Demi Waktu
Waktu adalah dimensi yang sangat diperlukan dan terlibat dalam setiap aspek kehidupan kita. Kehidupan sosial berlangsung dalam waktu. Waktu, seperti ruang, adalah konteks universal kehidupan sosial.
Memasuki tahun 2022 ini, mari kita berefleksi ihwal waktu. Apa itu? Dalam perspektif Islam, konsep waktu tak sekadar menyoal perihal rutinitas kehidupan sehari-hari. Islam menempatkan waktu sebagai perkara penting dan mendasar sehingga jika tak dimanfaatkan dengan baik, maka kerugianlah yang akan diperoleh. Bahkan, lebih dari kerugian materi, menyia-nyiakan waktu bisa berakibat terbengkalainya sisi akhirat seorang hamba.
Maka itu, dalam Alquran, Allah Swt menegaskan, “Demi waktu, sesungguhnya, manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat- menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS Al-‘Ashar [103] : 1-3).
Elias mengartikan waktu sebagai sebuah simbol yang memperjelas urutan kejadian satu dengan kejadian yang lain, sebuah alat yang digunakan oleh manusia yang memungkinkan setiap kejadian dapat dibandingkan secara tidak langsung ketika perbandingan langsung tidak mungkin dilaksanakan. Karena “posisi dan urutan yang memiliki tempat silih berganti dalam sebuah arus kejadian yang tiada akhir tidak dapat disejajarkan,” maka urutan kedua dari pola yang berulang diperlukan sebagai poin rujukan terstandar.
Baca juga: ”Chronos dan Kairos” di Masa Pandemi, Refleksi tentang Waktu
Maka dari itu, waktu merujuk kepada “keterkaitan posisi dan bagian di dalam dua atau lebih rangkaian kejadian yang terus terjadi.” Seperti demikian, instrumen waktu itu sendiri tidak membentuk struktur kejadian, tidak ubahnya seperti sebuah peta yang membentuk gambar sungai dan laut.
Pertimbangan-pertimbangan mengenai kesejajaran memengaruhi konseptualisasi sosiologis mengenai waktu, walaupun tema klasik ini kurang dominan daripada teori-teori akhir abad ke-20 dan biasanya menjadi pendekatan yang lebih substantif. Sejak geografi dibuka sebagai sebuah disiplin ilmu pada 1980-an, konsep-konsep ruang mengenai pemetaan, batas, lokasi, prasasti, dan sedimentasi menjadi lebih banyak dipakai dalam sosiologi, baik sebagai alat sesungguhnya maupun kiasan untuk menggambarkan mata rantai atau hubungan sebab-akibat antara hubungan sosial dan proses sosial.
Hakikat waktu
Hakikat waktu telah menjadi salah satu persoalan utama filsafat sejak zaman antik. Apakah waktu bisa dilihat sebagai sesuatu yang mengalir? Jika ya, apakah waktu mengalir dari masa depan ke masa lalu dengan kita terperangkap di tengah-tengahnya seperti seseorang yang terjebak dalam perahu di tengah lautan, ataukah aliran itu melewati kita bahkan mungkin menyeret kita? Apakah waktu mengalir cepat ataukah lambat?
Pertanyaan tersebut agak sulit (atau mungkin absurd) untuk memberikan kemampuan kepada kita untuk menolak metafora aliran waktu. Oleh karena jika tidak membayangkan waktu seperti aliran, bagaimana kita bisa memahami waktu sudah bergerak melewati kita dari masa depan ke masa lalu? Lebih jauh lagi: apa yang membedakan masa depan dari masa lalu, atau sebenarnya tidak ada pemilahan tegas keduanya, karena waktu terus mengalir tanpa henti?
Oleh karena jika tidak membayangkan waktu seperti aliran, bagaimana kita bisa memahami waktu sudah bergerak melewati kita dari masa depan ke masa lalu?
Apa yang memberi waktu arahnya—apa yang bertanggung jawab bagi asimetri masa depan dan masa lalu? Bisakah kita memahami eksistensi nir-waktu, ataukah kita hanya bisa memahami eksistensi dalam rangkaian waktu karena kita sendiri memang terikat dalam waktu? Apakah waktu dapat dibagi-bagi sampai tidak terhingga jumlahnya, ataukah waktu memiliki struktur granular, di mana ada satu kuantum atau benih waktu terkecil?
Sebagian besar persoalan ini dibahas pertama kali oleh Aristoteles dalam Physics, dalam bentuk paradoks atau problem tentang eksistensi pertama sang waktu. Yang kemudian ditemukannya adalah waktu tidak eksis, karena tidak satu pun bagiannya yang eksis; kekinian contohnya, berlangsung begitu cepat dan tidak memiliki durasi yang bisa ditangkap, karenanya kekinian dianggap bagian dari waktu tidak dapat ditelaah dan karena itu tidak eksis.
Baca juga: Waktu
Sebaliknya, jika kita menginginkan durasi kekinian berhenti untuk eksis, setiap jawaban yang dibangun darinya akan mengandung kontradiksi: contohnya, bukan di masa kini, karena jika waktu eksis semestinya bisa eksis terus di masa kini; bukan dalam momen berikutnya, karena dalam kontinum atau keberlangsungan, tidak ada momen berikutnya selain sesuatu yang disebut fraksi selanjutnya menuju faksi ini; itu pun tidak ada momen terdahulu, karena “sesudah” berarti sudah tidak ada. Namun demikian, kita juga tidak dapat memikirkan masa kini yang instan sebagai sesuatu yang eksis secara berkelanjutan, karena suatu hal yang sudah terjadi 10.000 tahun lalu akan menjadi simultan dengan yang sudah terjadi pagi tadi (Blackburn, 2008). Lihat juga ruang-waktu dan waktu dan ruang.
Dalam perspektif sosiologi ihwal waktu ini tidak memperoleh fokus perhatian yang semestinya. Abercrombie, Hill, dan Turner (2006), misalnya, mengungkapkan, meskipun sosiologi telah memberikan kontribusi yang sangat berarti pada analisis ruang melalui sosiologi urban, regionalisme, sosiologi perkotaan, toh analisis waktu dalam sosiologi selama ini telah terabaikan. Waktu dipandang sebagai representasi kolektif dalam analisis klasifikasinya Emile Durkheim dalam bahasannya mengenai sosiologi agama (1912). Dalam pendekatan Durkheim, waktu bukanlah sebuah apriori, melainkan kategori sosial.
Yang boleh dibilang agak mending, mungkin antropologi. Kajian dalam antropologi tentang waktu dilakukan oleh M Mauss (1906) dan oleh EE Evans-Pritchard pada suku Nuer (1940) dan dalam sebuah analisis tentang masyarakat Eskimo. “Para antropolog telah mempelajari variasi lintas budaya dalam metode yang digunakan masyarakat untuk menghitung urutan dan durasi” (Abercrombie, Hill, dan Turner, 2006).
Waktu memang sejenis durasi. Lorens Bagus menyebut durasi sebagai “kesinambungan dalam eksistensi. Apa yang tidak memiliki eksistensi juga tidak memiliki durasi. Durasi keberadaan yang tidak dapat berubah disebut keabadian. Durasi keberadaan yang dapat berubah disebut ‘waktu’” (Bagus, 2002).
Baca juga: Sobekan Waktu
Dari perspektif ilmu sejarah, dalam waktu terjadi empat hal, yaitu (1) perkembangan, (2) kesinambungan, (3) pengulangan, dan (4) perubahan.
Perkembangan terjadi apabila berturut-turut masyarakat bergerak dari satu bentuk ke bentuk lain. Biasanya masyarakat akan berkembang dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang lebih kompleks. Perkembangan mengandaikan tidak ada pengaruh luar yang menyebabkan pergeseran.
Kesinambungan terjadi apabila suatu masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama. Dikatakan bahwa pada mulanya kolonialisme adalah kelanjutan patrimonialisme. Demikianlah, kebijakan kolonial hanya mengadopsi kebiasaan lama. Dalam menarik upeti raja taklukan, misalnya, Belanda meniru raja-raja pribumi.
Pengulangan terjadi apabila peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi. Misalnya, munculnya kaum pemodal kuat.
Pengulangan terjadi apabila peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi. Misalnya, munculnya kaum pemodal kuat. Sepanjang abad ke-19 pada masa pemerintah Kolonial, kaum pemodal besar itu telah menyengsarakan penduduk, dan menimbulkan banyak protes sosial. Kini, kaum pemodal besar itu muncul lagi dan banyak menimbulkan protes. Apakah sejarah terulang lagi?
Sementara itu, perubahan terjadi apabila masyarakat mengalami pergeseran, sama dengan perkembangan. Namun, asumsinya ialah adanya perkembangan besar-besaran dan dalam waktu yang relatif singkat. Biasanya perubahan terjadi karena pengaruh dari luar. Gerakan nasionalisme di Indonesia, misalnya, sering dianggap sebagai kepanjangan Gerakan Romantik di Eropa.
Giddens melihat, sebagian besar analis sosial memperlakukan ruang dan waktu sekadar sebagai lingkungan-lingkungan tindakan dan menerima tanpa berpikir sama sekali soal konsepsi waktu sebagai jarum jam yang bisa diukur, yang merupakan ciri khas budaya Barat modern. Dengan pengecualian karya mutakhir ahli-ahli geografi—yang lebih banyak saat ini—para ilmuwan sosial, dalam pandangan Giddens, telah gagal dalam mengonstruk cara berpikirnya di sekitar masalah disusunnya sistem-sistem sosial dalam ruang-waktu. Penelaahan terhadap isu ini, menurutnya, merupakan satu tugas utama yang diperlukan dalam ‘soal tatanan’, sebagaimana yang dikonseptualisasikan dalam teori strukturasi, bukan jenis atau ‘bidang’ khusus ilmu sosial yang bisa dikejar atau dibiarkan begitu saja sesuai dengan kemauan kita.
Pandangan budaya Jawa terhadap waktu menunjukkan bahwa waktu bergerak tidak ditemukan proposisi yang menyatakannya. Dalam bahasa Indonesia sering kita temukan tuturan yang berbunyi ‘hari Minggu yang akan datang’. Penggunaan kata 'datang' pada tuturan tersebut menunjukkan bahwa dalam bahasa Indonesia mengenal konsep waktu yang bergerak. Waktu, yakni hari Minggu, bergerak mendatangi obyek atau peristiwa yang dilakukan pada waktu yang ditunjuk oleh frase hari Minggu yang akan datang.
Jika segala sesuatu belum siap, belum pantas, atau belum mampu dilaksanakan, hendaknya tindakan tersebut tidak dilakukan.
Bahasa Jawa tidak menggunakan kata ‘datang’ (teka) untuk menunjuk waktu yang akan terjadi, misalnya dina Minggu sing arep teka. Dalam melakukan tindakan atau perbuatan yang memiliki nilai-nilai tertentu, budaya Jawa mengajarkan bahwa tindakan tersebut sebaiknya baru dilakukan saatnya bertindak telah tiba. Jika segala sesuatu belum siap, belum pantas, atau belum mampu dilaksanakan, hendaknya tindakan tersebut tidak dilakukan.
Begitulah, rentang waktu kehidupan alam semesta sedemikian panjang jika dibandingkan dengan rentang kehidupan (umur) manusia. Manusia lahir menempati ruang di dunia dibatasi oleh waktu yang pendek. Bagi orang Jawa, rentang waktu kehidupan manusia diibaratkan seseorang singgah sebentar ke suatu tempat untuk sekadar minum. Proposisi yang berbunyi urip mung mampir ngombe (hidup hanya sebatas singgah untuk minum) menunjukkan konsep bahwa hidup manusia hanya sebentar. Banyak hal yang harus dilakukan oleh manusia selama hidupnya, sehingga waktu yang tersedia menjadi sangat terbatas.
Baca juga: Mengelola Waktu
Semua fenomena sosial terjadi pada saat tertentu dalam waktu. Semua proses sosial terjadi terus-menerus sepanjang waktu. Singkatnya, kehidupan sosial berlangsung dalam waktu. Waktu, seperti ruang, adalah konteks universal kehidupan sosial. “Kita harus memahami hubungan waktu-ruang yang melekat dalam tubuh semua interaksi sosial. Setiap pola interaksi yang ada diletakkan dalam waktu,” demikian kata Giddens (1979).
Waktu adalah dimensi yang sangat diperlukan dan terlibat dalam setiap aspek kehidupan kita. Fakta ontologis ini membawa konsekuensi epistemologis. Fakta ini merupakan alasan mengapa waktu sangat penting dalam persoalan pokok ilmu sosial.
Alex Sobur, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fikom Unisba; Anggota Dewan Pakar Aspikom Korwil Jabar