari sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Financial Conduct Authority menyebutkan, investor yang dipengaruhi oleh teman dan selebritas media sosial membeli Bitcoin dan aset kripto lainnya karena sekadar ingin cepat kaya. Akan tetapi, banyak di antaranya yang memasukkan uang mereka, tanpa perlindungan terhadap potensi kerugian. Mereka tidak sepenuhnya memahami apa yang mereka lakukan.
Hasil dari penelitian itu juga memperlihatkan sekitar 73 persen dari semua yang ditanya mengatakan mereka tidak dapat mendefinisikan arti mata uang kripto. Di tengah ketidakpahaman itu, pemilik aset kripto yang diwawancarai mengatakan memilih aset kripto itu sebagai bagian dari mencari cara untuk menjadi cepat kaya dengan sekadar mendengar dan mengikuti saran teman, kenalan, dan pemengaruh di media sosial. Saran dan pendapat mereka sebagai motivasi utama untuk membeli aset kripto.
Situasi ini sudah mendorong beberapa pihak di beberapa negara agar otoritas ikut mengawasi. Secara umum otoritas bisa melakukan literasi ke publik karena volatilitas aset kripto sangat besar dan tentu risiko sangat besar meski keuntungan besar juga bisa didapat. Bahkan, ada yang menyatakan perlunya regulasi. Banyak kalangan di seluruh dunia juga telah menyerukan perlindungan bagi investor. Perlindungan itu adalah termasuk cara berpromosi yang benar sehingga publik tidak tertipu.
Di Indonesia, sejumlah selebritas yang selama ini mempromosikan produk investasi berisiko tinggi sepertinya belum banyak mendapat perhatian dari otoritas. Mereka masih bebas bercuap-cuap di media sosial. Akan tetapi, berkait dengan mata uang kripto, pengaturan atau pengawasan itu sendiri cukup merepotkan karena saat ini mata uang kripto bukan merupakan alat transaksi yang sah. Oleh karena itu, mata uang kripto di Indonesia masih berada di rimba belantara. Sindrom ingin menjadi cepat kaya bisa menjerumuskan orang ke pilihan investasi berisiko tinggi atau bahkan penipuan.