Pancasila sebagai konsensus lintas batas mampu membuka ruang bagi penganut dari pelbagai Weltanschauungen berbeda – untuk menerima dan mengakui konstitusi dan hukum negara atas dasar alasan rasional masing-masing.
Oleh
OTTO GUSTI MADUNG
·4 menit baca
Guntur Soekarno Putra dalam tulisan “Pancasila Pasca-Orde Baru, Catatan untuk Franz Magnis-Suseno” (Kompas, 15/12/2021) antara lain menolak anggapan Magnis bahwa Seoekarno tidak pernah menjadikan Pancasila sebagai ideologi. Bagi Soekarno, Pancasila adalah semacam payung yang menaungi pelbagai macam ideologi.
Guntur beranggapan bahwa Soekarno justru secara tegas menyatakan Pancasila sebagai ideologi dalam pidato lahirnya Pancasila. Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan ideologi?
Dalam wacana ilmu pengetahuan sosial, salah satu definisi terpenting tentang ideologi dirumuskan oleh Karl Marx. Marx mengartikan ideologi sebagai “falsches Bewusstsein” atau kesadaran palsu. Sebuah masyarakat yang setara dan merdeka hanya mungkin terbentuk jika dibebaskan dari belenggu kesadaran palsu tersebut. Kritik ideologi merupakan jalan menuju tingkat independensi dan otonomi baik pada tataran individual maupun sosial.
Jika Soekarno menolak menjadikan Pancasila sebagai ideologi, maksudknya ialah ideologi dalam pengertian “falsches Bewusstsein” tersebut. Dan kita tahu, Soekarno memiliki otoritas intelektual untuk bicara tentang Marxisme dan sosialisme, sebab pada tahun 1926, dalam usia 25 tahun, Bung Karno sudah menulis sebuah artikel brilian di majalah Suluh berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Sosialisme”.
Pada tahun 1926 ini Seokarno mencapai kematangan secara politis, religius, dan ideologis. Secara politis Soekarno menjadi seorang nasionalis, dalam bidang keagamaan ia menjadi pribadi yang percaya pada Tuhan, dan secara ideologis Soekarno adalah seorang sosialis.
Arti luas
Sesungguhnya Soekarno mengartikan Pancasila sebagai ideologi dalam arti luas. Itulah maksudnya ketika ia memberikan dua kualifikasi utama untuk Pancasila, yakni sebagai philosophische grondslag (filsafat negara) dan sebagai weltanschauung atau pandangan tentang dunia (Ignas Kleden, 2021). Pancasila adalah dasar yang mempersatukan bangsa Indonesia yang plural dan bintang penuntun dinamis yang memberikan orientasi bagi perjalanan hidup bangsa.
Mengapa Soekarno begitu concern terhadap dasar falsafah negara Indonesia yang akan didirikan itu? Mengapa Soekarno tidak begitu saja sepakat dengan anjuran Mohammad Natsir yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar bangsa Indonesia? Selain fakta kebinekaan bangsa Indonesia, Soekarno juga sudah mempelajari gerakan liberalisme politik Eropa modern yang menandai berakhirnya perang antara konfensi dan lahirnya konsep nation-state serta pemisahan antara agama dan negara.
Seperti ditulis Cindy Adams, Soekarno belajar tentang sosialisme dari Cokro dan humanisme dari Sarinah. Ia juga belajar tentang Karl Marx dan Thomas Jefferson, mazhab ilmu pengetahun modern, ekonomi Sun Yat Sen, dan kebajikan Gandhi (Cindy Adams, 2011).
Liberalisme Thomas Jefferson menginspirasi Soekarno untuk menemukan landasan moral sebuah negara plural tanpa harus merujuk pada moralitas agama tertentu. Itulah Pancasila. Dalam terang teori filsafat modern, Pancasila dapat diartikan sebagai sebuah overlapping consensus (konsensus lintas batas).
Konsensus lintas batas merupakan titik persimpangan yang diterima secara demokratis antara keyakinan-keyakinan religius, filosofis, dan moral berbeda. Filsuf John Rawls (1921-2002) memisahkan overlapping consensus dari ajaran agama, filsafat, dan moral, sebab ketiganya tergolong dalam doktrin komprehensif (comprehensive doctrine) partikular. Doktrin komprehensif adalah ajaran-ajaran yang tidak membatasi diri pada yang politis, tetapi melampaui itu mengandung keyakinan-keyakinan tentang makna dan nilai-nilai hidup (Rawls, 1991).
Apakah politik seperti itu tidak akan berakhir pada krisis moral dan ideologis serta terjebak dalam pragmatisme kosong? Tidak. Di satu sisi pertanyaan-pertanyaan doktriner kontroversial tidak perlu ditematisasi secara politis, sebab pasti tidak akan menghasilkan konsensus. Di sisi lain doktrin-dokrin komprehensif harus manjadi penyokong atau titik pijak setiap konsensus. Dengan demikian terjadi proses netralisasi terhadap tuntutan-tuntutan kebenaran kontroversial. Proses netralisasi ini sudah diterapkan oleh Thomas Hobbes pada abad modern guna mengakhiri perang antara konfensi yang menghancurkan Eropa selama 30 tahun.
Pancasila bukan agama. Ia menetralisasi kebenaran dokrin-doktrin komprehensif agama dan moral partikular.
Pancasila bukan agama. Ia menetralisasi kebenaran dokrin-doktrin komprehensif agama dan moral partikular. Dengan demikian Pancasila sebagai overlapping consensus mampu membuka ruang bagi penganut dari pelbagai Weltanschauungen berbeda – liberal dan konservatif, Kristen, Muslim, ateis, dll – untuk menerima dan mengakui konstitusi dan hukum negara Indonesia atas dasar alasan rasional masing-masing.
Otto Gusti Madung,Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur; Dosen Filsafat; Alumnus Program Doktoral dari Hochschule fur Philsophie Munchen, Jerman