Perusahaan Demokratis
Model kepemilikan perusahaan memang telah banyak yang berubah ke arah pelibatan semua pihak yang terlibat di perusahaan. Namun semata berorientasi pada pemegang saham, akan menghilangkan arti demokrasi di tempat kerja.
Kemajuan demokrasi tak hanya dapat diraih dengan praktik demokrasi politik. Demokrasi ekonomi harus juga dapat berjalan. Demokratisasi perusahaan adalah hal penting karena di sinilah jantung dari aktifitas ekonomi masyarakat.
Dalam konteks demokratisasi perusahaan, model kepemilikan perusahaan menjadi inti persoalan. Sebab apa yang tak kita miliki maka tak dapat kita kendalikan.
Dalam perspektif bisnis konvensional yang berorientasi pada pemegang saham (shareholder), investor atau penanam modal finansial pemegang saham (shareholder) menjadi penentu seluruh aktifitas perusahaan. Sebab seluruh kebijakan perusahaan ditentukan oleh pemegang saham. Padahal, saat ini model kepemilikan perusahaan di dunia itu telah banyak yang berubah ke arah pelibatan semua pihak (stakeholder) yang terlibat di perusahaan.
Baca juga:Menebak Langkah Bisnis Korporasi Amazon
Hukum yang berlaku bagi perusahaan yang berorientasi pada pemegang saham maka siapa yang memiliki saham terbanyak atau mayoritas maka merekalah yang mengendalikan perusahaan. Mereka menjadi penentu dan mengontrol seluruh kebijakan perusahaan.
Perusahaan yang berorientasi pada pemegang saham semata telah menghilangkan arti demokrasi di tempat kerja. Sistem keputusan perusahaan yang berlaku di perusahaan ini sifatnya menjadi autokratif tergantung selera pemegang saham mayoritas.
Perusahaan yang berorientasi pada pemegang saham semata telah menghilangkan arti demokrasi di tempat kerja.
Pihak pihak di luar pemegang saham seperti pekerja dan konsumen serta masyarakat yang terdampak dari aktifitas perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi terabaikan.Orang atau sekelompok orang yang bergabung dalam entitas badan hukum tersebut akhirnya dapat bertindak sewenang wenang karena kuasa modalnya demi satu tujuan. Mengejar keuntungan.
Akibatnya, karena yang berlaku supremasi modal semata maka munculah berbagai masalah seperti perusakan lingkungan, pengusiran masyarakat adat secara semena mena, penggusuran rakyat kecil tak berdaya, pengabaian nasib buruk pekerja, dan sederet kejahatan korporasi lainya.
Model perusahaan baru
Dalam upaya untuk memoderasi masalah yang ditimbulkan akibat monopoli perusahaan oleh hanya satu pihak pemegang saham tersebut telah muncul berbagai model program. Seperti misalnya program kepemilikan saham untuk buruh (employee share ownership plan/ESOP), atau misalnya dalam bentuk program tanggung jawab perusahaan (corporate social responsibility/CSR) dengan alokasikan sebagian keuntungan perusahaan untuk pembangunan sosial di lingkungannya.
Namun, semua program tersebut sebetulnya di lapangan tidak efektif karena model ESOP ini akhirnya tetap tak memiliki kekuatan kendali yang nyata dari para buruh di perusahaan karena kepemilikan sahamnya tak lebih dari 50 persen. Sementara praktik dari program CSR justru banyak yang dijadikan sebagai ajang mereduksi biaya iklan perusahaan.
Baca juga:Tanggung Jawab Perusahaan Ditagih
Dalam model perusahaan baru yang berorientasi ke semua pihak (stakeholder), terjadi transformasi besar tak tanggung tanggung, pelibatan para pihak itu sampai ke kepemilikan. Masuk ke jantung kendali perusahaan. Aksiomanya jelas, apa yang tak kita miliki maka tak dapat kita kendalikan.
Kabar gembiranya, sistem perusahaan yang dapat melibatkan semua pihak itu saat ini telah direkognisi di Indonesia. Walaupun bentuknya masih dalam satu peraturan menteri yang dikeluarkan oleh Menteri Koperasi dan UKM dalam Permen Nomor 8 Tahun 2021 tentang Model Koperasi Multi Pihak.
Dikeluarkanya permen tersebut berarti perusahaan itu tak hanya dapat dimiliki oleh pemegang saham (shareholder), melainkan bagi semua pihak yang terlibat dalam sebuah aktifitas perusahaan.
Pemilik perusahaan saat ini dapat direkayasa terdiri dari semua pihak yang terlibat dalam satu perusahaan. Baik itu investor, produsen, suplaier, distributor, bahkan konsumen dari perusahaan sekaligus.
Pemilik perusahaan saat ini dapat direkayasa terdiri dari semua pihak yang terlibat dalam satu perusahaan.
Model perusahaan ini berkesesuaian dengan bisnis di era digital saat ini. Dalam model bisnis platform misalnya, perusahaan itu dapat dimiliki bukan hanya oleh investor malaikat (angle investor) yang biasanya datang membiayai para pebisnis start-up, tetapi sekaligus kelompok founderdan co-founder, pengembang teknologi (technologist) maupun pekerja kerah birunya seperti mereka yang bekerja dalam aktifitas digitalisasi manual, pegawai call center, pengantar barang dan bahkan pelanggan atau user seperti pendengar/ penonton dari sebuah aplikasi hiburan dari perusahaan platform.
Pada intinya, semua mereka yang memiliki kepentingan di perusahaan itu dapat menjadi pemilik perusahaan. Mengeser model kepemilikan perusahaan lama yang hanya dimonopoli oleh mereka yang hanya punya modal finansial.
Demokrasi di tempat kerja
Tujuan besar transformasi kepemilikan perusahaan oleh stakeholder adalah untuk menciptakan demokrasi di tempat kerja. Agar aspirasi semua pihak yang terlibat di perusahaan tidak terabaikan.
Model perusahaan ini juga sebetulnya merupakan penggabungan kepentingan perusahaan yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan, tetapi sekaligus mendatangkan afeksi sosial dari seluruh pihak melalui keterlibatan mereka dalam kepemilikan. Ini juga demi kepentingan dari perusahaan dalam menjamin keberlanjutanya.
Kepemilikan perusahaan itu artinya mengendalikan. Artinya, dalam rangka mengambil keputusan maupun mengontrol perusahaan itu ada di tangan semua mereka yang terlibat di perusahaan. Memutuskan siapa yang menjadi komisaris dan direktur, menetapkan target keuntungan, turut menentukan pengembangan perusahaan dan lain sebagainya.
Model kepemilikan ini sayangnya di Indonesia masih terbatas dalam model perusahaan koperasi. Padahal sebetulnya hal ini seharusnya perlu dikoreksikan ke dalam sistem Undang Undang Perseroan.
Baca juga:Milenial Itu Benar
Selain itu, model perusahaan ini sebetulnya juga cocok bagi model perusahaan layanan publik yang tidak berorientasi semata bagi pengejaran keuntungan seperti BUMN maupun BUMD. Kalau pemerintah serius untuk kembangkan bisnis model baru di sektor publik ini sebetulnya dapat memanfaatkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1998 tentang Penyertaan Modal Pemerintah di Koperasi.
Walaupun demikian, setidaknya bagi para wirausahawan sosial dan terutama anak anak muda para pebisnis start-up dapat memanfaatkan peluang baru ini, mereka dapat mendirikan perusahaan demokratis ala koperasi tersebut tanpa harus merasa kawatir kehilangan hak privelese mereka di perusahaan seperti halnya di dalam model koperasi konvensional karena kepentingan mereka dapat dituangkan di anggaran dasar perusahaan.
Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO INKUR Federation (Induk Koperasi Usaha Rakyat)